Postingan Terbaru

SQ Blog - Doa adalah senjata orang beriman (الدُعَاءُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ), artinya menjadi alat atau kekuatan utama yang dimiliki seorang Muslim untuk menghadapi kesulitan dan mengharapkan pertolongan Allah SWT. Para Nabi dan Rasul pun senantiasa berdoa sebagaimana banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Quran dan Hadis.

Salah satu keistimewaan doa para Nabi dan Rasul disebutkan Imam Muslim dalam kitab shahihnya:

لِكُلِّ نَبِىٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِىٍّ دَعْوَتَهُ وَإِنِّى اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِى شَفَاعَةً لأُمَّتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَهِىَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِى لاَ يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا.

Setiap Nabi memiliki doa mustajabah, dan setiap Nabi telah menggunakan doa mustajab mereka. Adapun aku menangguhkan doa mustajabah tersebut sebagai syafaat untuk umatku pada hari kiamat kelak. Maka setiap umatku memperoleh syafaat tersebut insyaAllah bagi mereka yang meninggal tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. (H.R. Muslim)

Demikian salah satu harapan terbesar setiap insan pada hari akhir kelak, dapat mendapatkan syafaat dari baginda Rasulullah SAW dan juga mengharapkan syafaat Al-Quran yang senantiasa dibacanya. Jika syafaat Al-Quran dapat diperoleh dengan membaca, mempelajari, menghafalkan, dan kemudian mengamalkannya. Adapun syafaat Nabi dapat diraih dengan menjadi umatnya yang istiqomah dalam menjalankan ajaran-ajarannya.


Menjadi umat Nabi Muhammad SAW merupakan anugerah yang patut di syukuri kepada Allah SWT. Betapa banyak kemuliaan dan anugerah yang Allah berikan kepada umat terakhir ini yang tidak diberikan pada umat-umat sebelumnya berkat keagungan dan kemuliaan baginda Rasulullah SAW.

Imam Ibnu Majah dalam kitab sunannya dan juga Imam Al-Baihaqi dalam kitab sunan al-kubranya menyebutkan riwayat yang bersumber dari sahabat Ibnu Abbas:

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ لِى عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ.

Sesungguhnya Allah SWT mengampuni umatku dalam beberapa hal karena aku, yaitu ketika berbuat keliru, lupa, dan dipaksa. (H.R. Al-Baihaqi dan H.R. Ibnu Majah)

Anugerah tersebut dipahami dan dimaknai sebagai bentuk karunia dari Allah yang diperoleh berkat kemuliaan Rasululullah SAW. Kemudian melahirkan rasa terima kasih atas kedudukan sebagai umatnya. Dalam keterangan hadis Nabi disebutkan:

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ.

Belum dianggap bersyukur seorang hamba, atau belum sempurna rasa syukur seorang hamba sampai ia mampu berterima kasih kepada sesama manusia. (H.R. Abu Dawud)

Berterima kasih kepada sesama di antaranya dilakukan kepada kedua orang tua, guru, kerabat, tetangga, rekan, teman dan yang lainnya. Dan sosok, pribadi, insan yang paling pantas kita berterima kasih atasnya adalah baginda Rasulullah SAW. Beberapa tuntunan yang dapat dilaksanakan sebagai upaya untuk berterima kasih kepada Nabi, dan juga sekaligus menunjukan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat kenabian ini. Tuntunan tersebut tidak terlepas dari kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan sebagai umat Nabi Muhammad SAW, di antaranya:

Pertama : الإيمان به (Beriman dengan sepenuh hati)

Langkah pertama dengan menyakini sepenuh hati bahwa nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah dan menjadi penutup para nabi dan rasul. Tidak ada lagi nabi dan rasul setelahnya. Beliaulah sebagai penutup risalah yang diutus untuk membimbing umat manusia.

Demikian adanya salah satu rukun iman adalah beriman kepada para rasul termasuk Rasulullah SAW. Dalam surat Al-Ahzab disebutkan:

.مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ    

Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. (Q.S. Al-Ahzab : 40)

Kedua : محبته (Mencintainya)

Setelah beriman dengan sepenuh hati, berikutnya mencintai Nabi dengan tulus melebihi dari segala yang lainnya setelah kecintaan kepada Allah. Bukti kecintaan tersebut tidak hanya sekedar di lisan, tetapi tergambar dalam sikap dan perbuatan dengan menjadikan Nabi sebagai prioritas dalam setiap hal dan rela berkorban untuk menegakkan ajaran-ajarannya.

