Articles by "Fiqih"

Tampilkan postingan dengan label Fiqih. Tampilkan semua postingan

SQ Blog - Pengertian rujuk, Hukum dan Rukunnya. Baca jugaPengertian Talaq, Hukum, Rukun dan Macam-macamnya.

Pengertian Rujuk

Kata rujuk barasal dari bahasa Arab yang berarti Kembali. Sedangkan menurut istilah syari’at, yang dimaksud ruju adalah mengembalikan isteri yang telah ditalaq pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan.

Allah SWT berfirman:

الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ


Talak (yang dapat dirujuk) itu sebanyak dua kali. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Q.S. Al-Baqarah: 229)


Hukum Rujuk

Hukum rujuk ada beberapa macam sebagai berikut:
  1. Haram, apabila rujuknya itu menyakiti sang istri,
  2. Makruh, jika perceraian itu lebih baik dan lebih berfaedah bagi keduanya (suami istri), 
  3. Jaiz (boleh) dan inilah hukum ruju’ yang asli, dan
  4. Sunnah, jika dengan ruju’ itu suami bermaksud untuk memperbaiki keadaaan istrinya atau ruju itu lebih berfaedah bagi keduanya. 
Rukun Rujuk
  • Istri 
Keadaan istri yang disyariatkan:
  1. Sudah dicampuri, sebab istri yang belum dicampuri apabila ditalak maka putuslah pertalian nikah antara keduanya sebab si istri tidak mempunyai masa iddah.
  2. Istri yang tertentu, kalau suami mentalaq beberapa istrinya kemudian ia ruju’ salah satu daria antara mereka denagn tidak ditentukan siapa yang dirujuknya, maka ujuknya itu tidak sah.
  3. Talak adalah talak raj’i, jika istri ditalak dengan talak ba’in atau talak tiga, maka ia tidak dapat diruju’ kembali.
  4. Ruju’ itu terjadi pada waktu istri tengah manjalani masa iddah. 
  • Suami 
Ruju’ ini dilakukan oleh suami atas kehendaknya sendiri, artinya bukan atas paksaan pihak dari lain. 
  • Sighat 
Sighat itu ada yang sharih dan kinayah. 
  • Saksi
Para ulama berselisih tentang kewajiban adanya saksi dalam rujuk. Sebagian menyebutkan bahwa pendapat yang rajih dalam hal ini adalah saksi tidak wajib ada, namun bila ada saksi maka itu yang lebih baik.

Sekian

SQ Blog - Hadis dapat diterima dengan beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut disamping memiliki kesamaan dari masing-masing diskursus keilmuan, juga terdapat perbedaan-perbedaan. Berikut uraian persamaan dan perbedaan penerimaan hadis menurut ahli Hadis, Fiqih, dan Sufi.

Persamaan metodologi Ahli Hadis, Fiqih dan Sufi dalam menerima hadis
  1. Sanadnya tersambung;
  2. Rawinya adil; dan
  3. Rawinya dhabit.
Perbedaan metodologi Ahli Hadis, Fiqih dan Sufi dalam menerima hadis
  • Ahli Hadis
  1. Sanad tersambung
  2. Rawinya adil
  3. Rawinya dhabit
  4. Tidak ada Syadz
  5. tidak ada illat
  6. Hadis baik qauli, fi'li, taqrir dan harapan nabi yang belum tercapai
  • Ahli Fiqih
  1. Sanad tersambung
  2. Rawinya adil
  3. Rawi dhabit
  4. Amalan ahlul Madinah
  5. Tidak ada syadz
  6. tidak ada illat
  7. Memuat hukum
  8. Hanya hadis qauli dan fi'li
  • Ahli Sufi
  1. Sanad tersambung
  2. Rawinya adil
  3. Rawi dhabit
  4. Hanya mengambil hadis qauli dan harapan Rasulullah
Perbedaan pandangan mereka dari masing-masing kelompok karena adanya perbedaan pandangan dan kebutuhan akan hadis sesuai latar bidang keilmuan masing-masing. Secara umum, alasan inilah yang secara signifikan memberikan ruang pebedaan. Walaupun pada sisi lain, dilatabelakangi kualitas keilmuan yang berbeda-beda serta hal-hal lain yang menjadi faktor penentu dalam memahami hadis.

Walaupun demikian, perbedaan pandangan ini dapat dipertemukan dan diselesaikan dengan alasan:
  • Adanya persamaan cara pandang yaitu potret kehidupan Rasulullah,
  • Perbedaan tersebut terjadi karena ruang dan tempat yang berbeda, ini merupakan suatu keniscayaan dan kewajaran,
  • Memahami hakikat perbedaan yang sesungguhnya karena perbedaan adalah salah satu rahmat Allah yang dapat memberikan kemudahan bagi hamba-hambanya.
Wallahu A'lam
Oleh: Hasrul

SQ Blog - Salam sobat semuanya, postingan ini merupakan kaitan tulisan admin sebelumnya mengenai sosok Khaled Abou El-Fadhl. Sebagai ahli hukum dan juga pemikir dalam beberapa bidang, termasuk dalam aspek penafsiran al-Quran. Berikut di antara beberapa buah pemikirannya dalam bidang tafsir ini. Pemikiran ini merupakan sebuah respon Khaled terhadap sebuah lajnah atau lembaga fatwa di Arab Saudi yang membuat pikirannya terasa ganjal dan aneh. Di antara fatwa lajnah tersebut yang mengganjal pikiran Khaled ialah fatwa tentang suara perempuan dan tepuk tangan. Uraiannya lebih lanjut berikut ini sobat!

