Articles by "Asbabun Nuzul"

Tampilkan postingan dengan label Asbabun Nuzul. Tampilkan semua postingan

SQ Blog - Shubuh ini admin akan berbagi pemahaman terkait satu surah dalam al-Quran. Umumnya ayat tersebut dimaknai bahwa laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik pula, begitu pun sebaliknya. Ayat yang memuat informasi tersebut ialah surah An-Nur ayat 26. Pertanyaanya, sudah benarkah demikian pemahaman atau penafsiran ayat tersebut. Inilah yang admin akan bagikan kali ini. Simak uraiannya di bawah ini.

Q.S. al-Nur Ayat 26

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ أُولَئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ ﴿سورة النور : ٢٦﴾

Artinya: Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).[1] [Q.S. al-Nur : 26]

Asbab al-Nuzul Surah al-Nur Ayat 26

Riwayat asbab al-nuzul dari surah al-Nur ayat 26 di atas, sebagai berikut:[2]
  • Pada suatu waktu Khasif bertanya kepada Sa’ad bin Jubair: “Mana yang lebih besar dosanya, zina atau menuduh orang berbuat zina ?”. jawab Sa’ad “Lebih besar zina”. Khasif kembali berkata: “Bukankah Allah swt telah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik …..”(QS. An-Nur:23) sebagaimana kita maklumi ?”. Yakni yang menegaskan bahwa orang yang menuduh berzina dilaknat Allah di dunia dan akhirat. Maka Sa’ad berkata: “ayat ini diturunkan khusus berkenaan dengan peristiwa Aisyah”. (HR. Thabrani dari Khasif. Di dalam sanadnya terdapat Yahya al-Hamani yang dha’if).
  • Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq dituduh berbuat serong. Dan ia sendiri tidak mengetahui, baru kemudian ada yang menyampaikan tentang tuduhan yang dilontarkan kepadanya. Ketika Rasulullah SAW. Berada di tempat Aisyah, maka turunlah wahyu sehingga beliau membetulkan duduknya serta menyapu muka. Setelah itu beliau bersabda : “Wahai Aisyah, bergembiralah kamu “. Aisyah berkata: “Dengan memuji dan bersyukur kepada Allah, dan bukan kepada tuan.” Kemudian Rasulullah SAW. Membaca ayat ke 23-26 sebagai ketegsan hukum bagi orang yang menuduh berbuat zina terhadap wanita yang suci. (HR. Ibnu Jarir dari Aisyah).
Jadi ayat ke 26 diturunkan sehubungan dengan tuduhan yang dibuat-buat oleh kaum munafikin terhadap diri Aisyah, isteri Rasulullah SAW. (H.R. At-Thabrani dengan dua sanad yang keduanya dha’if dari Ibnu Abbas). Karena ketika itu orang-orang membicarakan fitnah yang ditujukan kepada Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq, isteri Rasulullah. Maka Rasulullah SAW. Mengirim utusan kepada Aisyah dengan mengatakan: “Wahai Aisyah, bagaiamana pendapatmu tentang ucapan orang mengenai dirimu?”. Jawab Aisyah : “Aku tidak akan memberikan sanggahan apa pun sehingga Allah menurunkan sanggahan dari langit”. Maka Allah SWT. Kemudian menurunkan 15 ayat dari surat ini. Yakni ayat ke-11 sampai 26. Kemudian Rasulullah SAW. Membacakan ayat-ayat tersebut kapada Aisyah. (H.R. Thabrani dari Hakam bin Utaibah. Hadist ini isnadnya shahih, tetapi mursal).[3]

Pemahaman Ayat

Adapun riwayat asbab al-nuzul dari surah al-Nur ayat 26, Setelah kita mengetahui peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat ini. Kita dapat memahami bahwa ayat di atas diturunkan khusus berkenaan dengan peristiwa Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq yang dituduh kaum munafikin dengan tuduhan yang mereka reka-reka dan dust. Ayat 26 ini adalah penutup dari ayat wahyu yang tujuannya untuk menjaga kesucian Aisyah istri Rasulullah SAW atau membersihkannya dari tuduhan hina dan nista itu.

Dalam ayat ini diberikan pedoman hidup bagi setiap orang yang beriman. Tuduhan nista adalah perbuatan yang amat kotor dan akan timbul dari orang yang kotor pula. Memang orang yang kotorlah yang menimbulkan perbuatan kotor. Adapun perkara-perkara yang baik adalah hasil dari orang-orang yang baik pula, dan memanglah orang baik yang sanggup menciptakan perkara baik. Dan orang baik tidaklah akan menghasilkan yang kotor.[4]

Akan tetapi banyak yang memahami ayat ini seakan mengatakan bahwa jika seorang laki-laki atau wanita baik maka dengan sendirinya istri atau suaminya juga baik, diampuni, dan menjadi salah seorang penghuni surga. Sebab Al-Qur’an memandang iman, kesalehan, dan amal baik sebagai kriteria. Akan tetapi sebanarnya tidak begitu, karena meskipun Nuh as dan Luth as adalah manusia-manusia suci dan beriman, namun istri-istri mereka adalah orang-orang jahat dan merupakan penghuni neraka.[5] Dan banyak juga kejadian masa kini yang serupa dengan itu karena hakikatnya ada empat model pasangan suami istri:
  1. Suami : Iman/Baik, Istri: Kafir/Buruk (pasangan Nabi Luth dalam surat at-Tahrim:10)
  2. Suami : Kafir/Buruk, Istri: Iman/ Baik (Pasangan Fir’aun dalam surat at-Tahrim: 11)
  3. Suami dan Istri sama-sama Kafir/Buruk (Abu Lahab dan Istrinya Arwa binti Harb “Ummu Jamil”)
  4. Suami dan Istri sama-sama Iman/Baik (Rasulullah SAW dan Siti Aisyah ra) 
Perkataan yang Baik untuk Orang Baik dan Perkataan Jelek untuk Orang yang Jelek

Dalam tafsir Nurul Qur’an kata thayyib berarti menyenangkan dan manis. Dalam al-Qur’an, kata ini digunakan untuk menggambarkan harta benda, anak keturunan, wacana kota, pasangan hidup, makanan dan rezeki, rumah, sudut, pohon, serta sapaan. Sedangkan lawan katanya khabist, yang berarti jahat dan keji. Ia juga digunakan untuk menggambarkan harta benda, manusia, pasangan hidup, pembicaraan, dan pohon.