Nabi SAW bersabda:

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا.

ِAda 3 kelompok orang yang dapat merakan manisnya iman, salah satu dari mereka adalah orang yang mencintai Allah dan rasul-Nya melebihi dari segala yang lainnya. (H.R. Muslim)

Ketiga : طاعته (Taat kepadanya)

Ketika keimanan dan kecintaan kepada Nabi telah tumbuh, maka berikutnya akan melahirkan ketaatan dalam menjalankan sunnah-sunnahnya. Ketaatan kepada Nabi hakikatnya adalah ketaatan kepada Allah SWT karena atas izin dan kehendak-Nyalah memilih dan mengutus setiap nabi dan rasul. Sehingga kedua bentuk ketaatan ini tidak dapat dipisahkan. Dalam surat Al-Nisa ayat 80 ditegaskan:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ.

Siapa yang menaati Rasul (Muhammad), maka sungguh telah menaati Allah. (Q.S. Al-Nisa : 80)

Keempat : تعظيم شعنه (Mengagungkan pribadinya)

Disamping beriman, mencintai, dan taat kepada Nabi, juga memuliakan dan mengagungkan pribadi baginda Nabi Muhammad SAW. Menanamkan rasa ta'zim terhadap segala hal yang berkaitan dengan Nabi dan menjadikannya sebagai uswatun hasanah.

Sebagai umatnya yang datang kemudian sehingga belum pernah berjumpa dengan beliau, mempelajari dan mengamalkan hadis-hadisnya merupakan salah satu upaya untuk mengagungkan dan menghormati pribadi Nabi. Para ulama telah menulis dan menyusun hadis-hadis Nabi dalam berbagai kitab yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan untuk meraih keberkahan pada diri Nabi.

Hadis-hadis tersebut dapat ditemukan dalam beberapa metode penyusunan yang telah dituliskan oleh para ulama sebagai berikut:

  1. Metode shahih, yaitu Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim;
  2. Metode sunan, yaitu Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa'i, Sunan Al-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan Al-Kubra Al-Baihaqi, dan lainnya;
  3. Metode muwatta seperti Muwatta Imam Malik bin Anas;
  4. Metode mushannaf seperti Mushannaf Hammad bin Salamah,
  5. Metode musnad seperti Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Abu Ya'la,
  6. Metode mustakhraj seperti Mustakhraj Al-Isfirayni,
  7. Metode mustadrak seperti Mustadrak ala As-Shahihain karya Imam Al-Hakim,
  8. Metode mu'jam seperti Al-Mu'jam Al-Kabir, Al-Mu'jam Al-Ausat, Al-Mu'jam Al-Saghir karya imam Al-Thabrani,
  9. Metode zawaid seperti Misbah Al-Zujajah karya Jalaluddin Al-Suyuti,
  10. Termasuk metode shahifah yang dipakai para sahabat dalam mencatat hadis, di antaranya Shahifah Umar bin Khattab, Shahifah Ali bin Abi Thalib, Shahifah Abdullah bin Mas'ud, dan lainnya.
Kitab-kitab hadis tersebut saat ini hampir semuanya mudah dijumpai, baik dalam bentuk cetak maupun digital kecuali dalam bentuk shahifah. Demikian juga syarah dari masing-masing kitab tersebut telah ditulis para ulama dalam kitab yang berjilid-jilid jumlahnya. Seperti Fath Al-Bari' syarah kitab Shahih Al-Bukhari karya imam Ibnu Hajar, Al-Minhaj syarah Shahih Muslim karya imam An-Nawawi. 

Kelima : كثرة الصلوات عليه (Memperbanyak sholawat kepadanya)

Tuntunan berikutnya ialah senantiasa bersholat kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Ahzab ayat 56 disebutkan:

 إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. (Q.S. Al-Ahzab : 56)
Para mufassir menjelaskan bahwa sholawat Allah kepada Nabi berupa mencurahkan rahmat-Nya, sholawat para Malaikat berupa doa atasnya, dan sholawat orang-orang yang beriman artinya mengharapkan kemulian dan keberkahan melalui perantara Nabi Muhammad SAW.


Bersholawat kepada Nabi dapat diibaratkan mengisi gelas yang penuh, maka airnya akan mengalir dan kembali kepada yang menuangkannya. Artinya, pribadi Nabi adalah pribadi yang sudah penuh dengan kebaikan dan kemuliaan, maka segala kebaikan dan kemuliaan yang ditujukan kepadanya termasuk doa dan sholawat akan kembali kepada yang memberikannya.