Salah satu topik yang difatwakan oleh Dewan Riset Ilmu dan Fatwa (Al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta/Council for Scientific Research and Legal Opinions) - CRLO[1] Kerajaan Saudi Arabia ialah mengenai tepuk tangan dan suara perempuan. Dewan yang bergerak untuk riset-riset Ilmiyah dan Fatwa tersebut membangun kaitan antara tepuk tangan dan suara perempuan sebagai aurat. Salah satu nash yang menjadi dalil dalam fatwa CRLO tersebut ialah surah al-Ahzab ayat 32 yang dikaitkan dengan hadis Nabi tentang tepuk tangan dan surah al-Anfal ayat 35 yang kemudian berkesimpulan bahwa suara perempuan adalah aurat.

Suara Wanita menurut Fatwa CRLO

س: هل يجوز لمسلمة أن تلقي السلام على جمع من الرجال الأجانب عنها وهي مارة بهم بمنزل أحدهم؟ (الرجال هم أزواج أخواتها) وهل يجوز لها أن تسأل أحدهم مثلاً عن صحته إن مرض؟ أم يجب أن يكون معها أحد محارمها عندئذ؟ أم لا يجوز؟ ذلك مطلقًا كونه أجنبيًا عنها؟

ج: إن كان السلام خاليًا من الخضوع في القول والتكسر فلا بأس به، فإن خشيت أن تتكسر في سلامها وتخضع في قولها أو خشيت الفتنة، فإنها تترك السلام لزامًا، لقول الله تعالى في حق أمهات المؤمنين وهن أكمل نساء الأمة: يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا ، وللمرأة أن تسأل عن حال مريض من أقاربها غير المحارم بالضوابط السابقة، مع عدم الخلوة. [2]
Tepuk Tangan menurut Fatwa CRLO

a) Fatwa Pertama

س : أرجو أن تعرفونا بالحكم الشرعي في تصفيق الرجال عند الطوارئ، أو حدوث ما يعجبهم ويسرون به، مثل الكشاف ونحوه.

ج : إذا حصل ما يعجب الإنسان ويسره فليسبح الله ويكبره، ويحمده ويشكره على نعمه؛ رجاء المزيد من خيره، وإذا أعجـب بكلام شخص أو نصيحته أو حسن قراءته وتذكـره الناس مثلاً فليثن عليه من غير مبالغة في ذلك، وليدع له، ويشجعه على الخير، ولا يصفق الرجـال إذا نابهم شـيء في الصلاة أو غيرها، فإنما التصفيق للنساء، وقد أرشدنا النبي صلى الله عليه وسلم إلى ذلك على وجه العموم. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم[3].

b) Fatwa Kedua

س: ما حكم التصفيق للنساء إذا كانوا في حفلة فرح (عرس) أو حفلة تخرج من مراكز صيفية أو شيء فيه يذكر الله ورسوله؟ ومناسبة هذا السؤال: أنني ذهبت إلى قاعة في جدة ووجدت المسئولة عن الحفل وهو تخرج مركز صيفي للقرآن الكريم، فأمرتهم بالتصفيق عند نهاية كل فقرة، فأنكرت ذلك، وأتتني وقالت: ما دليلك على ذلك؟ فقلت لها: قول الله تعالى: وَمَا كَانَ صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلا مُكَاءً فردت علي وقالت: بحثت كثيرًا في الكتب ولم أجد دليلا على تحريم التصفيق، وقالت لي: اسألي سماحة الشيخ ابن باز يتضمن جوابه دليلا على إنكار التصفيق. وها أنا أعرض السؤال بين أيديكم فأرجو منك التفضل بالإجابة على سؤالي هذا في رسالة فردية، مختومة من جهتكم؛ لأني أريد عرضها على هذه المسئولة الدكتورة.

ج: المشروع للرجال والنساء عند سماع أو رؤية ما يسر أو ما.

ينكر: التسبيح والتكبير من دون تصفيق، وذلك اقتداءً بالنبي -صلى الله عليه وسلم-؛ لأنه كان إذا رأى شيئًا يعجبه أو سمع شيئًا يعجبه قال: "سبحان الله"، أو "الله أكبر"، وهكذا إذا رأى أو سمع ما ينكر. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.[4]

c) Fatwa Ketiga

س2: هل يجوز التصفيق داخل المسجد تكريمًا للمحاضر أو الخطيب في الحفلات التي تقام في المناسبات؟

ج2: لا يجوز التصفيق إلا للنساء في الصلاة إذا ناب الإمام شيء في صلاته؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: من نابه شيء في صلاته فليسبح الرجال وتصفق النساء ؛ ولأن تصفيق الرجال من عمل أهل الجاهلية، كما في قوله سبحانه وَمَا كَانَ صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً وقد فسر أهل العلم المكاء: بالصفير، والتصدية: بالتصفيق. وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.[5]

Q.S. al-Ahzab 32 dan Q.S. al-Anfal 35 menurut Khaled Abou el-Fadhl

1) Q.S. al-Ahzab Ayat 32 Menurut Khaled Abou el-Fadhl

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا ﴿ سورة الأحزاب: ٣٢﴾

Artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32)

Menurut Khaled, ayat ini tidak ada kaitannya sedikit pun dengan persoalan tepuk tangan dan anggapan suara perempuan adalah aurat. Dari rangkaian kalimatnya, ayat tersebut merujuk pada isteri-isteri nabi dan secraa eksplisit menyatakan bahwa status mereka tidak sama dengan perempuan muslim lainnya. Konsekuensinya adalah bahwa apa yang diperbolehkan bagi perempuan muslim lainnya mungkin saja tidak diperbolehka bagi isteri-isteri Nabi. Lebih jauh lagi, dari rangkaian kalimat ayat tersebut membedakan antara dua bentuk ucapan, yaitu perkataan yang khudhu’ (lembut, menarik, baik, menggoda, dan pasrah) dan perkataan yang wajar. Oleh karenanya, menurut Khaled, hal paling jauh yang bisa kita kemukakan adalah bahwa ayat tersebut mengecam perkataan yang bernadah pasrah dan menghargai perkataan yang wajar dan bermoral.[6]

