Articles by "Sejarah"

Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

SQ Blog - Al-Quran menyampaikan pesan-pesannya dengan gaya bahasa yang menarik perhatian, termasuk melalui kisah-kisah yang menakjubkan. Di antara kisah tersebut disebutkan dalam surat Yasin ayat 13 samapi ayat 27.

[tab] [content title="Surat Yasin"]Ayat 13-27[/content] [content title="Lihat Ayat"]وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلًا أَصْحَابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جَاءَهَا الْمُرْسَلُونَ (13) إِذْ أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمُ اثْنَيْنِ فَكَذَّبُوهُمَا فَعَزَّزْنَا بِثَالِثٍ فَقَالُوا إِنَّا إِلَيْكُمْ مُرْسَلُونَ (14) قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ (15) قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ لَمُرْسَلُونَ (16) وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ (17) قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهُوا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِنَّا عَذَابٌ أَلِيمٌ (18) قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (19) وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ (20) اتَّبِعُوا مَنْ لَا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَهُمْ مُهْتَدُونَ (21) وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (22) أَأَتَّخِذُ مِنْ دُونِهِ آلِهَةً إِنْ يُرِدْنِ الرَّحْمَنُ بِضُرٍّ لَا تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلَا يُنْقِذُونِ (23) إِنِّي إِذًا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (24) إِنِّي آمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ (25) قِيلَ ادْخُلِ الْجَنَّةَ قَالَ يَا لَيْتَ قَوْمِي يَعْلَمُونَ (26) بِمَا غَفَرَ لِي رَبِّي وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُكْرَمِينَ (27)[/content] [/tab]

Mengawali kisah ini, Allah SWT berfirman dalam surat yasin ayat 13-14:

Artinya: Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka. Ketika kami mengutus kepada mereka 2 orang utusan lalu mereka mendustakan keduanya. Kemudian kami kuatkan dengan utusan ketiga, dan utusan-utusan itu berkata, sesungguhnya kami kepada kamu adalah utusan-utusan. (Q.S. Yasin 13-14)

Ayat tersebut menyapaikan kisah tentang penduduk suatu negeri yang terjadi sebelum di utusnya nabi Muhammad SAW. Keadaan mereka tidak jauh berbeda dengan keadaan masyarakat Mekkah pada masa Nabi Muhammad SAW, yakni mereka yang menolak risalah kenabian.

Allah SWT memerintahkan Nabi, sampaikanlah kepada mereka, kaum musyrikin Mekkah dan siapa saja yang serupa dengan mereka, kabarkan kepada mereka tentang kisah yang menakjubkan agar mereka dapat mengambil pelajaran di dalamnya, agar beriman dan takut jangan sampai mengalami nasib yang sama dengan penduduk negeri tersebut yang diazab Allah karena menolak tuntunan-tuntunannya.

Al-Qaryah, negeri yang dimaksud dalam ayat tersebut, para mufassir ada yang menyebutkan bernama Antiokiah, sebuat kota yang terketak di Turki saat ini. Sebagian pendapat menyebutkan di tempat lainnya. Namun yang jelas, dimanapun tempat tersebut, negeri itu dihancurkan oleh Allah karena menolak tuntunan-tuntunannya yang dibawa oleh para Rasul atau utusan-utusannya.

Sahabat SQ Blog yang berbahagia

Penduduk negeri tersebut menolak tuntunan-tuntunan Allah, tidak mengakui kerasulan, dan tidak percaya bahwa ada tuntunan yang Allah turunkan kepada umat manusia. Mereka berkata:

Kalian, hai yang mengaku Rasul, tidak lain hanyalah manusia biasa seperti kami. Dan Ar-Rahman tidaklah menurunkun sesuatu pun, kalian hanyalah berdusta. (Q.S. Yasin 15)

Mendengar ucapan dan melihat sikap pembangkang negeri tersebut, para utusan itu menjawab singkat penuh percaya diri:

Tuhan kami mengetahui bahwa kami adalah utusan-utusan kepada kalian. Dan tugas kami tidak lain hanya menyampaikan tuntunan-tuntunan dengan jelas. (Q.S. Yasin 16-17)

Sahabat SQ Blog yang berbahagia

Meskipun demikian jelas uraian dan argumentasi ketiga utusan itu, penduduk negeri tersebut bahkan sama sekali tidak membiarkan ketiganya berada di tengah mereka. Penduduk negeri tersebut mengusir ketiga utusan itu sambil berkata:

Sungguh benar-benar kami mengalami nasib kesialan karena kedatangan kalian dan ajaran yang kalian bawah. Jika kalian tidak berhenti dari mengajak kami untuk beriman kepada Allah niscaya kami akan merajam kalian, dan kalian akan mendapatkan azab yang pedih dari kami. (Q.S. Yasin 18) Kata penduduk negeri tersebut.