Keenam : محبة أهل بيته وأصحابه (Mencintai keluarga dan para sahabatnya)

Terakhir, mencintai juga keluarga Nabi dan para sahabat-sahabatnya. Merekalah yang senantiasa mendampingi Nabi dalam setiap keadaan dan perjuangan untuk mensyiarkan agama Islam.

Maka menghormati dan memuliakan mereka termasuk memuliakan Nabi, membenci dan memusuhi mereka secara tidak langsung akan menyakiti Nabi juga. Mengetahui sejarah dan jasa mereka akan melahirkan nilai-nilai yang dapat dicontoh dalam meneladani Nabi. Karena merekalah yang menyaksikan segala perbuatan dan kondisi yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW.

Demikian beberapa tuntunan yang harus dibina dan ditanamkan untuk menjadi umat Nabi Muhammad SAW. Tuntunan ini menggambarkan rasa terima kasih atas risalah Nabi sekaligus menjadi bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta Allah SWT dengan menggunakan segenap anugerah-Nya sesuai dengan ketentuan dan bimbingan-Nya.

Dan semoga dengan tuntunan ini dapat mengantarkan kita menjadi umat Nabi Muhammad SAW yang kelak mendapatkan syafaatnya di hari akhir kelak, aamiin yaa Rabb.

Sya'ban merupakan bulan ke-8 dalam kalender hijriyah, dan juga bulan yang terletak di antara bulan Rajab dan bulan Ramadhan. Hal ini menunjukkan kemuliaan bulan sya'ban karena diapit oleh dua bulan yang juga memiliki keagungan di sisi Allah SWT.

Bulan Rajab yang mendahului bulan sya'ban adalah salah satu dari bulan-bulan haram di sisi Allah, dan bulan Ramadhan yang mengiringinya adalah bulan dimana Al-Quran diturunkan, bulan yang di dalamnya terdapat lailatul qodar, dan bulan yang penuh kesucian, keberkahan dan maghfiroh di sisi Allah SWT.

Bulan sya'ban secara bahasa dapat di artikan jalan atau celah dari asal kata syi'ab (شِعْب). Menunjukkan bulan ini menjadi jalan yang dimulai untuk meraihkan kebaikan serta kemuliaan dalam bulan ramadhan. Dalam tradisi masyarakat Arab, saat sya'ban datang mereka mempersiapkan diri berupa sumber-sumber mata air sebelumnya datangnya bulan panas. Persiapan itu dilakukan dengan membuat kelompok-kelompok kecil (شَعَّبَ) di antara mereka untuk mencari sumber-sumber air.

Setelah Islam datang, makna tersebut dipahami sesuai dengan nilai dan tuntunan ajaran-ajaran Islam. Sehingga sya'ban menjadi bulan untuk mulai mempersipakan diri dengan berbagai ibadah dan kebaikan sebelum datangnya bulan suci Ramadhan. 


Bulan sya'ban menjadi jembatan antara rajab dan ramadhan. Kedudukannya menjadi gerbang untuk menyambut bulan suci ramadhan. Baginda Rasulullah SAW mengajarkan salah satunya agar mulai mempersiapkan diri menjalankan ibadah puasa di dalam bulan ini.

Siti Asiyah, istri baginda Rasulullah SAW berkata:

.َمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ 

Tidaklah aku melihat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh kecuali Ramadhan, dan aku tidak melihat beliau berpuasa sebanyak pada bulan Sya’ban. (H.R. Al-Bukhari dan H.R. Muslim)

Setelah bulan Ramadhan, dimana kaum muslimin diwajibkan berpuasa sebulan penuh di dalamnya. Sebagaimana dicontohkan Nabi SAW dan para sahabat, ada bulan sya'ban dimana baginda Rasulullah SAW lebih banyak banyak berpuasa dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Dalam riwayat lain disebutkan, seorang sahabat bernama Usaman bin Zaid bertanya kepada Nabi:

.يَا رَسُولَ اللَّهِ لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ 

Wahai Rasulullah, aku tidak melihatmu berpuasa sebanyak pada bulan Sya’ban. 

.قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ

Nabi bersabda: “Sya’ban adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia, yang terletak di antara Rajab dan Ramadhan.

 وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الأعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِم.

Sya’ban juga bulan diangkatnya amal perbuatan ke suatu tempat di langit yang dimuliakan oleh Allah Sang Pemilik alam semesta, dan aku senang kata Nabi, jika amal perbuatanku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.