Khaled juga menekankan, sesungguhnya isteri-isteri Nabi agar tidak berbicara dengan nada pasrah dan lembut, tetapi harus berbicara dengan nada tegas dan bermoral. Menurut Khaled, ayat tersebut memiliki konteks kesejarahan bahwa suku Badui yang baru memeluk Islam dengan tujuan untuk memenuhi kepentingan mereka. Akhirnya, mereka mendekati Isteri-isteri Nabi dengan berbagai macam tuntutan. Isteri-isteri Nabi adalah perempuan-perempuan yang baik dan lembut, dan diriwayatkan bahwa tuntutan tersebut sudah tidak bisa diterima akal sehat, hingga mencapai titik ketika para pemeluk baru tersebut cenderung memanfaatkan kebaikan Isteri-isteri Nabi. Ayat tersebut diturunkan untuk memerintahkan Isteri-isteri Nabi agar berbicara layknya perempuan yang kuat dan bermoral, bukan perempuan yang hanya menuruti emosi.[7]

2) Q.S. al-Anfal Ayat 35 menurut Khaled Abou el-Fadhl

Sehubungan dan fatwa-fatwa di atas, Khaled menggambarkan adanya sebuah penggunaan bukti yang janggal yang dilakukan oleh para ahli hokum CRLO. Persoalan dalam contoh ini bukan saja tentang pemaparan bukti yang telah diseleksi terlebih dahulu, tetapi tentang pemilihan bukti yang berorientasi hasil yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan persoalan yang sedang dibahas. Seperti terlihat dalam persoalan ini bahwa terdapat tiga dalil yang telah dikemukakan oleh para ahli hokum CRLO, yaitu Q.S. al-Ahzab ayat sebagaimana yang telah dibahas di atas, serta satu hadis Nabi dan Q.S. al-Anfal ayat 35. Hadis yang dimaksud ialah:

مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ. [8]

Dengan mengutip Hadis ini, para ahli hokum CRLO menyimpulkan dua hal; Pertama, suara perempuan adalah aurat. Jika suara perempuan bukan aurat, Nabi tentu tidak akan menyuruh perempuan untuk bertepuk tangan. Kesimpulan kedua; orang-orang Islam secara umum tidak boleh mengungkapkan dukungan, kebahagian, atau penghormatannya dengan cara bertepuk tangan. Tepuk tangan menurut para ahli hukum CRLO diharamkan karena dipandang sebagai praktik orang-orang kafir dan kebiasaan perempuan, dan orang-orang Islam secara umum tidak boleh meniru mereka. Lebih lanjut, para ahli hukum CRLO dalam persoalan ini mengutip ayat lain, yaitu:

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً ﴿ سورة الأنفال: ٣٥﴾

Artinya: “Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (Q.S. Al-Anfal [8]: 35)

Dari ayat ini, dan Hadis yang dikutip sebelumnya, para ahli hokum CRLO menyimpulkan beberapa hal:
  • Suara perempuan adalah aurat, karena itu perempuan diharuskan bertepuk tangan dalam shalat;
  • Perempuan diharuskan bertepuk tangan karena jika mereka mengeraskan suaranya ketika mengucapkan “amin” atau ungkapan lainnya, hal tersebut akan menimbulkan fitnah.
  • Karena perempuan dan orang-orang kafir biasa bertepuk tangan, maka orang-orang Islam secara umum tidak boleh bertepuk tangan (‘adam al-tasyabuh bi al-nisa’ wa al-kuffar).
Khaled menanggapi fatwa di atas bahwa para ahli Hukum CRLO tidak sadar bahwa jawaban mereka sama sekali tidak rasional. Beliau mengungkapkan bahwa pesan ayat tersebut adalah tidak dibenarkan menyembah Tuhan dengan cara bersiul dan bertepuk tangan. Para ahli hokum CRLO mengabaikan kekhasan historis dan normative dari ayat tersebut. Ayat tersebut secara eksplisit merujuk pada ketidaksopanan bentuk-bentuk kepribadatan yang biasa dilakukan masyarakat Makkah di sekitar Ka’bah. Lebih penting lagi menurut Khaled, jika seorang perempuan muslim diperkenankan untuk bertepuk tangan dalam shalat, tidak berarti bahwa bertepuk tangan menyerupai orang kafir, kecuali jika kita menganggap bahwa perempuan muslim adalah orang-orang kafir.[9]

Menurut analisi Khaled, para ahli hukum CRLO membangun seluruh diskursusnya tentang larangan bertepuk tangan pada asusmsi berbasis gender (tepuk tangan adalah hal yang biasa dilakukan perempuan), dan asumsi ahistoris (tepuk tangan adalah hal yang biasa dilakukan orang kafir). Yang menarik adalah bahwa tidak ada ketentuan khusus atau tegas tentang tepuk tangan. Lebih jauh lagi, Hadis Nabi tentantang tepuk tangan itu dipandang muncul pada masa akhir kehidupan beliau. Dari sudut pandang kesejarahannya, kenyataan bahwa orang-orang Islam bertepuk tangan dalam shalat menunjukkan bahwa tepuk tangan merupakan perbuatan yang diterima masyarakat. Lagi pula, secara kronologis tidak ditemukan hadis lain yang melarang tepuk tangan dalam kondisi apapun, dan bahkan Hadis ini hanya merujuk pada tepuk tangan ketika shalat. Bahkan hadis ini pun tidal melarangnya secara total, tetapi hanya membatasinya untuk perempuan saja.[10]

Tafsir Q.S. al-Ahzab 32 dalam Tafsir Klasik dan Modern

1) Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-Azhim

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا ﴿ سورة الأحزاب: ٣٢﴾

Artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32)

Terkait surah al-Ahzab ayat 32, Ibnu Katsir menfasirkan bahwa ayat ini merupakan adab yang diperintahkan Allah kepada para isteri Nabi serta isteri umatnya yang mengikuti mereka. Allah berfirman kepada isteri-isteri Nabi, bahwa jika mereka bertakwa kepada Allah sebagaimana yang Allah perintahkan kepada mereka, maka mereka tidak dama dengan wanita lainnya. 