Para utusan itu berkata:

Sungguh keburukan yang kalian anggap kesialan itu disebabkan oleh perbuatan kalian sendiri. Apakah karena kami mengajak kalian untuk beriman kepada Allah, agar kalian mendapatkan kebahagiaan lalu kalian anggap itu sebagai sebab kesialan? Sesungguhnya kalian adalah kaum yang melampaui batas. (Q.S. Yasin 19)

Sahabat SQ Blog yang berbahagia

Demikianlah penduduk negeri tersebut memperlakukan ketiga utusan itu. Keadaan mereka pun tersebar dimana-mana. Hingga akhirnya:

Datanglah dari ujung kota seorang laki-laki beriman. (Q.S. Yasin 20)

Hatinya tergugah melihat sikap kaumnya memperlakukan ketiga utusan itu. Ia berkata kepada kaumnya:

Ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah mereka yang tidak seorang pun diantara mereka meminta kepada kamu walau sedikit imbalan pun, sedang mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Yasin 21)

Seorang laki-laki beriman yang datang dari ujung kota itu, ada yang menyebutkan beliau adalah Habib An-Najjar. Siapa pun namanya atau orangnya, yang jelas ayat ini menunjukkan betapa tulus yang bersangkutan karena ia datang dari jauh untuk membela utusan-utusan itu sekalipun harus mengorbakan nyawa dan jiwanya.

Sahabat SQ Blog yang berbahagia

Habib An-Najjar pun dihina, dicela, dan dimaki oleh penduduk negeri tersebut. Setelah mendengar hinaan dan cacian mereka, Habib An-Najjar berkata:

Bagaimana mungkin aku tidak beriman kepada Allah yang telah menciptakan aku, dan hanya kepadanya aku kembali. (Q.S. Yasin 22)

Habib An-Najjar melanjutkan:

Apakah pantas aku menjadikan selain Allah sebagian tuhan-tuhan, jika Ar-Rahman menghendaki kepada diriku suatu bencana, niscaya tidaklah berguna syafaat tuhan-tuhan selain-Nya sedikitpun. Dan tidak dapat menyelamatkan aku. (Q.S. Yasin 23)

Sungguh aku kiranya jika seperti itu, pasti berada dalam kesesatan yang nyata. (Q.S. Yasin 24) Oleh karenanya, sekali lagi kusampaikan wahai penduduk negeri, sesungguhnya aku telah beriman kepada Allah yang juga merupakan Tuhan kalian. (Q.S. Yasin 25)

Sahabat SQ Blog yang berbahagia

Mendengar keberanian Habib An-Najjar dengan nasehat-nasehatnya kepada mereka, penduduk negeri tersebut semakin marah. Mereka pun melempari Habib An-Najjar dengan batu hingga gugur sebagai syahid. Ketika itu, datanglah para malaikat menyambut ruhnya, dikatakan kepadanya oleh para malaikat:

Masukalah kedalam surga, (Q.S. Yasin 26) yakni bergembiralah dengan surga yang kelak engkau akan memasukinya. Mendengar berita gembira itu, sang syahid, Habib An-Najjar yang betapa suci hatinya tidak lagi menaruh dendam walaupun kepada para pembunuhnya berkata:

Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui apa yang kualami ini. (Q.S. Yasin 26) Allah telah mengampuni aku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimulikan. (Q.S. Yasin 27)

Sekiranya mereka mengetahui anugerah yang Allah berikan kepada Habib An-Najjar, niscaya mereka akan beriman dan patuh kepada utusan-utusan itu.