Riwayat di atas disebutkan Imam Ahmad dalam kitab musnadnya, demikian juga Imam Al-Nasa'i dan kitab sunannya.

Keterangan di atas menunjukkan salah satu kemuliaan sya'ban, yaitu bulan tempat diangkatnya amalan seorang hamba dalam setahun kepada Allah SWT. Sehingga Nabi menyatakan, "aku senang jika amal perbuatanku diangkat sedangkan aku dalam keadaan berpuasa."

Amalan seorang hamba di angkat kepada Allah dalam beberapa waktu, ada yang langsung diangkat seperti sholat, ada yang diangkat pada setiap senin dan kamis, dan ada yang setiap pagi dan petang. Adapun pengangkatan amalan pada bulan sya'ban mencakup perbuatan secara umum yang dilakukan selama setahun.


Kemulian kedua, peristiwa pengalihan kiblat dari masjidil Aqsa ke masjidil Haram terjadi pada bulan sya'ban. Hal ini disebutkan imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya saat menjelaskan ayat:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ.

Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Di mana pun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. (Q.S. Al-Baqarah 144)

Dalam Al-Jami' li Ahkam al-Quran disebutkan bahwa peristiwa ini, perintah kepada Nabi mengalihkan kiblat dari madjidil Aqsa ke Masjidil Haram terjadi pada bulan Sya'ban. Hal ini terjadi setelah Nabi dan para sahabat melaksanakan sholat menghadap Masjidil Aqsa selama 1 tahun lebih.

Pesan ini memberi isyarat kepatuhan kepada Allah dan sholat sebagai ibadah utama dalam mengabdi dan mendekatkan diri kepada Allah.


Kemuliaan ketiga, sya'ban adalah bulan sholawat. Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa surat Al-Ahzab ayat 56 tentang perintah sholawat diturunkan pada tahun ke-2 hijriah bertepatan pada bulan sya'ban. Sehingga sebagian menyebutkan sya'ban sebagai bulan sholawat.

Kemuliannya lainnya, di dalamnya terdapat nisfu sya'ban, yaitu pertegahan bulan sya'ban. Imam Ibnu Majah dalam kitab sunannya menyebutkan:

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا.

Jika tiba malam Nishfu Sya’ban, maka shalatlah (sunnah) pada malam harinya dan berpuasalah (sunnah) pada siang harinya. (H.R. Ibnu Majah)

Semoga kemulian bulan ini dapat dimaksimalkan dalam mendekatkan diri kepada Allah, dan meningkatkan kualitas ibadah, baik yang sunnah demikian juga yang wajib. Sehingga di bulan Ramadhan dapat merasakan manisnya iman dan ibadah yang dilaksanakan.

Sekian

Rasa syukur semoga senantiasa dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, atas izin-Nya masih memanjangkan usia kita sehingga dapat bertemu kembali dengan tahun baru. Hal ini bertepatan juga dengan suasana awal bulan rajab yang penuh kemuliaan di sisi Allah. Yaitu salah satu bulan-bulan haram, yang penuh kemuliaan di dalamnya.

Nabi SAW menyatakan:

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان

Tahun terdiri atas 12 bulan, di antaranya 4 bulan haram. 3 bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Muharram. Adapun Rajab terletak di antara Jumada (Jumadil Akhir) dan Sya'ban. (H.R. Al-Bukhari)

Demikian juga dalam surat At-Taubah ayat 36 ditegaskan:

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya. (Q.S. At-Taubah: 36)


Limpahan anugerah dan rahmat Allah tersebut mengantarkan kita pada gerbang dan pintu-pintu kebaikan. Awal tahun ini mendorong kita untuk meningkatkan kualitas diri yang lebih baik dari tahun sebelumnya. Dan suasana awal bulan Rajab mendorong kita untuk membenahi diri dalam upaya menyambut bulan Sya'ban dan bulan Ramadhan yang penuh kemuliaan di sisi Allah SWT.

Berkenaan dengan ini, satu ayat yang patut disampaikan dalam rangka meningkatkan kulitas diri kita ialah firman Allah SWT dalam surat Al-Hasyr ayat 18:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Hasyr: 18)

Pesan pertama : يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَwahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. Dalam pengertian umum taqwa adalah:

امتثال أوامر الله واجتناب نواهيه

Melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Dari pengertian takwa ini dan beragam makna lainnya yang telah dikemukakan para ulama, satu kesimpulan yang dapat dikemukakan bahwa taqwa adalah upaya menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat mendatang azab, musibah, bencana, keburukan dan lainnya. Baik itu berkenaan dengan pelanggaran terhadap hukum-hukum alam raya yang dapat menyebabkan datangnya musibah dan bencana, maupun pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat yang dapat mengakibatkan datangnya azab dan siksa Allah SWT.