Firman Allah (فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ) “maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara”. Al-Suddin dan selainnya berkata: “yang dimaksud adalah melembutkan kata-kata jika mereka berbicara dengan laki-laki.” Untuk itu Allah SWT berfirman; (فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ) “sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, yaitu niat buruk. (وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا) “dan ucapkanlah perkataan yang baik”, Ibnu Zaid berkata: kata-kata yang baik, bagus, dan ma’ruf dalam kebaikan. Makna hal ini adalah bahwa wanita berbicara kepada kaum pria dengan kata-kata yang tidak mengandung kelembutan. Artinya, janganlah seorang wanita berbicara dengan kaum pria seperti berbicara dengan suaminya.[1]

2) Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li al-Ahkam al-Quran

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا ﴿ سورة الأحزاب: ٣٢﴾

Artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32)

Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li al-Ahkam al-Quran menyebutkan bahwa surah al-Ahzab ayat 32 menyeru Isteri-isteri Nabi dengan menekankan bahwa mereka menduduki status sosial yang berbeda dengan kebanyakan perempuan muslim lainnya. Kemulian dan keutamaan para Isteri-isteri Nabi tersebut ditentukan dari derajat ketakwaan mereka .[2]

3) Yusuf Qardhawi dalam Fatwanya

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا ﴿ سورة الأحزاب: ٣٢﴾

Artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 32)

Terkait beberapa pendapat yang menyatakan bahwa suara wanita adalah Aurat, termasuk pendapat para ahli hukum CRLO yang telah dikemukakan di atas, maka penting untuk menampilkan pandangan Yusuf Qardhawi dalam masalah ini. Yusuf Qardhawi menanggapi pendapat yang menganggap suara wanita adalah aurat bahwa apakah mereka tidak tahu bahwa al-Quran memperbolehkan laki-laki bertanya kepada isteri-isteri Nabi Saw dari balik tabir? Bukankah isteri-isteri Nabi itu mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat daripada isteri-isteri lain, sehingga ada beberapa perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak diharamkan kepada selain mereka.[3] Firman Allah SWT: 

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ﴿ سورة الأحزاب: ٥٣﴾

Artinya: “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 53)

Permintaan atau pertanyaan dari para sahabat itu sudah tentu memerlukan jawaban dari isteri-isteri Nabi (Ummahatul Mukminin). Mereka biasa memberi fatwa kepada mereka dan meriwayatkan Hadis-hadis bagi yang ingin mengambil Hadis mereka. Begitupun pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi Saw dihadapan kaum laki-laki. Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu dan Nabi pun tidak melarangnya. Selanjutnya, al-Quran juga menceritakan percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman a.s dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan kaumnya yang laki-laki.[4]

Sejalan dengan Khaled, Yusuf Qardhawi juga menegaskan bahwa yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki, yang oleh al-Quran disitilahkan dengan al-Khudu’ (tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana yang disebutkan dalam surah al-Ahzab ayat 32 yang telah disebutkan di atas. Ini bukan berarti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap laki-laki yang di isyartakan pada ujung ayat Q.S. al-Ahzab 32; وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا “dan ucapkanlah perkataan yang baik.”

ENDNOTE


[1] Merupakan lembaga resmi di Arab Saudi yang diberikan tugas untuk mengeluarkan fatwa. Dewan ini berdiri sejak tahun 1971 yang saat ini diketuai oleh Mufti Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Alu Syaikh at-Tamimi (1943 M/1362 H) setelah wafatnya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (w. 1999 M/1420 H). Situs resmi - http://www.alifta.net/
[2] Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, Juz 2, h. 318. Dalam: http://www.alifta.net/
[3] Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, No. 1904, Dalam: http://www.alifta.net/
[4] Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, No. 15956 Juz 19, h. 123. Dalam: http://www.alifta.net/
[5] Fatwa Dewan Riset Ilmu dan Fatwa Arab Saudi, Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh, No. 7774, Juz 6, h. 311. Dalam: http://www.alifta.net/
[6] Khaled Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. 275-276.
[7] Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati, h. 276.
[8] Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya’ al-turast al-Araby, tt), Juz I, h. 316.
[9] Khaled Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. 274.
[10] Khaled Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati, h. 275.
[11] Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Azhim (T.t.: Darr al-Thaibah, 1420 H/1999 M), Juz 6, h. 408
[12] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi Al-Jami’ li al-Ahkamil Quran (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Cet. I, h. 177
[13] Yusuf Qardhawi dan As’ad Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer terj. dari judul asli “Hadyu al-Islam Fatawy Mu’ashirah” (Jakarta: Gema Insani Pers: 1995), h. 352-353
[14] Yusuf Qardhawi dan As’ad Yasin, Fatwa-fatwa Kontemporer, h. 353

SEKIAN

SQ Blog - Salam buat semuanya. Artikel ini melanjutkan postingan sebelumnya terkait pentingnya penyembelihan atau pemotongan hewan sebelum dikomsumsi; Mengapa Harus Disembelih??? Sobat, penyembelihan hewan yang dikenal selama ini ialah cara kovensional, yaitu penyembelihan yang dilakukan secara manual sebagaimana yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, beberapa tahun terakhir, selain cara konvensional, penyembelihan hewan mulai banyak dilakukan secara mekanis. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah menemukan mesin yang dapat dipergunakan untuk mempermudah dan mempercepat penyembelihan hewan ternak, yang hal itu belum pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw. Penyembelihan dengan menggunakan mesin tersebut dinamakan penyembelihan secara mekanis.