Abdullah bin Abbas ra. Berkata: “Maksudnya kat-kata yang buruk hanya pantas bagi laki-laki yang yang buruk. Dan laki-laki yang jahat, yang pantas baginya hanyanlah kata-kata yang buruk begitupun sebalikny. Sebagaimana sudah dikemukakan diatas bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ‘Aisyah ra. dan ahlul ifqki”. Demikianlah dikemukakan oleh Mujahid, ‘Atha’, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, al-Hasan al-Bashri, Habib bin Abi Tsabit, adh-Dhahhak dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari. Intinya, perkataan yang buruk lebih pantas ditujukan kepada orang-orang yang jahat dan perkataan yang baik hanya pantas bagi orang-orang yang baik. Tuduhan keji yang ditujukan kaum munafiq kepada ‘Aisyah ra sebenarnya lebih pantas ditujukan kepada mereka. ‘Aisyah lebih pantas bersih dari tuduhan tersebut daripada mereka.[6]

Pada akhir ayat 26 tuhan menutup perkara tuduhan ini dengan ucapan putus, yaitu bahwa sekalian orang yang difitnah itu adalah bersih belaka dari segala tuduhan, mereka tidak bersalah samasekali. Adapun si penuduh yang hanya terbawa-bawa diberi ampun oleh tuhan atas dosanya, setelah yang patut menjalani hukuman telah menjalaninya. Dan rezeki serta kehidupan orang-orang yang kena tuduh akan diberi ganda oleh tuhan.[7]

Penjelasan diatas ingin mengemukakan bahwa ayat ini tidak bisa ditafsirkan serta merta tanpa melihat dan mengetahui sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat ini. Adapun dalam penafsirannya ayat ini bisa ditafsirkan dengan berbagai cara:[8]
  • Berkenaan dengan ayat-ayat sebelumnya yang membicarakan wanita-wanita suci serta kejadian ifk, serta berkenaan dengan kalimat : Mereka itu bersih dari apa yang mereka katakana, maka ayat ini berarti bahwa kata-kata buruk semisal fitnah hanya layak bagi orang-orang jahat, sedangkan kata-kata suci hanya cocok bagi oran-orang yang suci pula.
  • Dan munkin juga yang dimaksud ayat ini pasangan hidup yang cocok yang berarti suami istri haruslah cocok satu sama lain. Ini artinya, setiap orang dengan sendirinya akan mencari pasangan yang sama watak dan sifatnya. Dengan kata lain, orang yang keji mengejar yang keji dan sebaliknya.
Di sisi lain seolah-olah ayat ini menyatakan sebuah ketentuan agama, yaitu perkawinan orang baik dengan orang jahat adalah haram. Hal ini seperti disebutkan pada ayat ke tiga dari surat yang sama, yang menyatakan: “Pelaku zina laki-laki tidak boleh kawin kecuali dengan pezina perempuan".

ENDNOTE


[1] Ayat Ini menunjukkan kesucian 'Aisyah r.a. dan Shafwan dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Rasulullah adalah orang yang paling baik Maka Pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri beliau
[2] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002). hal 616.
[3] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002). hal 617.
[4] Abdul Malik Abdulkarim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, (Singapore:  Kerjaya Printing Industries Pte Ltd,2003)  jil.7, hal 4913-4914.
[5] Allamah Kamal Faqih, Nurul Qur’an, (Jakrta: Al-Huda, 2006), jil 11, hal 324.
[6] Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir, (Kairo: Mu’assasah Daar al-Hilaal, 1994), hal 32.
[7] Abdul Malik Abdulkarim Amrullah (HAMKA), Tafsir Al-Azhar, (Singapore:  Kerjaya Printing Industries Pte Ltd,2003)  jil.7, hal 4915.
[8] Allamah Kamal Faqih, Nurul Qur’an, (Jakrta: Al-Huda, 2006), jil 11, hal 325.
[9] Tafsir Majma’ul Bayan dan Wasa’ilusy Syi’ah, jil. 14, hal. 337


A. SURAH AL-BAQARAH AYAT 223

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ ﴿سورة البقرة : ٢٢٣﴾

Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. [Q.S. al-Baqarah: 223]

B. ASBAB AL-NUZUL SURAH AL-BAQARAH AYAT 223

Adapun sekilas riwayat-riwayat terkait asbab al-nuzul dari surah al-Baqarah ayat 223, sebagai berikut:

1) Pertama:

وأخرج أحمد و الترمذي عن ابن عباس قال : (جاء عمر إلى الرسول الله صلى اله عليه وسلم فقال : يا رسول الله هلكت قال : وما أهلكك ؟ قال : حولت رحلي الليلة فلم يرد عليه شيئا) فأنزل الله الآية (نساؤكم حرث لكم فاتوا حرثكم أنى شئتم) أقبل و أدبر واتق الدبر والحيضة.