Sahabat SQ Blog yang berbahagia

Demikianlah kisah para utusan itu dan sang syahid, Habib An-Najjar. Di antara pesan hikmah yang bisa diambil dari kisah tersebut ialah:

  • Tuntunan untuk senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya
  • Tuntunan untuk mengambil pelajaran dari kisah-kisah para Nabi dan umat sebelumnya
  • Islam memerintahkan untuk percaya kepada taqdir, bukan pada takhayyul dan khurafat
  • Motivasi untuk berbuat baik walaupun pahit, sebagaimana kisah Habib An-Najjar
  • Sorga adalah balasan orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah

SEMOGA BERKESAN

Artikel ini disarikan dari Tafsir Al-Misbah, karya Quraish Shihab.

Bertambahnya jumlah jema’ah haji ke mekkah sejak sejak awal abad ke-19, Muslim Indonesia dapat bertemu dengan kaum muslim dari seluruh dunia. Mereka juga menjadi lebih baik dalam memahami ajaran-ajaran Islam yang didasarkan pada kitab suci al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Mereka terpengaruh oleh gerakan-gerakan pembaharu Islam yang dilancarkan oleh kaum Wahabi, dan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Sekembalinya ke Indonesia, mereka merasa terpanggi untuk memperbaharui Islam di Indonesia dan membimbing umat Islam kearah pemahaman yang benar yang didasarkan pada al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.[1] 

Sesudah Ibn Khaldun (1332-1406 M), dunia Islam masih menghasilkan beberapa tokoh intelektual seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan Agus Salim (1884-1954). Di antara tokoh ini, hanya Iqbal dan Abduh yang agak kaya meninggalkan karya tulis. Sedangkan tokoh lain seperti K.H.A. Dahlan yang bila dilihat dari segi amal yang ditinggalkannya dalam bentuk Muhammadiyah dengan ribuan sekolah dan pekerja-pekerja sosial kemanusiaan lainnya mungkin tidak kalah besar dari tokoh di atas. Tetapi sulit untuk mengikuti pandangan-pandangannya tentang Islam secara komprhensif karena sepanjang pengetahuan selama ini tidak satu pun karya tulis yang ditinggalkannya. Berbeda dengan Abduh yang punya murid-murid dan sahabat-sahabat yang cukup kreatif dalam memproduksi pemikiran-pemikirannya. Begitu juga untuk dapat mengikuti pandangan-pandanagn K.H. Hasyim Asy’ari dari NU.[2] 

Corak Intelektualisme di Indonesia

Setelah Indonesia merdekan pada tahun 1945, masyarakat Indonesia memiliki hasrat yang kuat untuk mengembangkan Indonesia Modern. Bahhkan sebelum itu, pada dasawarsa 1980 dan 1990-an ditandai dengan maraknya penerbitan buku-buku bertema keagamaan dan intelektual yang berbasis pemikiran. Ini tentu saja akan berakibat langsung pada perkembangan dunia dunia Intelektual Muslim Indonesia. Zaman baru kebangkitan sisi intelektual tepatnya dalam dunia pemikiran di kalangan Muslim ini, paling tidak ditandai dengan munculnya beberapa literature yang mencoba mencermati secara sistematis perkembangan dunia intelektual Muslim di Indonesia. Karya yang cukup lengkap untuk memotret peta baru pemikiran Islam di Indonesia pada 1980-an M, misalnya, ditulis Fachry Ali an Bahtiar Effendy dalam “Merambah Jalan Baru Islam”. Survey mereka menunjukkan munculnya empat corak pemikiran keislaman yang sedang dikembangkan para intelektual Islam, yaitu:[3]
  • Pertama; neo-modernisme, yaitu pemikiran keislaman yang menggabungkan dua faktor penting, modernisme dan tradisionalisme. Dalam aliran ini masuk dua sosok intelektual, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
  • Kedua; sosialisme-demokrat, yaitu gerakan Islam yang melihat cita-cita keadilan sosial dan demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Para penganjurnya, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo.
  • Ketiga; Universalisme, yaitu gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai ajaran universal. Obsesi pokok ajaran ini ialah bahwa Islam dan seluruh perangkat nilainya bisa dijadikan alternative dari kemorosotan nilai-nilai Barat. Para pendukung ketiga ini adalah M. Amien rais, Jalaluddin Rakhmat, dan A.M. Saefuddin.
  • Keempat; modernism, yaitu gerakan pemikiran yang melibatkan Islam ke dalam persoalan-persolan sosial-politik yang lebih luas. Para tokoh penganjur aliran ini adalah Djohan Effendy dan Achmad Syafi’i Ma’arif. 
Keempat aliran pemikiran yang keislaman yang dikategorikan Fachry dan Bachtiar tersebut memang telah mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Sebagai contoh, Fachry dan Bachtiar menggolongkan Djohan Effendy sebagai penganjur aliran modernisme. Sementara itu, Greg Berton justru dalam tulisannya “neo-Modernisme; A Progressive Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia”, memasukkan Djohan Effendy bersama-sama Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib sebagai perintis gerakan neo-modernis.[4] 