Proses penyembelihan hewan secara mekanis adalah sebagai berikut:
  1. Sebelum disembelih, hewan ternak dipingsangkan terlebih dahulu dengan listrik,
  2. Setelah dipingsangkan, hewan yang akan disembelih tetap dalam keadaan hidup (bernyawa) sehingga jika tidak jadi disembelih tetap hidup secara normal,
  3. Sesudah dipingsangkan, hewan tersebut baru dipotong dengan menggunakan pisau yang tajam sehingga memutuskan saluran pernafasan (tracea/hulqum), saluran makanan (oesophagus/marik), dan dua urat leher (wadajain)-nya. Pemotongan hewan dilakukan oleh petugas pemotong hewan yang beragama Islam dan terlebih dahulu membaca basmalah.
  4. Sesudah dipotong dan darahnya telah berhenti nmengalir, maka isi perut hewan tersebut dikeluarkan semua dan selanjutnya dagingnya dipotong-potong.
Sobat bisa lihat video di bawah untuk lebih jelasnya!

Atau pada video berikut:


Bagaimana Sobat, sudah jelaskan perbedannya dengan cara konvensional. Lalu bagaimana hukum penyembelihan dengan cara mekanis tersebut?

Sesudah memperhatikan proses penyembelihan hewan secara mekanis sebagaimana disebutkan di atas, maka pada tahun 1976 MUI (Majelis Ulama Indonesia) memfatwakan bahwa penyembelihan hewan secara mekanis dengan memingsangkan terlebih dahulu, hukumnya sah dan halal.

Oleh karena itu kaum muslimin tidak perlu meragukan keabsahan sistem penyembelihan hewan ternak secara mekanis tersebut. Bahkan penyembelihan hewan ternak secara mekanis dinilai lebih baik daripdada penyembelihan secara konvensional, karena dapat meringankan rasa sakit hewan yang akan disembelih, memperlancar, mempercepat waktu pemotongan, serta lebih menghemat biaya pemotongannya.

Hal ini sesuai dengan hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sahabat Syadda ibn Aus bahwa Rasulullah Saw bersabda:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ أَبِى قِلاَبَةَ عَنْ أَبِى الأَشْعَثِ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ ثِنْتَانِ حَفِظْتُهُمَا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ ».

Artinya: Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik (ihsan) terhadap segala sesuatu. Oleh karena itu apabila kamu ditugaskan membunuh, maka lakukanlah pembuhan tersebut dengan baik. Dan apabila kamu hendak menyembelih, maka menyembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah salah seorang di antara kamu menajamkan pisaunya serta memberikan kenyamanan terhadap hewan yang disembelih (yaitu dengan cara tidak menyiksanya dalam menyembelih). H.R. Muslim

Hadis ini juga diriwayatkan oleh sejumlah imam, di antaranya Abu Daud, Al-Tirmidzi, A-Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad ibn Hanbal, dan lain-lain.

Rujukan: Tata Cara Penyembelihan Hewan Ternak menurut Syari'at Islam
oleh Hamdan Rasyid, diterbitkan oleh MUI Provinsi DKI.

Sobat SQ BLOG, melajutkan bahasan sebelumnya, Memaknai Moment Gerhana dalam Islam, postingan kali ini akan melanjutkan bahasan tersebut berkaitan dengan shalat gerhana. Postingan ini memuat beberapa poin utama, yaitu: Pengertian Shalat Gerhana, Landasan Hukum Shalat Gerhana, Hukum Shalat Gerhana; Wajib atau Sunnakah, Amalan yang Dianjurkan Nabi Saat Melihat Gerhana, dan Tata Cara dan Ketentuan Pelaksanaan Shalat Gerhana. Berikut uraiannya sobat:

PENGERTIAN SHALAT GERHANA

Kita mengenal 2 gerhana, yaitu gerhana matahari dan gerhana bulan. Sehubungan kedua gerhana ini, Islam memiliki tuntunan sendiri di dalamnya, diantaranya melaksanakan shalat gerhana, yaitu shalat Kusuf untuk gerhana matahari dan shalat Khusuf untuk gerhana bulan. Lalu apa maksud dan perbedaan dari istilah Kusuf dan Khusuf?

Istilah kusuf (gerhana matahari) diambil dari kata kerja dasar kasafa (كسف) yang artinya berubah menjadi hitam. Dalam bahasa Arab dikatakan kasafat asy-syamsu, artinya matahari menghitam dan hilang sinarnya. Adapun istilah khusuf (gerhana bulan) diambil dari kata kerja dasar khasafa (خسف) yang artinya berkurang. Dalam bahasa Arab dikatakan khasafa al-bi’ru, artinya sumur itu berkurang airnya dan mengering. Banyak ulama menyatakan masing-masing istilah ‘kusuf‘ maupun ‘khusuf‘ bermakna gerhana matahari maupun gerhana bulan, tidak ada perbedaan antara keduanya.

Dalam pengertian ilmu fiqih, shalat kusuf atau shalat khusuf adalah shalat yang dikerjakan dengan tata cara tertentu karena terjadinya gerhana matahari atau gerhana bulan.

LANDASAN HUKUM

Pelaksanaan shalat gerhana, baik gerhana total ataupun sebagian merupakan salah satu amalan yang pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Peristiwa itulah yang menjadi landasan dalam pelaksanaan Ibadah ini. Informasi ini diriwayatkan dari beberapa sahabat yang ikut mengalami langsung peristiwa gerhana ketika itu bersama Rasulullah, yaitu Aisyah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Abu Bakrah, Mughirah bin Syu’bah, dan Jabir bin Abdullah, dan selain mereka.