Artinya: Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Tirmidzi dari Ibnu Abbas, berkata: Umar suatu ketika datang menghadap Rasulullah Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, celakalah saya! “Nabi bertanya: “apa yang menyebabkan kamu celaka?” Ia menjawab: aku pindahkan ‘sukdufku’ (berjimak dengan istri dari belakang) tadi malam.” Nabi Saw Terdiam dan turunlah ayat ini yang kemudian beliau lanjutkan: “Berbuatlah dari muka ataupun dari belakang, tetapi hindarkanlah dubur (anus) dan bilamana istri sedang”. [1]

2) Kedua:

أن رجلا أصاب امرأة في دبرها في زمن رسول الله صلى الله عليه و سلم فأنكر ذلك فأنزل الله (نساؤكم حرث لكم)

Artinya: seseorang menjima’ istrinya dari arah belakang. Maka, orang-orang pun menyalahkan karena hal itu. Lalu turunlah firman Allah (نساؤكم حرث لكم)-a- ”.[2]

3) Ketiga:

أخبرنا سعيد بن محمد الجنائي قال: أخبرنا أبو علي بن أبي بكر الفقيه قال: حدثنا أبو القاسم البغوي قال: حدثنا علي بن جعد قال: حدثنا شعبة، عن محمد ابن المنكدر قال سمعت جابرا قال: قالت اليهود: إن الرجل إذا أتى امرأته باركة كان الولد أحول، فأنزل الله عز وجل: (نساؤكم حرث لكم) الآية.

Artinya: Dari Jabir, berkata: orang-orang Yahudi beranggapan “apabila menggauli istrinya dari belakang ke farjinya, maka anaknya akan lahir bermata juling”. Lalu Allah menurunkan ayat (نساؤكم حرث لكم)-a-”.[3]

C. PEMAHAMAN DAN KONTEKSTUALISASI AYAT 

Allah SWT memberi peluang bagi suami-istri untuk menikmati seks dalam bentuk apapun selama hal itu dilakukan di tempat persemaian. Allah SWT menggunakan kata harts di sini untuk menerangkan bahwa penanaman di lakukan pada tempatnya. (حَرْثٌ) harts ialah tempat tumbuhnya tumbuhan, bisa berbentuk sawah atau kebun. Maka pengertian (فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) ialah datangilah istrimu di tempat anak lahir (vagina) dan di tempat yang anak tidak mungkin lahir (dubur) jangan didekati.

Sebagian manusia salah menafsirkan firman Allah (فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ) dengan tafsiran datangilah istrimu dari mana saja. Ini salah, karena (حَرْثَكُمْ) artinya tempat penanaman (vagina) dan hasil tanaman bagi suami-istri adalah keturunan berupa anak.[4] Dubur bukanlah tempat bercocok tanam, maka tidak mengandung kemungkinan adanya pilihan tempat lain selain dari tempat keluarnya anak. 

Ayat ini mengandung jawaban dari pertanyaan dan beberapa keadaan ketika turunnya; apakah diperbolehkan mendatangi istri pada kemaluannya tetapi dari belakangnya. Maka Allah SWT memberitahukan bahwa hal itu tidaklah mengapa asalkan tetap pada kemaluan (vagina) dan wanita itu suci dari darah haidh dan nifas. Wanita dinamakan lading karena rahimnya dapat mendatangkan anak sebagaimana tumbuh-tumbuhan tumbuh pada bumi yang subur. Jika masalahnya seperti itu, maka seorang suami dapat mendatangi istrinya kapan dia mau, dari depan atau dari belakang selama tujuannya tercapai, yaitu terjaga dari perbuatan keji dan untuk memperoleh keturunan yang baik.[5]

Istri sebagai ladang bukan saja mengisyaratkan bahwa anak yang lahir adalah buah dari benih yang ditanam ayah. Istri hanya berfungsi sebagai ladang yang menerima benih. Kalau demikian, jangan salahkan istri jika dia melahirkan anak perempuan sedangkan anda menginginkan anak lelaki. Sebab, dua kromosom yang merupakan faktor kelamin yang terdapat pada wanita sebagai pasangan homolog adalah (XX) dan pada lelaki sebagai pasangan yang tidak homolog adalah (XY). Jika X pada jantan/lelaki bertemu dengan X yang ada pada wanita, maka anak yang lahir perempuan. Adapun, jika Y pada jantan/lelaki bertemu dengan X pada wanita, maka anak yang lahir lelaki. Jadi bukankah wabita hanya lading dan suami adalah petani yang menabur. 

Namun, seorang suami juga harus cerdas memilih ladang yang subur. Dalam artian, seorang petani tidak baik menanam benih di tanah yang gersang. Pandai-pandailah memilih tanah garapan dan pandai-paidailah memilih pasangan. Tanah yang subur harus di atur masa dan musim tanamnya. Jangan menanam benihsetiap saat, jangan paksa ia berproduksi setiap waktu. Begitupun seorang suami, pilihlah waktu yang tepat, atur masa kehamilan, jangan setiap saat anda panen karena ini merusak ladang.[6] (وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ) Dan kerjakanlah amal baik untuk dirimu.

Ayat ini mencegah muslim dari pemahaman bahwa semua itu dilakukan semata-mata demi tersalurnya kepuasaan seksual. Allah memerinthakan agar dengan kepuasaan seksual itu tercapai perlindungan atas apa yang dilahirkan hingga terjamin kelangsungan umat manusia. Hubungan seksual jangan sampai menjadi tujuan utama, tetapi jadikanlah ia sarana untuk mencapai tujuan yang mulia. Untuk itu, setiap muslim dianjurkan mengikuti sunnah Rasul tatkala menikmati hubungan seksual dengan berdoa: 

اللهم جنبي الشيطان و جنبي الشيطان مما رزقتني. 

Artinya: Ya Allah, jauhilah saya dari syetan dan jauhilah apa yang kamu rezekikan kepadaku dari syetan. 

Seorang suami hendaknya berlaku baik terhadap istrinya yang dapat membahagiakannya dan memperpanjang harapan kamu berdua. Jangan tinggalkan ia sendirian, hindarkan darinya segala ganguan, beri ia segala yang sesuai guna menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan janin yang akan atau sedang dikandungnya. Bila tiba saatnya ia mengandung, maka beri perhatian lebih besar, kemudian setelah melahirkan, pelihara anakmu hingga dewasa agar dapat bermanfaat untuk orang tuanya, keluarga bahkan kemanusiaan serta bangsa dan tanah air. 

(وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ) dan bertakwallah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman. Makna “bertakwalah kepada Allah” yaitu hindarilah murka Allah dan tetap bertakwa dengan prinsip yang tidak diragukan lagi bahwa kamu pasti bertemu dengan-Nya.[7] Jika demikian, jangan sembunyikan sesuatu terhadap pasangan yang seharusnya ia ketahui dan jangan membohonginya.

Disisi lain, jangan membongkar rahasia rumah tangga yang sarusnya dirahasiakan. Kalaupun ada cekcok, selesaikan ke dalam dan jangan selesaikan melalui orang lain kecuali jika terpaksa. Allah kelak akan menyelesaikannya karena kelak kamu semua akan menemui-Nya. Demikian kesan al-Haralli, seorang ulama dan pengamal tasawuf yang banyak dikutip pendapatnya oleh al-Biqa’i.[8]

Melihat keadaan sosial saat ini khususnya dalam kaitannya dengan pergaulan bebas sungguh bertentangan dengan pesan ayat ini. Banyak dan mudahnya dijangkau berbagai media informasi merupakan salah satu faktor rusaknya mental dan maraknya pergaulan remaja sekarang. Ini merupakan awal dari rusaknya generasi masa depan umat. Hal inilah yang diisyartakan dalam ayat di atas bahwa hubungan yang baik antara suami-istri akan melahirkan keturunan yang baik pula. Dari sini jugalah dasar untuk membanagun generasi masa depan yang yang baik dan tangguh. Ini semuanya berawal dari pembinaan kehidupan keluarga yang akan melahirkan keturunan. Dengan demikian, awal dan akhir yang baik semuanya berawal dari kita juga.

Ibrah Kajian:
  • Datangilah istrimu di tempat anak lahir (vagina) dan di tempat yang anak tidak mungkin lahir (dubur) jangan didekati;

  • Istri sebagai ladang mengisyaratkan bahwa anak yang lahir adalah buah dari benih yang ditanam ayah. Istri hanya berfungsi sebagai ladang yang menerima benih. Kalau demikian, jangan salahkan istri jika dia melahirkan anak perempuan sedangkan anda menginginkan anak lelaki;
  • Seorang suami harus cerdas memilih ladang yang subur. Dalam artian, seorang petani tidak baik menanam benih di tanah yang gersang. Pandai-pandailah memilih tanah garapan dan pandai-pandailah memilih pasangan. Tanah yang subur harus di atur masa dan musim tanamnya.
  • Dasar untuk membangun generasi masa depan yang yang baik dan tangguh, semuanya berawal dari pembinaan kehidupan keluarga.
Baca Juga:  8 Tips Bina Keluarga

ENDNOTE


[1] Jalaluddin  al-Suyuti,  Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Beirut : Darr al-Kitab al-Araby, 2011M/1432 H), hal. 41
[2]  Jalaluddin  al-Suyuti,  Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, hal. 42
[3] Al-Wahidy,  Asbab al-Nuzul (Hadramaut: Darr al-Kitab al-Islamiyah, 2010), Cet. I, hal. 48
[4] Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi (Medan: Duta Azhar, 2006), Cet. I, Jilid 1, hal. 711
[5] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), cet. I, jilid. I,  hal. 365
[6] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2001), Cet. I, Volume 1, hal. 449
[7] Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi (Medan: Duta Azhar, 2006), Cet. I, Jilid 1, hal. 712
[8] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2001), Cet. I, Volume 1, hal. 450

REFERENSI PEMBAHASAN

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti, cet. I, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006

Al-Suyuti, Jalaluddin. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Beirut: Darr al-Kitab al-Araby, Cet. V, 2011

Al-Wahidy, Asbab al-Nuzul, cet. I, Hadramaut : Darr al-Kitab al-Islamiyah, 2010

Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2001

Sya’rawi, Mutawalli. Tafsir Sya’rawi, cet. I, jilid I, Medan: Duta Azhar, 2006

pdf Free Download : Disini

SQ Blog - Toleransi antar umat dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8. Bagimana toleransi dalam Agama? Apa pesan-pesan Al-Quran terkait toleransi, diantaranya disebutkan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8. Selamat menyimak!

A. SURAH AL-MUMTAHANAH AYAT 8

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ . ﴿سورة الممتحنة : ٨-۹﴾

Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. [Q.S. al-Mumtahanah : 8]

B. ASBAB AL-NUZUL SURAH AL-MUMTAHANAH AYAT 8

Adapun sekilas riwayat-riwayat terkait asbab al-nuzul dari surah al-Mumtahanah ayat 8 dan 9, sebagai berikut:

1) Pertama:

أخبرنا أبو صالح منصور بن عبد الوهاب البزار، أخبرنا أبو عمرو محمد بن أحمد الحيرى، أخبرنا أبو يعلى، أخبرنا إبراهيم بن الحجاج، أخبرنا عبد الله بن المبارك، عن مصعب بن ثابت، عن عامر بن عبد الله بن الزبير، عن أبيه قال: قدمت قتيلة بنت عبد العزى على ابنتها أسماء بنت أبي بكر بهوايا وضباب وسمن وأقط، فلم تقبل هداياها ولم تدخلها منزلها، فسألت لها عائشة النبي صلى الله عليه وسلم عن ذلك، فقال: (لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين – الآية). فأدخلتها منزلها وقبلت منها هداياها. رواه الحاكم أبو عبد الله في صحيحه، عن أبى العباس السيارى، عن عبد الله الغزال، عن أبي سفيان، عن ابن المبارك.