Selanjutnya, potret lain yang cukup penting dalam menyoroti perkembangan peta pemikiran umat Islam adalah tulisan dari William Liddle dalam monograf Politics and Culture in Indonesia. Melalui pendekatan politik, Liddle menemukan tiga corak pemikiran Islam di Indonesia,[5] yaitu:
  • Indigenist, yaitu kelompok pemikiran yang percaya bahwa Islam bersifat universal. Namun, dalam prakteknya Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya setempat. Gagasan tentang pribumisasi Islam atau kontekstualisasi doktrin Islam adalah usaha para intelektual Islam untuk mempertemukan Islam dengan konteks budaya setempat. Kelompok ini juga berusaha mengakomodasikan kepentingan umat Islam dengan pemerintah. Para pendukung Indigenist ini tentu saja termasuk Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid;
  • Sosial Reformist, yaitu gerakan Islam yang lebih menitikberatkan pada pemikiran dan aksi guna mengatasi berbagai kemiskinan dan ketimpangan sosial yang melanda umat Islam sebagai akibat prose pembangunan yang bersifat top-down. Kelompok ini diwakili oleh M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Moeslim Abdurrachman;
  • Universalisme, yaitu kelompok pemikiran yang percaya bahwa Al-Quran dan Hadis yang dibawa Nabi Muhammad Saw sudah sangat sempura dan dapat langsung diterapkan dalam masyarakat apapun. Jejak pemikiran ini dapat dilacak sejak munculnya Muhammadiyah dan Masyumi. Kelompok ini sejak 1990-an cukup kuat mewarnai arus pemikiran keislaman di berbagai kampus utama di Jawa. Kelompok ketiga diwakili oleh Imaduddin Abdulrachim, M. Amien Rais, Jalaluddin Rachmat, Endang Saefuddin Anshary, dan A.M. saefuddin;
Serupa dengan pandangan Fachry Ali an Bahtiar Effendy sebelumnya, kategori William Liddle ini pun tidak luput dari beberapa kritikan. Oleh karenanya, juga baik untuk melihat kategori yang dilontarkan Moeslim mengenai latar belakang yang bisa mempengaruhi pemikiran seseorang. Moeslim merumuskannya menjadi tiga,[6] yaitu:
  • Modernisasi Islam, yaitu pemikiran yang bertolak dari usaha mengembangkan pesan Islam dalam konteks perubahan sosial. Untuk mengembangkan pesan Islam itu, lakukanlah usaha liberalisasi pemikiran yang bersifat adaftif terhadap kemajuan zaman. Tentu saja menurut Moeslim, tanpa harus meninggalkan kritis terhadap unsur negative dari proses modernisasi;
  • Islamisasi, yaitu gerakan pemikiran yang cenderung menggali teks dalam rangka perubahan sosial. Di situ para intelektual Muslim mencoba merumuskan ukuran-ukuran normaif di dalam berbagai kehidupan seperti ilmu, system eknomi, busana dan pendidikan sehingga ditemukan corak yang lebih khas Islam;
  • Transformatif, yaitu kelompok pemikiran yang menaruh perhatian besar terhadap persoalan keadilan dan ketimpangan sosial yang muncul dalam proses pembangunan bangsa saat ini. Bagi mereka, semua persoalan peradaban manusia sekarang ini berpangkal dari ketimpangan sosial ekonomi karena masyarakat masih didominasi oleh struktur yang tidak adil.
Tokoh dan Karya Para Intektualisme di Indonesia

Agus Salim (1884-1954) dapat disebut sebagai bapak kaum intelektual Muslim Modern Indonesia. Menurut Greg Barton ungkapan ini memang sudah pada tempatnya. Tokoh-tokoh intelektual Muslim seperti Natsir, Roem, Kasman, Prawoto, Jusuf Wibisino dan masih banyak yang lain adalah hasil bentukan Salimyang sangat gemilang, terutama lewat Jong Islamieten Bond yang didirikan pada 1925 M.[7] di antara tokoh lainnya ialah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo, M. Amien rais, Jalaluddin Rakhmat, A.M. Saefuddin, Djohan Effendy dan Achmad Syafi’i Ma’arif.