Seperti dikutip oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya yang bersumber dari Asiyah radiyallahu anha:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ : حَدَّثَنَا هِشَامٌ ، أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ وَهِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَأَطَالَ الْقِرَاءَةَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَأَطَالَ الْقِرَاءَةَ وَهْيَ دُونَ قِرَاءَتِهِ الأُولَى ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ دُونَ رُكُوعِهِ الأَوَّلِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثمَّ قَامَ فَصَنَعَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَامَ فَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ، وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ يُرِيهِمَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ.

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada kami Hisyam telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dan Hisyam bin ‘Urwah dari ‘Urwah dari ‘Aisyah berkata, “Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau berdiri melaksanakan shalat bersama orang banyak, beliau memanjangkan bacaan, lalu rukuk dengan memanjangkan rukuk, kemudian mengangkat kepalanya, lalu membaca lagi dengan memanjangkan bacaannya namun tidak sebagaimana panjang bacaan yang pertama. Kemudian beliau rukuk lagi dengan memanjangkan rukuk, namun tidak sepanjang rukuk yang pertama, lalu mengangkat kepalanya kemudian sujud dua kali. Beliau kemudian berdiri kembali dan mengerjakan seperti pada rakaat pertama. Setelah itu beliau bangkit dan bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, yang Dia perlihatkan kepada hamba-hambaNya. Jika kalian melihat gerhana keduanya, maka segeralah mendirikan shalat.” (H.R. Al-Bukhari)

Hadis inilah dikabarkan oleh sejumlah sahabat seperti disebutkan sebelumnya, maka tidak mengherankan jika Hadis tersebut dapat dijumpai dalam berbagai kitab-kitab Hadis. Bahkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan berulang kali. keterangan bahwa Nabi pernah melaksanakan Shalat gerhana, yaitu gerhana matahari dipahamai dari ungkapan, "خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالنَّاسِ", Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau berdiri melaksanakan shalat bersama orang banyak. Ini tentu sudah cukup menjadi landasan mengenai pelaksanaan shalat gerhana, khususnya gerhana matahari.

Lalu bagaimana dengan gerhana bulan? Bukankah disebutkan pada hadis di atas hanya gerhana matahari saja (كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ)? Secara tersirat cakupan pelaksanaanya juga telah termaktub dalam riwayat hadis lain yang semakna dengan hadis di atas. Hadis tersebut ialah:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يُخْبِرُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا.

Artinya: “Sesungguhnya matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Maka jika kalian melihat keduanya (gerhana matahari dan gerhana bulan) segeralah melakukan shalat." (H.R. Al-Bukhari)

Hadis yang bersumber dari Abdullah bin Umar ini, tergolong riwayat bil al-Makna dengan hadis sebelumnya. Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa, baik terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan diperintahkan oleh nabi untuk shalat gerhana, yang disebut dengan shalat kusuf (gerhana matahari) dan shalat khusuf (gerhana bulan). Keterangannnya dimaknai dari ungkapan, "فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا.", Maka jika kalian melihat keduanya (gerhana matahari dan gerhana bulan) segeralah melakukan shalat."

HUKUM SHALAT GERHANA, WAJIB ATAU SUNNAKAH?

Mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah mu’akkad (sunnah yang sangat dianjurkan). Namun, menurut Imam Abu Hanifah, shalat gerhana dihukumi wajib. Adapun, Imam Malik menyamakan shalat gerhana dengan shalat Jum’at.

Adapaun terkait gerhana bulan, para Ulama berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah mu’akkad sebagaimana shalat gerhana matahari. Inilah pendapat yang dipilih oleh Asy Syafi’i, Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh ’Atho’, Al Hasan, An Nakho’i dan Ishaq. Pendapat kedua menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah seperti shalat sunnah biasa yaitu dilakukan tanpa ada tambahan ruku’. Inilah pendapat Abu Hanifah dan Malik.

ANJURAN YANG DISUNNAHKAN SAAT MELIHAT GERHANA 

Berdasarkan keterangan Nabi beberapa amalan yang beliau anjurkan saat melihat gerhana ialah memperbanyak doa, dzikir, istighfar, takbir, sedekah, dan amalan kebajikan lainnya termasuk melaksanakan shalat gerhana. Hal ini berdasarkan beberapa Hadis di bawah ini:
  • H.R. Aisyah
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ، وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا.
  • H.R. Abdullah bin Abbas
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ ، وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ.
  • H.R. Abdullah bin Umar
 إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا.
  • H.R. Abi Bakrah
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا.

Beberapa amalan yang sangat dianjurkan dari keterangan hadis di atas ialah melakukan shalat gerhana. Demikanlah karena Nabi sendiri pernah mencontohkannya ketika melihat gerhana seperti disebutkan pada hadis sebelumnya. Itu sebabnya, beberapa ulama menganggap shalat gerhana hukumnya wajib seperti yang dikemukakan oleh imam Abu Hanifah.

TATA CARA DAN KETENTUAN PELAKSANAAN SHALAT GERHANA 

Seperti dikemukakan pada hadis pada poin kedua di atas, sekilas dalam hadis tersebut menyebutkan beberapa ketentuan dalam pelaksanaa shalat Gerhana. Ungkapan yang dimaksud dalam hadis yang bersumber dari Aisyah tersebut ialah:

كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى بِالنَّاسِ فَأَطَالَ الْقِرَاءَةَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَأَطَالَ الْقِرَاءَةَ وَهْيَ دُونَ قِرَاءَتِهِ الأُولَى ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ دُونَ رُكُوعِهِ الأَوَّلِ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثمَّ قَامَ فَصَنَعَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ.