Melanggar hukum hukum-hukum alam raya, berlaku umum dan prinsipnya menyebabkan datangnya musibah, bencana, dan malapetaka di dunia. Dan melanggar hukum-hukum agama dan syariat, prinsipnya mengakibatkan datangnya azab dan siksa di akhirat kelak.


Sesuai prinsip ini, seseorang yang melanggar syariat belum tentu mendapat azab di dunia. Demikian juga orang alim yang rajin sholat, puasa, dan sebagainya jika melanggar hukum-hukum alam raya boleh jadi terkena sanksinya. Para ulama misalnya, bisa sakit perut karena memakan makanan kotor. Di sisi lain, orang yang jarang sholat, suka melakukan maksiat dan sebagainya, jangan beranggapan bahwa mereka tidak dapat kaya. Bisa saja mereka kaya raya karena mengikuti sunnatullah dan ketetapan yang berlaku di alam raya ini.

Ini pesan pertama yang dapat dikemukakan bahwa taqwa bukan hanya berkenaan dengan tuntunan agama. Tetapi taqwa memiliki dua sisi, yaitu sisi dunia dan sisi akhirat. Sisi dunia menuntun seorang hamba untuk giat dalam bekerja dan berusaha untuk mencari ridha Allah, dan sisi akhirat menuntun seorang hamba untuk senantiasa beribadah dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Pesan kedua: وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍdan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Boleh jadi hari esok yang dekat yaitu dunia, dan hari esok yang jauh yaitu akhirat.

Hendaklah seorang hamba memperhatikan apa yang telah ia lakukan, apa yang telah ia perbuat, dan apa yang telah ia persiapkan untuk hari esok. Setiap orang penting untuk memeriksa, mengevaluasi, dan menghitung apa yang telah ia siapkan hari ini untuk Besok. Boleh jadi besok di masa muda, di masa remaja, di masa tua, dan tentunya besok di akhirat kelak.

Dalam tuntunan agama, upaya ia disebut muhasabah. Sebagai upaya untuk intropeksi, renungan, dan refleksi terhadap diri selama ini. Sekiranya dalam beribadah niatnya masih salah, maka berupaya untuk diperbaiki dan diluruskan. Jika masih keliru karena kurangnya ilmu, maka berusaha membekali diri dengan wawasan dan ilmu yang lebih baik. Jika kiranya sudah baik, maka tinggal ditingkatkan atau paling tidak dipertahankan.

Satu rumus yang dapat menjadi patokan dalam evaluasi diri ialah bandingkan diri anda hari ini dengan hari esok, seperti dikemukakan dalam sebuah atsar:

مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ

Siapa saja yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia tergolong orang yang beruntung. Siapa saja yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia tergolong orang yang merugi. Dan siapa saja yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka).

Orang yang hari ini sama saja dengan hari kemarin masih termasuk orang yang merugi. Paling tidak ia telah rugi modal dan waktu. Dan orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin termasuk orang yang celaka. Ia telah banyak menyianyiakan anugerah Allah dan tidak mendapatkan kebaikan apapun dari anugerah dan nikmat-nikmat tersebut sebagaimana mestinya. Bahkan boleh menjadi disalahgunakan dengan melakukan berbagai dosa dan maksiat.

Harapan setiap hamba agar termasuk orang-orang beruntung adalah memperoleh hari ini lebih baik dari hari kemarin. Tahun ini dapat lebih baik lagi dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk meraih harapan ini, mempergunakan sebaik-baik waktu adalah kunci untuk merealisasikannya. Berkenaan hal ini, terdapat tuntunan penting yang diriwayatkan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya:

على العاقل - مالم يكن مغلوباً على عقله- أن تكون له ساعات: ساعة يناجي فيها ربه، وساعة يحاسب فيها نفسه، وساعة يتفكر فيها في صنع الله، وساعة يخلو فيها لحاجته من المطعم والمشرب

Bagi seseorang yang masih berakal sehat, hendaklah ia memiliki beberapa waktu. Waktu untuk bermunajat kepada Tuhannya, waktu untuk muhasabah dirinya, waktu untuk memikirkan ciptaan Allah, dan waktu untuk bekerja memenuhi kebutuhannya seperti makan dan minum.

