SQ Blog - Mukjizat ilmi (i’jaz ilmi) merupakan sisi kemukjizatan dalam al-Quran maupun Hadis dari segi pemberitaan. Kemukjizatan dari segi ini meliputi pemberitaan kisah-kisah masa lalu, informasi pristiwa-pristiwa yang akan datang, dan isyarat-isyarat ilmiah (sains). Namun, pembahasan ini hanya memaparkan topik isyarat-isyarat ilmiah yang lebih dikenal dengan mukjizat ilmi. Menurut Manna’ Khalil al-Qattan, mukjizat ilmi bukanlah terletak pada pencakupannya akan teori-teori ilmiah yang selalu baru dan berubah serta merupakan hasil usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi ia terletak pada dorongannya untuk berpikir dan mengunakan akal.[1]
Jadi, mukjizat ilmi ada pada esensi-esensi ilmiah yang mengarahkan pemikiran manusia padanya dalam rangka membangun nilai keimanan. Pada konteks ini, al-Quran dan Hadis menginginkan tindakan nyata seperti menganalisis, merenung, dan meletakkan dasar-dasar ilmu pengetahuan bagi umat Islam. Rasyid Al-Mubarak mengatakan: “Kata berpikir bukanlah kata yang diwariskan zaman jahiliyyah sehingga ia begitu terkenal dan populer, tetapi kata itu merupakan perintah yang dibebankan pada manusia.”[2] Perintah tersebut di antaranya dalam ayat berikut:
قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَى وَفُرَادَى ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا مَا بِصَاحِبِكُمْ مِنْ جِنَّةٍ إِنْ هُوَ إِلَّا نَذِيرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيدٍ ﴿سورة سبأ: ٤٦﴾
Artinya: “Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras”. (Q.S. al-Nahl [34]: 46)
Ini selaras dengan mukjizat yang diberikan kepada nabi Muhammad Saw, yaitu al-Quran yang bersifat aqlani (akli) yang terus menantang sepanjang masa. Walaupun, demikian, terdapat juga beberapa mukjizat nabi yang bersifat hizzi (indrawi) yang keluarbiasaanya hanya dapat dijangkau dan disaksikan langsung oleh masyarakat tempat nabi menyampaikan risalahnya. Mukjizat al-Quran dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya dimana pun dan kapan pun.[3] Ini artinya al-Quran merupakan mukjizat abadi nabi Muhammad Saw.
Pada uraian ini perlu diketengahkan bahwa al-Quran merupakan wahyu sekaligus mukjizat, keduanya tidak terpisahkan. Baik wahyu maupun mukjizat adalah anugerah Ilahi yang diberikan kepada para nabi dan Rasul. Namun, mukjizat para nabi sebelumnya adalah realitas selain wahyu, adapun mukjizat nabi Muhammad Saw, yaitu al-Quran selain sebagai wahyu juga merupakan mukjizat.[4] Ini mengindikasikan bahwa wahyu dan mukjizat adalah dua realitas yang berbeda. Dalam al-Quran, wahyu memiliki beberapa makna, di antaranya; firman Allah kepada rasul-Nya, instruksi Allah kepada Malaikat, ilham, insting, isyarat (tanda/simbol), dan bisikan setan.[5] Adapun makna mukjizat dalam al-Quran, yaitu; ayat (tanda), bayyinah, burhan, sultan, dan bashirah.[6] Nampak jelas perbedaan penggunaan keduanya yang menunjukkan esensi yang dikandungnya juga berbeda. Dapat dipahami bahwa al-Quran dalam realitasnya sebagai wahyu sekaligus mukjizat menegaskan ajaran-ajaran yang dikandungnya akan senantiasa memancarkan nilai-nilai kemukjizatan.
Perintah untuk menghayati dan memikirkan alam raya termaktub dalam al-Quran dan Hadis sebagai landasan berpikir. Setelah melalui proses yang panjang, kerangka inilah yang kemudian melahirkan tafsir ilmi seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa dalam al-Quran maupun Hadis mengandung isyarat-iyarat ilmiah yang telah disampaikan oleh nabi sejak 14 abad silam ketika ilmu pengetahuan sama sekali belum berkembang. Hal ini membuktikan akan nubuwah Muhammad Saw.
Adapun, penyebutan isyarat-isyarat ilmiah tersebut yang mengarahkan pemikiran manusia untuk mengkaji dan mengungkapnya adalah ranah dari sisi mukjizat ilmiah pada al-Quran dan Hadis. Menurut Zaqlul Rakib Muhammad, jika tafsir ilmi meniscayakan penggunaan setiap metode pengetahuan dan teori-teori ilmiah yang ada, maka adapun mukjizat ilmiah harus menggunakan ketetapan-ketetapan ilmiah yang sudah pasti. Sebab, maksud dari mukjizat ilmi tidak lain adalah penegasan bahwa al-Quran yang diturunkan kepada nabi mengandung informasi tentang hakikat ilmiah.[7]
Pada sisi lain, sebagian ulama memandang bahwa letak kemukjizatan ilmiah terletak pada dorongannya untuk berpikir dan menggunakan akal. Sehingga, berbagai informasi ilmiah al-Quran maupun Hadis yang saat ini dapat dibuktikan dengan sains, mereka lebih memilih menyebutnya sebagai bukti kebenaran al-Quran ataupun bukti-bukti kenabian. Muhammad Al-Ghazali adalah salah satu ulama yang berpikir demikian. Beliau memandang bahwa letak mukjizat ilmi ada pada esensi-esensi ilmiah yang mengarahkan pemikiran manusia padanya untuk menjadi bahan renungan yang bermuara pada sebuah kenyakinan teguh kepada Allah. Olehnya itu, harus dibangun paradigma bahwa ayat-ayat Allah, baik qauliyah maupun kauniyyah tidak mungkin bertentangan karena keduanya berasal dari-Nya.
Oleh: Hasrul
ENDNOTE
[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Quran
terj. Mudzakir dari judul asli “Maba>his
fi> Ulum al-Quran” (Bogor: Pustaka LiteraAntarNusa, 2011), Cet. XIV, hal. 223
[2] Muhammad
Al-Ghazali, Al-Quran Kitab Zaman Kita; Mengaplikasikan Pesan Kitab suci
dalam Konteks Masa Kini terj. Msykur Hakim dan Ubaidillah dari judul asli “Kayfa
Nata’amal ma al-Quran” (Bandung: Mizan, 2008), Cet. I, hal. 231
[3] Kementerian
Agama RI, Tafsir al-Quran Tematik; Kenabian (Nubuwah) dalam al-Quran
(Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran, 2009), Cet. I, Seri Lima, hal.
106-107
[4] M. Baqiri
Saidi Rousyan, Menguak Tabir Mukjizat; Membongkar Pristiwa Luar Biasa Secara
Ilmiah terj. Ammar F.H. dari judul asli “Mu’jizeh Syenosi” (Jakarta:
Sadra Press, 2012), Cet. I, hal. 155
[5] Kementerian
Agama RI, Tafsir al-Quran Tematik; Kenabian (Nubuwah) dalam al-Quran,
hal. 105-106
[6] M. Baqiri
Saidi Rousyan, Menguak Tabir Mukjizat; Membongkar Pristiwa Luar Biasa Secara
Ilmiah terj. Ammar F.H. dari judul asli “Mu’jizeh Syenosi” (Jakarta:
Sadra Press, 2012), Cet. I, hal. 158-160
[7] Kementerian
Agama RI oleh Badan Litbang dan Diklat, Tafsir Ilmi; Tumbuhan (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran, 2012), hal. xxii
Posting Komentar