Artinya: Dari Amir bin Abdullah bin Zubair memberitahu kami dari ayahnya, ia bercerita: “Qutailah pernah datang menemui putrinya, Asma binti Abu Bakar dengan membawa daging dhabb (biawak) dan minyak samin sebagai hadiah dan ketika itu ia wanita musyrik. Maka Asma pun menolak pemberianya itu dan tidak memasukan ibunya ke dalam rumahnya. Kemudian Aisyah bertanya kepada Nabi Saw mengenai hal tersebut lalu Allah SWT menurunkan ayat ini kemudian beliau menyuruh Asma menerima pemberian ibunya itu dan mempersilakannya masuk ke dalam rumahnya”. [1]

2) Kedua:

وأخرج البخاري عن أسماء بنت أبي بكر قالت : أتتني أمي راغبة فسألت النبي صلى الله عليه و سلم : أأصلها ؟ قال : نعم فأنزل الله فيها : (لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم في الدين)

Artinya: Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Asma binti Abu Bakar berlata : saya dikunjungi oleh ibu kandungku (Siti Qutailah). Setelah itu Asma bertanya kepada Rasulullah saw: bolehkah saya berbuat baik kepadanya? Rasululah menjawab: ”ya” (boleh) Turunlah ayat ini yang berkenaan dengan peristiwa tersebut yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah. (HR. Bukhari dari Asma binti Abu Bakar).[2]

3) Ketiga:

وأخرج أحمد و البزار و الحاكم وصححه عن عبد الله بن الزبير قال : قدمت قتيلة على ابنته أسماء بنت أبي بكر وكان أبي بكر طلقها في الجاهلية فقدمت على ابنتها بهدايا فأبت أن تقبلها منه أو تدخلها منزلها حتى أرسلت إلى عائشة أن سلي عن هذا رسول الله صلى الله عليه و سلم فأخبرته / فأمرها أن تقبل هداياها وتدخلها منزلها فأنزل الله (لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم) الآية.

Artinya: Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Siti Qatilah (bekas istri Abu Bakar) yang telah diceraikan pada masa zaman jahiliyyah datang kepada anaknya, Asma binti Abu Bakar dengan membawa bingkisan. Asma menolak pemberian itu bahkan tidak memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumahnya. Setelah itu ia mengutus seseorang kepada Aisyah (saudaranya) untuk bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah saw. Maka Rasul pun memerintahkan untuk menerima bingkisannya serta menerimanya dengan baik. Allah menurunkan ayat terkait hal ini: (لا ينهاكم الله عن الذين لم يقاتلوكم). v [3]

C. KONTEKSTUALISASI SURAH AL-MUMTAHANAH AYAT 8

Ayat di atas masih menerangkan tentang hukum bersikap loyal terhadap orang-orang kafir. Ketika Allah mengharamkan hal ini, ternyata orang-orang beriman atau para sahabat ada yang masih memiliki kerabat yang masih kafir. Pada sisi lain, Perintah untuk memusuhi kaum kafir (non muslim) yang di uraikan oleh ayat-ayat sebelumnya secara tersurat menunjukkan kesan bahwa semua non muslim harus dimusuhi. Karena perintah dari iman dan sebagai bentuk taat terhadap panggilan Allah, para sahabat akhirnya memutuskan hubungan kekerabatan dengannya. Kemudian Allah Swt memberikan kabar gembira di dalam surat yang mulia ini bahwa Allah Maha Kuasa untuk menjadikan di antara mereka dan kerabatnya yang kafir rasa saling mencintai. 

Allah Swt membebaskan kota mekkah dengan tangan Rasul-Nya, kemudian para pendudukanya masuk Islam semunya kecuali hanya beberapa orang saja yang menolak masuk Islam. Sesungguhnya rasa cinta, sikap loyal dan persaudaraan di antara mereka adalah bukti kebenaran Firman Allah: 

عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ ﴿سورة الممتحنة : ٧﴾ 

Artinya: “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi di antara mereka. Dan Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Mumtahanah : 7) 

Firman Allah (لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ) Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu, dengan bermacam-macam tekanan maka kamu dibolehkan berbuat baik kepada mereka, seperti memberi makanan, pakaian, dan kendaraan serta berbuat adil kepada mereka. Ayat ini bersifat umum, mencakup seluruh waktu dan tempat terhadap semua orang kafir asalkan sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh Allah, yaitu:[4]
  1. Mereka tidak memerangi kita atas nama Agama,
  2. Mereka tidak mengusir kita dari kampung halaman kita. Misalnya, tidak mengintimidasi kita sehingg menyebabkan kita berhijrah ke kampung lain, dan 
  3. Tidak membantu musuh-musuh kita dengan bantuan apapun, baik dengan ikut serta bermusyawarah, menyumbangkan pikiran, apalagi dengan bantuan tenaga dan senjata. 
Sementara sebagian ulama bermaksud membatasi ayat tersebut hanya ditunjukan kepada kaum musyrik mekah, tetapi ulama-ulama sejak masa Ibn Jarir al-Thabari telah membantahnya. Thahir Ibn Asyur menulis bahwa pada masa Nabi saw sekian banyak suku-suku Musyrik yang justru bekerjasama dengan Nabi Saw serta menginginkan kemenangan beliau menghadapi suku Quraiys di Mekkah. Berkata al-Hasan dan Abu Salib mereka itu adalah Khuza’ah, Bani Al-Harist ibn Ka’ab dan Muzainah.[5]

Firman Allah, (إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ) Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Potongan ayat ini merupakan anjuran untuk kaum Muslimin untuk senantiasa berlaku adil walaupun terhadap orang-orang kafir. Allah Swt berfirman (إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ) Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu, yaitu Allah melarang kamu bersikap loyal terhadap orang-orang yang memerangimu dan mengusirmu dari kampong halamanmu dan ikut berperan dan membantu orang lain dalam mengusirmu.

(وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ) barangsiapa yang menjadikan mereka (orang-orang kafir) sebagai kawan, maka mereka itulah termasuk orang-orang yang dzalim terhadap diri mereka sendiri dan menghadang siksa dan murka dari Allah karena telah meletakkan sikap loyal bukan pada tempatnya setelah memahami dan mengetaui hukum-hukumnya.[6]

Jadi, pandangan Islam yang menentukan tentang problematika antara orang-orang yang beriman dan orang-orang yang menantang mereka adalah akidah semata-mata. Islam menetapkan bahwa bahwa nilai yang diusung setiap oleh mukmin dan harus dibela dengan mati-matian dengan berperang sekalipun adalah perkara akidah semata-mata. Dengan semikian, tidak ada permusuhan dan peperangan selama kebebasan dakwah dan kebebasan berkenyakinan tetap dihormati.[7]

Demikianlah beberapa tuntunan Islam dalam pergaulan dengan orang-orang non-muslim. Ini sekali lagi mununjukkan akan ajaran-ajaran Islam yang universal dalam kehidupan umat manusia. Tuntunan tersebut harus terus dibina dan di amalkan dalam kehidupan sehari-hari yang sarat dengan homogen kepecayaan dan lebih-lebih dalam hubungan internasional. Islam membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja dalam kehidupan sosial untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Namun ironisnya, banyak masyarakat yang masih kurang memahami akan pesan ayat ini sehingga dimana-mana terjadi anarkisme dan fanatisme buta terhadap kepercayaannya masing-masing.

ENDNOTE

[1] Al-Wahidy,  Asbab al-Nuzul (Hadramaut: Darr al-Kitab al-Islamiyah, 2010), Cet. I, hal. 262
[2] Jalaluddin  al-Suyuti,  Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Beirut : Darr al-Kitab al-Araby, 2011M/1432 H), hal. 234
[3] Jalaluddin  al-Suyuti,  Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, hal. 234
[4] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), cet. I, hal. 401-402
[5] Mustahfa Maraghi, Tafsir Maraghi (Semarang: Toha Putra, 1992), Cet. II, JIlid 28, hal. 112
[6] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006), cet. I, hal. 401-402
[7] Sayyid Quthb, Tafsir Fi’ Zhilalil Quran terj. As’ad Yasin, dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2004), cet. I, hal. 50

REFERENSI PEMBAHASAN

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Tafsir al-Quran al-Aisar terj. Azhari Hatim dan Mukti, cet. I, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2006
Al-Suyuti, Jalaluddin.  Lubab al-Nuqul fi  Asbab al-Nuzul, Beirut: Darr al-Kitab al-Araby, Cet. V, 2011
Al-Wahidy,  Asbab al-Nuzul, cet. I, Hadramaut : Darr al-Kitab al-Islamiyah, 2010
Maraghi, Mustahfa. Tafsir Maraghi, Cet. II, JIlid 28, Semarang: Toha Putra, 1992
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi’ Zhilalil Quran terj. As’ad Yasin, dkk., cet. I, Jakarta: Gema Insani, 2004

pdf Free Download : Disini

SQ Blog - Asbab al-Nuzul, memahami kontekstualisasi Surat Al-Taubah ayat 28. Apakah orang-orang musyrik itu Najis? Najis dalam jenis apa? Simak di bawah ini.

A. SURAH AL-TAUBAH AYAT 28

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿سورة التوبة : ٢٨﴾

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al-Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Taubah: 28)

Masjid al-Haram dibangun mengelilingi Ka’bah yang menjadi arah kiblat bagi umat Islam dalam mengerjakan ibadah shalat. Masjid ini juga merupakan Masjid terbesar di dunia. Terkait ini, Allah SWT memberitahukan bahwa Baitullah (Ka’bah) yang terdapat dalam masjid al-Haram adalah rumah yang pertama kali dibangun untuk manusia bagi kepentingan ibadah yang terletak di bakkah yaitu Mekah. Hal ini sebagaimana dilukiskan dalam surah al-Imran ayat 96.

Imam Syaukhani dalam tafsirnya menyebutkan bahwa terdapat ikhtilaf mengenai siapa yang pertama kali membangun Ka’bah. Ia menyebutkan, ada yang mengatakan Malaikat, ada yang mengatakan Adam a.s serta pendapat lain menyebutkan Ibrahim a.s adalah orang yang pertama kali membangunnya. Imam Syaukhani menjama’ pendapat-pendapat ini dengan mengatakan bahwa Malaikatlah yang pertama kali membangunnya, kemudian diperbaharui oleh Adam dan selanjutnya Ibrahim.[1]

Namun seiring bergantinya zaman, Ka’bah beralih fungsi menjadi tempat penyembahan berhala. Di antara berhala yang berada di sekitar ka’bah adalah uzza dan latta. Hal ini berlangsung jauh sejak sebelum kelahiran nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan zaman Jahiliyyah hingga setelah terjadinya Fathul Mekah pada tahun ke-8 H.

Setelah Fathul Mekah, diumumkan kepada seluruh penduduk Mekah bahwasannya bahwasanya setelah tahun ini (بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا), yaitu setelah tahun ke-9 hijriah orang kafir dilarang memasuki tanah suci termasuk masjid al-Haram.[2] Peristiwa pelarangan ini berdasarkan wahyu al-Quran yang diabadikan dalam surat al-Taubah ayat 28 yang telah dicantumkan di atas.

Terkait intisari ayat di atas, Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman yang memiliki kesucian lahir dan batin untuk mengusir orang-orang musyrik dari masjid al-Haram dan agar tidak mendekatinya. Jadi, Allah memberlakukan dan memutuskannya sebagai syariat.[3] Surah ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad Saw kembali dari peperangan Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H.

Dengan ungkapan yang lebih rinci, Musthafa Maraghi mengungkapkan bahwa Rasulullah memerintahkan Abu Bakar sewaktu mengangkatnya sebagai amir dalam ibadah haji tahun ke-9 hijriah untuk menyampaikan pengumuman kepada orang banyak terkait perintah dalam ayat di atas, bahwa setelah tahun ini tidak ada seorang musyrik pun yang boleh mengerjakan ibadah haji. Kemudian, memerintahkan juga Ali bin Abi Thalib menyusul Abu Bakar untuk membacakan permulaan surah al-Bara’ah (al-Taubah) di hadapan manusia pada waktu pelaksanana Haji tahun tersebut dan mengembalikan perjanjian kepada mereka.[4] Kemudian dalam tafsir al-Azhar menyebutkan, pada tahun berikutnya barulah Rasulullah naik haji yang di kenal dengan haji Wada’. 