Waktu untuk bermunajat, yaitu waktu untuk beribadah dan curhat kepada Sang Maha Pencipta. Seperti mendirikan sholat, puasa, zakat, membaca al-Quran, berdoa, dan beragam ibadah lainnya, baik yang wajib demikian juga amaliah yang sunnah.

Waktu untuk bermuhasab, yaitu waktu untuk mengevaluasi diri. Baik perbuatan, perkataan, dan tindakan lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang masih kurang dibenahi dan yang sudah baik dipertahankan dan ditingkatkan demi meraih ridha Allah SWT.

Waktu untuk bertafakkur, yaitu waktu untuk merenung dan memikirkan ciptaan-ciptaan Allah SWT. Termasuk di dalamnya mencari ilmu dan menambah wawasan pengetahuan.

Waktu untuk bekerja, yaitu waktu untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Baik itu untuk diri sendiri, maupun untuk memenuhi kebutuhan yang menjadi tanggung jawabnya.

Pesan ketiga: وَاتّقُوا اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ, bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Ayat ini ditutup dengan mengingatkan kembali perintah taqwa, kemudian dirangkaikan dengan penegasan bahwa Allah Maha Teliti terhadap setiap perbuatan hamba-hamba-Nya.

Para ulama memberikan perbedaan antara Maha Mengetahui (عليم) dan Maha Teliti (خبير). Sifat Alim (عليم) adalah pengetahuan Allah mencakup segala sesuatu, sedangkan Habiir (خبير) adalah pengetahuan Allah secara rinci terhadap segala sesuatu. Dengan demikian, Allah Maha Mengetahui secara rinci dari ketakwaan seorang hamba. 


Ini mengisyaratkan dan mengingatkan seorang hamba untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan meningkatkan keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT dimanapun ia berada, dan dalam kondisi dan suasana apapun ia berada.

Nabi SAW mengingatkan:

اتَّقِ اللهِ حَيْثُمَا كُنْتَ ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الحَسَنَةَ تَمْحُهَا

Bertakwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka akan menghapuskannya. (H.R. Al-Tirmidzi)

Semoga kita senantiasa dalam keberkahan Allah SWT.

Sekian

Di antara surat dalam Al-Quran yang sering dibaca bahkan dihafalkan, setelah surat Al-Fatihah adalah surat Al-Falaq dan surat An-Naas. Kedua surat ini kemudian disebut Al-Muawwidzatain, yaitu dua surat perlindungan kepada Allah SWT dari segala bentuk keburukan dan kejahatan.

Hal tersebut sesuai keterangan Nabi SAW:

أُنْزِلَتْ عَلَىَّ آيَاتٌ لَمْ يُرَ مِثْلُهُنَّ قَطُّ الْمُعَوِّذَتَيْنِ.

Diturunkan kepadaku beberapa ayat yang tidak ada menyamainya sedikitpun, yaitu Al-Muawwidzatain. (H.R. Muslim)

Dalam urutan mushaf, surat Al-Muawwidzatain, yaitu surat Al-Falaq dan surat An-Naas merupakan dua surat terakhir yang menjadi surat ke-113 dan surat ke-114. Adapun dalam urutan turunnya wahyu Al-Quran, kedua surat ini dianggap wahyu yang ke-21 dan ke-22 yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW.


Imam Al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwwah, demikian juga imam Al-Suyuti dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, keduanya menyebutkan riwayat terkait peristiwa yang melatarbelakangi turunnya surat al-Falaq dan an-Naas. Dalam Dalail an-Nubuwwah disebutkan:

مرض رسول الله مرضا شديدا

Suatu ketika, baginda Rasulullah SAW pernah merasakan sakit yang agak berat.

فأتاه ملكان فقعدا أحدهما عند رأسه والآخر عند رجليه

Beliau pun didatangi oleh dua malaikat, malaikat yang pertama duduk di dekat kepalanya dan malaikat yang kedua duduk di dekat kakinya.

فقال الذي عند رجليه للذي عند رأسه ما ترى؟

Malaikat yang kedua, yang duduk dekat kaki Nabi berkata kepada malaikat pertama yang duduk dekat kepala Nabi, apa pendapatmu terkait sakitnya?