“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau berdiri melaksanakan shalat bersama orang banyak, beliau memanjangkan bacaan, lalu rukuk dengan memanjangkan rukuk, kemudian mengangkat kepalanya, lalu membaca lagi dengan memanjangkan bacaannya namun tidak sebagaimana panjang bacaan yang pertama. Kemudian beliau rukuk lagi dengan memanjangkan rukuk, namun tidak sepanjang rukuk yang pertama, lalu mengangkat kepalanya kemudian sujud dua kali. Beliau kemudian berdiri kembali dan mengerjakan seperti pada rakaat pertama. (H.R. Al-Bukhari)

Shalat gerhana, baik gerhana matahari maupu gerhana bulan terdiri dari 2 raka'at berdasarkan keterangan hadis di atas. Secara rinci, tata cara dan ketentuannya sebagai berikut:
  • Berdiri menghadap kiblat
  • Berniat
Niat Shalat Gerhana Matahari (Kusuf)

أُصَلِّي سُنَّةَ الْكُسُوْفِ رَكُعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَي.

Niat Shalat Gerhana Bulan (Khusuf)

أُصَلِّي سُنَّةَ الْخُسُوْفِ رَكُعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَي
  • Takbiratul ihram, yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa
  • Membaca doa iftitah, membaca al-fatihah, dan surat dalam al-Quran (Dianjurkan surat yang panjang)
  • Ruku' dan doa dalam ruku'
  • Bangkit dari ruku' (I'tidal)
  • Setelah I'tidal tidak langsung sujud, namun dilanjutkan kembali dengan membaca Al-Fatihah dan surat dalam al-Quran (Bacaanya lebih pendek dari yang pertama)
  • Ruku' kembali (ruku' yang kedua)
  • Bangkit dari ruku' (I'tidal)
  • Sujud
  • Duduk diantara dua sujud
  • Sujud kembali
  • Bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka'at kedua sebagaimana rakaat pertama yang terdiri dari dua ruku' dan dua sujud (rakaat kedua lebih singkat dari pada rakaat pertama)
  • Tasyahud
  • Salam
  • Khutbah
Ilustrasinya bisa dilihat di bawah ini:
APAKAH ADA PANDANGAN LAIN?

Dikutip dari Dakwatuna - Dalam pandangan Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, tatacara shalat gerhana adalah dua rakaat biasa dengan sekali ruku, sebagaimana shalat hari raya atau shalat Jumat. Imam Al-Nawawi menyebutkan:

وقال الكوفيون هما ركعتان كسائر النوافل عملا بظاهر حديث جابر بن سمرة وأبي بكرة أن النبي صلى الله عليه و سلم صلى ركعتين.

Berkata Kufiyyin (Para ulama Kufah), shalat gerhana adalah dua rakaat sebagaimana shalat nafilah lainnya, berdasarkan zahir hadits Jabir bin Samurah dan Abu Bakrah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakaat. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)

Pandangan ini berlandasan dengan hadis berikut:

عَنْ أَبِي قِلابَةَ عَنِ النُّعْمَانِ وَهُوَ ابْنُ بَشِيرٍ قَالَ انْكَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَخَرَجَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ فَزِعًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَلَمْ يَزَلْ يُصَلَّى حَتَّى انْجَلَتْ فَلَمَّا انْجَلَتْ قَالَ إِنَّ أُنَاسًا يَزْعُمُونَ أَنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لا يَنْكَسِفَانِ إِلا لِمَوْتِ أَحَدٍ عَظِيمٍ مِنَ الْعُظَمَاءِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَاللَّهُ إِذَا تَجَلَّى لِشَيْءٍ مِنْ خَلْقِهِ خَشَعَ لَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَصَلُّوا كَأَحْدَثِ صَلاةٍ صَلَّيْتُمُوهَا مِنَ الْمَكْتُوبَةِ.

Artinya: Maka, jika kalian melihat gerhana, shalatlah kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian lakukan. (HR. Ahmad No. 20607, dari Qabishah, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1870, dari An Nu’man bin Basyir, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6128, Al Bazzar No. 1371, Ath-Thabarani dalam Al Kabir No. 957, dalam Al Awsath No. 2805)

عَنْ أَبِي قِلاَبَةَ ، عَنْ قَبِيصَةَ الْهِلاَلِيِّ ، أَنَّ الشَّمْسَ انْخَسَفَتْ ، فَصَلَّى نَبِيُّ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ.

Artinya: Matahari mengalami gerhana, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakat dua rakaat. (HR. An Nasa’i dalam Sunannya No. 1487, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 1872, Al Bazzar No. 3294)

Namun dua hadits ini dipermasalahkan para ulama. Jalur hadits ini melalui Abu Qilabah (nama aslinya adalah Abdullah bin Zaid Al Jarmi). syeikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: Dia banyak memursalkan hadits, dan pada hadits ini tidak ada kejelasan bahwa dia mendengar hadits tersebut dari Qabishah bin Mukhaariq. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 20607. Beliau pun mengatakan:  isnadnya dhaif)

Imam Al Baihaqi juga mengisyaratkan kedhaifan riwayat ini, katanya; Hadits ini mursal, Abu Qilabah belum pernah mendengarnya dari An Nu’man bin Basyir, sesungguhnya dia cuma mendengar dari seorang laki-laki yang bersumber dari An Nu’man. (Lihat Sunan Al Kubra No. 6128) Imam Yahya bin Al Qaththan juga menyatakan bahwa hadits ini memiliki cacat, yakni inqitha’ (terputus sanadnya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/215)

Pada hadis yang kedua, sama dengan sebelumnya yakni kemursalan Abu Qilabah terhadap Qabishah Al-Hilali. Sehingga syeikh Al Albani mendhaifkannya. (Lihat Dhaif ul Jami’ No. 1474, Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1487)

Jadi, setelah diketahui bahwa keshahihan hadits ini tidak pasti, bahkan kecenderungannya adalah dhaif. Maka tata cara shalat gerhana yang shahih adalah sebagaimana pendapat jumhur ulama, dengan masing-masing rakaat dua kali ruku’ seperti disebutkan tata caranya di atas.