B. ASBAB AL-NUZUL SURAH AL-TAUBAH AYAT 28 

Adapun sekilas riwayat-riwayat terkait asbab al-nuzul dari surah al-Taubah ayat 28, sebagai berikut: 

1) Pertama: 

أخرج ابن أبي حاتم عن ابن عباس قال : كان المشركون يجيئون إلى البيت ويجيئون معم بالطعام يتجرون فيه فلما نهوا عن أن يأتوا البيت قال المسلمون : من أين لنا الطعام ؟ فأنزل الله (وإن خفتم عيلة فسوف يغنيكم الله من فضله). 

Artinya: Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa, ia berkata: “Orang-orang Musyrik biasa datang ke Mekkah dengan membawa bahan makanan untuk di jual di sana. Maka ketika mereka dilarang mendatangi Baitullah, orang-orang Islam berkata: ‘Dari mana kita mendapatkan makanan?’. Maka Allah menurunkan ayat, (وإن خفتم عيلة فسوف يغنيكم الله من فضله). z - [5]

2) Kedua: 

وأخرج ابن جرير و أبو الشيخ عن سعيد بن جبير قال : لما نزلت (إنما المشركون نجس فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا) شق ذلك على المسلمين وقالوا : من يأتنا بالطعام وبالمتاع ؟ فأنزل الله (وإن خفتم عيلة فسوف يغنيكم الله من فضله). 

Artinya: Dikemukakan oleh Ibnu Jarir dari Abu al-Syaikh yang bersumber dari Said bin Jubair, ia berkata: “Ketika turun ayat, (إنما المشركون نجس فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا) orang-orang Islam merasa sesak dadanya dan mereka berkata: “Siapakah yang membawa makanan dan peralatan lainnya kepda kita?”. Maka Allah menurunkan ayat ini, (وإن خفتم عيلة فسوف يغنيكم الله من فضله). z - [6]

Jalaluddin al-Suyuti mengungkapkan bahwa (وأخرج مثله عن عكرمة وعطية العوفي والضحاك وقتادة وغيرهم), hadis seperti itu dikemukakan juga oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah, ‘Athiyah al-‘Ufi, al-Dhahak, Qatadah dan lain-lain.[7]

C. KONTEKS TURUNNYA SURAH AL-TAUBAH AYAT 28

Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan secara gamblang keadaan kaum musyrikin sehingga mereka harus ditindak dengan tegas atau paling tidak dihindari atau diboikot serta dijauhkan dari daerah suci. Maka, di sini dijelaskan bahwa mereka sebenarnya najis sehingga tidak wajar berada di tempat-tempat suci. Pada titik ini, perlu pemahaman secara seksama akan periodisasi syariat dalam Islam. Sejarah hidup Rasulullah Saw memperlihatkan bahwa sebelum turunnya ayat di atas beliau sering menyambut para utusan kaum musyrikin di dalam masjid ketika masih di Madinah.

Demikian juga pada orang Yahudi dan Nasrani. Bahkan pernah seorang musyrikin yang bernama Tsumamah bin Atsaal tertawan, lalu diikatkan pada salah satu tonggak masjid di Madinah.[8] Berdasarkan informasi ini, maksud najis dalam ayat di atas bukanlah najis materil (hizzi) melainkan najis maknawi. 

Menurut al-Raghib, najis berarti kotoran dan ia mempunyai dua macam, ada yang diketahui dengan indra dan satu macam lagi dengan hati. Jenis terahir inilah yang disifatkan Allah kepada kaum musyrikin dalam firman-Nya (إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ). Al-Quran turun jauh sebelum fiqih menjadi cabang ilmu tersendiri dan juga sebelum fuqaha’ membuat istilah najis. Dalam tradisi Arab, istilah najis tidak sebagaimana yang di pahami sekarang dalam ilmu fiqih. Orang Arab memandang orang yang busuk hatinya/rusak moralnya dengan seorang yang najis.

Demikian juga seorang laki-laki yang telah menzinai perempuan, lalu perempuan itu dinikahinya sebab perempuan itu telah dikotorinya.[9] Maka pernyataan ayat di atas benar-benar menggambarkan najisnya jiwa orang yang menyembah selain Allah. Pada sisi lain, ada sebagian ulama yang memahami kenajisan tersebut dalam arti material. Ada riwayat yang menyatakan bahwa sahabat nabi Saw, Ibnu Abbas menilai seorang musyrik najis badannya seperti anjing. Sedangkan Hasan memfatwakan bahwa siapa yang berjabat tangan dengan seorang musyrik maka ia hendaknya berwudhu. Pendapat ini bukanlah merupakan pendapat yang benar, tidak juga anutan mayoritas para ulama. [10]

Firman-Nya (فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ), menurut Sayyid Qutub, itulah puncak larangan dan haramnya dari segi hukum bagi kaum musyrik untuk berada di tanah Haram. Bahkan larangan itu berkembang hingga larangan mendekatinya karena mereka najis sedangkan tanah haram adalah suci.[11] Tanah haram atau masjid al-Haram adalah wilayah yang memiliki kehormatan lagi harus dihormati. Kata haram dalam ayat di atas tidak lagi diperhadapkan dengan kata halal. Tidak juga dipahami dalam arti haram dari segi tinjauan hukum walaupun kata yang mengandung makna hukum itu, terambil juga dari akar kata yang sama. Kita maklumi bahwa semakin terhormat sesuatu semakin banyak pula larangan yang berkaitan dengannya. Penghormatan melahirkan larangan dan tata cara tertentu.