قال طب قال وما طب؟ قال سحر قال ومن سحره؟ قال لبيد بن الأعصم اليهودي

Malaikat yang pertama menjawab: Tubba. Malaikat kedua kembali bertanya, apa itu tubba? Sihir kata malaikat pertama. Siapa yang menyihirnya? kata malaikat kedua kembali bertanya. Labid bin al-A'sham Al-Yahudi kata malaikat kedua.

قال أين هو قال في بئر آل فلان تحت صخرة

Di mana ia menyimpan sihir tersebut? Lanjut malaikat kedua. Di dalam sebuah sumur milik Fulan yang diletakkan di bawah sebuah batu.

فلما أصبح رسول الله بعث عمار بن ياسر في نفر

Tatkala pagi hari telah tiba, Rasulullah SAW mengutus Ammar bin Yasir dan beberapa sahabat lainnya, untuk mengambil sihir tersebut berdasarkan informasi yang telah disampaikan oleh dua malaikat yang mendatangi Nabi.

فإذا ماؤها مثل ماء الحناء

Ketika para sahabat sampai di sumur yang dimaksud, mereka mendapat air sumur tersebut berwarna merah seperti campuran henna, yaitu sejenis pewarna yang dibuat dari tumbuhan. Mereka pun mulai menguras air sumur itu sampai kering dan mendapati sebuah batu di dalamnya.

وتر فيه إحدى عشرة عقدة

Saat mereka mengangkat bawah batu di dalam sumur itu, mereka menemukan di bawahnya sesuatu yang terdiri atas sebelas ikatan. Dan ikatan-ikatan itu tidak dapat dilepaskan.

فأنزلت عليه هاتان السورتان

Akhirnya turunlah wahyu kepada Nabi SAW, yaitu dua surat.

فجعل كلما قرأ آية انحلت عقدة (قل أعوذ برب الفلق) و (قل أعوذ برب الناس)


Setiap Nabi membaca satu ayat dari dua surat tersebut, terlepaslah satu ikatan dari sihir itu. Dua surat tersebut yaitu surat Al-Falaq dan An-Naas yang terdiri atas sebelasa ayat. Sehingga, setelah Nabi membaca kedua surat tersebut, terlepaslah Nabi dari semua pengaruh buruk sihir itu yang dibuat oleh Labid bin Al-A'sham Al-Yahudi.


Keagungan dan kemuliaan surat al-Falaq dan surat an-Naas sebagai surat perlindungan, ditegaskan juga dalam beberapa keterangan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Di antaranya, diriwayatkan oleh Imam al-Nasa'i dalam kitab sunannya:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَا ابْنَ عَابِسٍ، أَلاَ أُخْبِرُكَ بِأَفْضَلِ مَا يَتَعَوَّذُ بِهِ الْمُتَعَوِّذُونَ ؟ قَالَ : بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ، قَالَ : قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ . هَاتَانِ السُّورَتَانِ.

Bahwasanya Nabi SAW berkata : Wahai Ibnu Abis, maukah engkau aku tunjukkan sesuatu yang paling mulia untuk memohon perlindungan oleh orang-orang yang memohon dengannya? Ibnu Abis menjawab: Tentu ya Rasulullah. Nabi berkata: Qul a'udzu birabbil falaq dan Qul a'udzu birabbin naas. Inilah dua surat perlindungan. (H.R. Al-Nasa'i)

Kedua surat ini, surat al-Falaq maupun surat an-Naas, diawali perintah:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ

Katakanlah, aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai waktu shubuh. Dan perintah:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

Katakanlah, aku berlindung kepada Tuhan manusia.

Ungkapan tersebut mendorong setiap hamba yang membacanya, hendaknya dibarengi dengan kenyakinan dalam hati bahwa Ialah Allah yang memerintahkan untuk memohon perlindungan, dan Ialah yang mengabulkan setiap permohonan kepada hamba-hamba-Nya, maka dengan ini yaa Rabb, kami membacanya sebagai ketaatan kepada-Mu, maka kabulkanlah yaa Allah.