Semoga Bermanfaat
SEKIAN

SQ Blog - Kajian Qawa'id  Fiqhiyyah  mula-mula  diberi  nama  atau  di kenal  dengan   al-Qowaid atau ad-Dhawabid, al-Faruq, al-Alghaz, Muthorohat al- Afrad, Maarif al-Afrad dan al-Khiyal.[1] Melalui proses yang panjang dalam masa perkembangan dan pembentukan akhirnya melahirkan nama baku untuk kajian keilmuan ini yaitu Ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) atau dalam terminolgi lain dikenal al-Asybah wa al-Nazhair (hal yang serupa dan sebanding).[2]

MASA PERKEMBANGAN QAWA'ID FIQHIYYAH

Perkembangan Qawaid fiqhiyyah terjadi pada masa tabi’in. Pada periode ini adalah adalah masa awal perkembangan fiqh karena pada masa inilah dimulai pendasaran terhadap ilmu fiqih. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa ada masa pendasaran ini adalah awal dari kecenderungan fiqih untuk berada pada wilayah teori.

Hal ini berbeda dengan masa khulafa al-rasyidun yang menjadikan fiqih berada dalam wilayah praktek sebagaimana yang ada pada masa Nabi. Dengan masuknya fiqih pada wilayah teori, banyak hukum fiqih yang di produksi oleh proses penalaran terhadap teori di bandingkan hukum fiqih yang di hasilkan dari pemahaman terhadap kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya yang disamakan dengan kasus baru.

Sehingga, fiqih tidak hanya mampuh menjelaskan persoalan-persoalan waqi’iyyah (aktual) namun lebih dari itu. Disamping itu juga, periode ini merupakan awal perubahan fiqih dari sifatnya yang waqi’iyah (aktual) menjadi nazariyyah (teori).[3]

Setelah melewati masa pendasarannya ilmu fiqh mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan madzhab-madzhab yang diantaranya adalah madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Ahmad) sebagaimana yang telah kita ketahui. Perkembangan berikutnya mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dari menulis, pembukuan, hingga penyempurnaannya pada akhir abad ke-13 H.

MASA PEMBENTUKAN QAWA'ID FIQHIYYAH

Sulit diketahui siapa pembentuk pertama kaidah fiqih yang jelas dengan meneliti kitab-kitab kaidah fiqih dan masa pembentukannya secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam. Walaupun demikian, dikalangan ulama di bidang fiqih menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi yang hidup diakhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 H telah mengumpulkan Kaidah fiqih mazhab Hanafi sebanyak 17 kaidah.[4]

Kemudian Abu Saad Al-Harawi, seorang ulama mazhab Syafi’i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah fiqih yang dihafalkan oleh Abu Thahir. Setelah kurang lebih seratus tahun kemudian, datang Ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi yang kemudian menambah kaidah fiqih dari Abu Thahir menjadi 37 kaidah.

Keterangan diatas menerangkan bahwa kaidah-kaidah fiqih muncul pada akhir abad ke-3 Hijriah. Ketika itu, tantangan dan masalah-masalah yang harus dicarikn solusinya bertambah beriringan meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslim. Maka para Ulama membutuhkan metode yang mudah untuk menyelesaikan masalah kemudian muncullah kaidah-kaidah fiqih. Dalam buku kaidah-kaidah fiqih karangan Prof. H. A. Djazuli digambarkan bahwa skema pembentukan kaidah fiqih adalah sebagai berikut: [5]

Sumber hukum Islam: al-Quran dan Hadis; (1) Kemudian Muncul Ushul Fiqih sebagai metodologi di dalam penarikan hukum. (2) Dengan metodologi Ushul Fiqih yang menggunakan pola pikir deduktif menghasilkan fiqih; (3) Fiqih ini banyak materinya. Dari materi fiqih yang banyak itu kemudian oleh ulama-ulama diteliti persamaaanya dengan menggunakan pola pikkir induktif, kemudian dikelompokan dan tiap-tiap kelompok merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa akhirnya disimpulkan menjadi kaidah fiqih; (4).

Selanjunya kaidah-kaidah fiqih tadi dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan hadis terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi; (5) apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi, kaidah fiqih itu akan menjadi kaidah fiqih yang mapan; (6)

Setelah itu, kaidah ini diterapkan untuk menjawab tantangan perkembangan masyarakat dalam segala bidang dan akhirnya memunculkan fiqih-fiqih baru; (7) oleh karena itu tidak mengherankan apabila ulama memberi fatwa terutama di dalam hal-hal baru yang praktis selalu menggunakan kaidah-kaidah fiqih bahkan kekhalifaan Turki menggunakan 99 kaidah di dalam membuat undang-undang muamalah dengan 1851 pasal; (8).

ENDNOTE


[1] Al-Allamah Jalal Al-Faqih Mustafa Dziraq, Qawa’id Fiqhiyyah (Jiddah: Da’r al-Basyir, 2000), hal. 134
[2] Prof. H.  A. Djazuli,  Kidah-Kaidah  Fiqih : Kidah-kaidah   Hukum  Islam  dalam   Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis  (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010) hal. 7
[3]  Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), hal.
[4]  Prof.  H.  A.  Djazuli,  Kidah-Kaidah  Fiqih : Kidah-kaidah  Hukum  Islam  dalam  Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis  (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010) hal. 12
[5] Prof. H.  A. Djazuli,  Kidah-Kaidah  Fiqih : Kidah-kaidah   Hukum  Islam  dalam   Menyelesaikan  Masalah-Masalah yang Praktis  (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010) hal. 13-14

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.