Untuk makna inilah sehingga tanah di sekitar mekah dan masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah dinamai harâm. Imam Syafi’i berpendapat bahwa ayat ini hanya melarang kaum musyrikin memasuki masjid al-Haram, bukan semua masjid. Adapun Imam Malik, beliau menganalogikannya dengan masjid-masjid lain. Imam Abu Hanifah memaknai ayat ini bukan tertuju sebagai larangan memasuki masjid al-Haram, tetapi larangan dalam arti melaksanakan haji, umrah dan melakukan thawaf. Dalam wilayah kekuasaan Islam, ulama sepakat menyatakan bahwa siapapun selain muslim tidak diperkenankan berada di wilayah Mekah dan Madinah.[12]

Setelah turunnya larangan terhadap kaum musyrik yang terdapat dalam ayat di atas, sebagian kaum muslimin berkata: “Sesungguhnya kehadiran kaum musyrikin itu di mekah menyemarakkan jual beli dan arus perdaganagn, kami khawatir mengalami kerugian jika mereka dilarang berkunjung ke mekah”. Mengetahui ucapan itu, Allah menenangkan mereka bahwa Dia akan mengganti buat mereka rezeki dari sumber yang lain. Hal ini nampak pada potongan ayat selanjutnya (وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ), “dan jika kamu khawatir menjadi miskin akibat memenuhi tuntunan ini, maka Allah akan memberikan kekayaan kepada kamu dari karunia-Nya”.[13]

D. KONTEKSTUALISASI SURAH AL-TAUBAH AYAT 28 

Setelah mengetahui asbab al-nuzul dan memahami konteks ketika turunnya ayat di atas, uraian berikut berupaya menjelaskan upaya kontekstualisasinya dalam kondisi kekinian. Seperti telah dikemukan pada uraian diatas, setidaknya terdapat dua term dari ayat di atas yang harus di pahami, yaitu: 

Term pertama: Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al-Haram sesudah tahun ini (إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا), Menurut analisa penulis, inilah orientasi perintah dalam ayat ini yang di arahkan untuk merubah salah satu stabilitas sosial dalam masyarakat Arab, yaitu kebiasaan non-muslim Arab dan lainnya yang melakukan berbagai ritual di ka’bah yang tidak sebagaimana mestinya. Arah perubahan ini tentunya untuk penyempurnaan dan pemurnian syariat Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Atas dasar ini, turunlah wahyu yang memuat larangan kaum musyrik untuk mendekati tanah haram. 

Term kedua: Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki (وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ). Setelah pelarangan kaum musyrik mendekati tanah haram, tentu konsekuensinya sangat besar dalam perekonomian umat Islam. Inilah dampak stabilitas sosial bagi masyarakat muslim dari tuntunan tersebut. Namun, Allah memberikan jaminan dalam potongan ayat selanjutnya, (وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ)

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jika terdapat benturan dalam urusan keimanan atau aqidah dan duniawi, maka urusan aqidah harus di dahulukan. Apalagi jika stabilitas sosial tersebut tidak mengacu pada tata nilai dan ketentuan nash. Sejalan dengan ungkapan Nasaruddin Umar: “Dalam dinamika saat ini, kita dihadapkan kepada pilihan rumit, yaitu haruskah kita menerapkan ketentuan nash sekalipun harus mengorbankan stabilitas dan integrasi nilai yang sudah mapan atau haruskah mentolerir stabilitas dan integrasi nilai yang tidak mengacu dan tidak sejalan dengan nash”.[14]

Menurut kami, inilah salah satu pesan dari ayat di atas dalam relasinya dengan kondisi kontemporer sekarang. Dengan demikian, pada satu sisi kontekstualisasi ayat di atas menekankan bahwa Islam tidak memberikan batasan dalam melakukan perniagaan, perekonomian, dan hubungan bisnis dengan non-muslim selama tetap dapat menjaga aqidahnya. Hal ini tentu meluas dalam hubungan kerja sama antar Negara yang notabenenya berbeda agama.

ENDNOTE


[1] Imam Syaukhani, Fathul Qadir (Kairo: Darr al-Hadis, 2003), Jilid I, hal. 488
[2] Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain (Surabaya : Darr al-Ilmi, ____), hal. 159
[3] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, 2007). cet. IVjilid IV, hal. 114
[4] Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi terj. Hery Nur Aly, dkk. (SemarangToha Putra, 1992),  Juz Xcet. II, hal. 152
[5] Jalaluddin  al-Suyuti,  Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Beirut : Darr al-Kitab al-Araby, 2011), hal. 124-125
[6] Ibid, hal. 125
[7] Ibid, hal. 125
[8] Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), cet. I, juz X, hal. 154-155
[9] Ibid. hal. 155
[10] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. I, Volume 5, hal. 539
[11] Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Quran terj. As’ad Yasin, dkk. (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet. III, Jilid X, hal.200
[12] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hal. 540
[13] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. I, Volume 5, hal. 538
[14] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), cet. II, hal. 15

REFERENSI

Al-Mahalli, Jalaluddin. dan Al-Suyuti, Jalaluddin.  Tafsir Jalalain, Surabaya: Darr al-Ilmi, tt
Al-Suyuti, Jalaluddin.  Lubab al-Nuqul fi  Asbab al-Nuzul, Beirut: Darr al-Kitab al-Araby, 2011
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, cet. I, 1985
Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir terj. M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, cet. IV, 2007
Maraghi, Mustahfa. Tafsir Maraghi terj. Hery Nur Aly, dkk., Semarang: Toha Putra, Cet. II, 1992
Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Quran terj. As’ad Yasin, dkk., Jakarta: Gema Insani Press, cet. III, 2003
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2002
Syaukhani, Muhammad. Fathul Qadir, Kairo: Darr al-Hadis, 2003
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran, Jakarta: Dian Rakyat, Cet. II, 2010

PDF DOWNLOAD Link One

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.