Menurut keterangan para ulama, surat al-Falaq mewakili perlindungan seorang hamba dari segala keburukan yang bersumber dari luar dirinya. Surat ini berbunyi:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (1) مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (2) وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (3) وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (4) وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (5) 

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku berlindung kepada Tuhan yang (menjaga) fajar (subuh). dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan, dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dari kejahatan perempuan-perempuan (penyihir) yang meniup pada buhul-buhul (talinya), dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki. (Q.S. Al-Falaq)

Adapun surat an-Naas mewakili perlindungan seorang hamba dari segala keburukan yang bersumber dari dalam dirinya. Surat ini berbunyi:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (1) مَلِكِ النَّاسِ (2) إِلَهِ النَّاسِ (3) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (4) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (5) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (6

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Raja manusia, sembahan manusia. Dari kejahatan (setan) pembisik yang bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. (Q.S. An-Naas)

Oleh karenanya, permohonan yang dipanjatkan dalam kedua surat ini mencakup segala keburukan dan kejahatan yang menghampiri manusia setiap saat, baik dari dalam dirinya, demikian juga yang bersumber dari luar dirinya. Sehingga baginda Rasulullah SAW dan para sahabat senantiasa mengamalkan dua surat ini untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT.

Setiap malam menjelang tidur, Nabi SAW membaca surat-surat ini. Imam Al-Bukhari dalam kitab shahihnya meriwayatkan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} ، وَ{قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ} ، وَ{قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ} ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.


Dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi SAW apabila menghampiri tempat tidurnya setiap malam, beliau menyatukan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu membacakan pada keduanya, “Qul huwallahu ahad, Qul a’udzu birabbil falaq, Qul a’udzu birabbin naas.” Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangannya ke seluruh tubuhnya yang dapat ia jangkau. Beliau mulai dari kepala, wajah, serta anggota tubuh lainnya. Beliau melakukan itu tiga kali. (H.R. Muslim)

Demikian juga, ketika Nabi SAW merasakan sakit pada tubuhnya, beliau memohon kesembuhan dengan membaca surat-surat ini.

عَنْ عَائِشَةَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا اشْتَكَى يَقْرَأُ عَلَى نَفْسِهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَيَنْفُثُ فَلَمَّا اشْتَدَّ وَجَعُهُ كُنْتُ أَقْرَأُ عَلَيْهِ وَأَمْسَحُ بِيَدِهِ رَجَاءَ بَرَكَتِهَا.

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah SAW ketika sakit beliau membacakan untuk dirinya surat mu'awwidzat (Surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas) dan meniupnya. Ketika sakitnya semakin parah, maka saya bacakan kepadanya dan mengusap dengan tangan beliau mengharap berkah darinya. (H.R. Al-Bukhari)

Semoga kita senantiasa berada dalam keberkahan dan perlindungan Allah SWT. Baik segala keburukan dan kejahatan yang bersumber dari luar diri kita, demikian juga yang bersumber dari dalam kita sendiri. Aamiin yaa Rabb


SQ-Blog - Surat Ghafir adalah salah satu surat dalam Al-Quran yang artinya maha pengampun. Surat ini terletak di antara surat Az-Zumar dan surat Fushshilat. Dalam urutan mushaf, surat ghafir terletak dalam surat ke-40.

Surat ghafir disebut juga surat al-Mu'min yang memiliki arti orang yang beriman. Dan banyak hal lainnya yang bisa dipelajari dalam surat ini, di antaranya:

  1. Salah satu surat yang di awali Fawatih Al-Suwar, yaitu (حم)
  2. Menjelaskan bahwa Allah adalah Zat yang maha pengampun.
  3. Para malaikat senantiasa mendoakan orang-orang yang beriman.
  4. Memuat beberapa kisah, sepert kisah Nabi Musa, Kisah Fir'aun, Haman, Qarun, dan lain-lain.
  5. Menegaskan kiamat pasti akan terjadi.
  6. Memiliki nama lain, yaitu Al-Mu'min.
  7. Dan lain-lain.
Nah teman-teman, untuk menambah wawasan kita tentang surat Ghafir, silahkan buka Quiz surat Ghafir berikut ini.


Selamat belajar teman-teman

SQ-Blog - Surat Fushshilat adalah salah satu surat dalam Al-Quran. Surat ini terletak di antara surat Ghafir dan surat As-Syura'. Dalam urutan mushaf, surat fushshilat terletak dalam surat ke-41.

Banyak hal yang bisa dipelajari dalam surat Fushshilat, di antaranya:

  1. Surat yang di awali fawatih Al-Suwar, yaitu (حم)
  2. Salah satu ayatnya terdapat ayat sajadah
  3. Terdapat hukum tashil
  4. Memuat salah satu ayat istiqomah
  5. Dan lai-lain
Nah teman-teman, untuk menambah wawasan kita tentang surat Fushshilat, silahkan buka Quiz surat Fushshilat berikut ini.


Selamat belajar teman-teman

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.