Refleksi Peradaban Islam di Indonesia

Salah satu hasil peradaban atau tamaddun Islam di Indonesia adalah khasanah naskah-naskah klasik yang dituangkan dalam berbagai bentuk. Naskah-naskah tersebut berisi baik ilmu-ilmu keagamaan, ilmu pengetahuan sosial dan pengetahuan umum.[8] Pada ranah yang lebih rumit dan sedikit kompleks, Islam di Indonesia telah tampil sebagai gerakan pembebas.[9] Baik pembebasan dari animism, dinamisme, tradisi kasta, dan juga peran politiknya dalam mengantarakan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Sarekat Islam (SI) merupakan satu-satunya perwujudan politik Islam pada awal-awal pergerakan kemerdekaan Indonesia. Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdoel Moeis merupakan tokoh Islam berpengaruh di dalamnya yang sangat mencita-citakan terjalinnya politik Islam.[10]

Periode Pasca revolusi, politik Islam berada dalam zona nyaman dan relative sedikit hambatan. Dengan Masyumi, yang dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar. Untuk alasan itu, pada tahun 1946, Sjahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia) memperkirakan bahwa “jika pemilihan umum diselenggarakan [di sekitar tahun itu], maka Masyumi yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan Muslim modernis seperti Muhammadiyah dengan jumlah anggota yang besar di wilayah perkotaan, dan ortodoks seperti NU dengan jumlah anggotanya yang bahkan lebih besar lagi di wilayah-wilayah pedesaan akan memperoleh 80% suara. Dengan hasil pemilihan umum 1971, kekuatan Islam politik makin merosot.

Inilah kemudian yang memicu intelektualisme Islam untuk terus melakukan pembaharuan dan pemikiran khususnya dalam relevansi Islam dan Negara. Walaupun demikian, peran Islam di Indonesia telah memberikan dampak yang sangat besar dalam membentuk peradaban Indonesia. Walaupun juga dimaklumi, masih banyak hal yang harus dibenahi agar Islam dapat akomodatif terhadap segala perubahan dan lapangan inilah yang menjadi tugas bagi para intelektualisme Islam masa kini dan pada masa yang akan datang.

Baca Juga:

pdf Download:
 
ENDNOTE

[1] Baroroh Baried, “Islam dan Modernisasi Wanita Indonesia” dalam “Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara”, Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (eds.), terj. Rochman Achwan dari judul asli “Islam and Society in Southeast Asia” (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 153
[2] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia terj. Nanang Tahqiq dari judul asli “Ther Emeegency of neo-Modernisme; A Progressive Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia” (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. I, h. 107
[3] Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. I, h. 54-55
[4] Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. I, h. 55
[5] Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia (Bandung: Zaman Wacana Mulia), Cet. I, h. 56
[6] Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. I, h. 57
[7] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia terj. Nanang Tahqiq dari judul asli “Ther Emeegency of neo-Modernisme; A Progressive Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia” (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. I, h. 103
[8] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban; Jejak Arkeologis dan HIstoris Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1419 H/1998 M), Cet. I, h. 217
[9] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia terj. Nanang Tahqiq dari judul asli “Ther Emeegency of neo-Modernisme; A Progressive Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia” (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. I, h. 108
[10] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), Edisi Digital, h. 78.

SQ Blog - Salam hangat Sobat, semoga kabarnya baik semuanya. Dua postingan sebelumnya sangat erat dengan postingan kali ini, 2 postingan tersebut ialah Awal Masuknya Islam di Indonesia, dan Penyebaran Islam di Indonesia. Admin melalui postingan di bawah mengutarakan bahasan terkait lainnya, yaitu Ideologi awal yang sangat kental dalam perjalanan perkembangan Islam di Indonesia. Ideologi tersebut dibawah dan dikembangkan oleh para ahli Sufi yang kemudian disebut dengan Tasawuf. Berikut sekilas bahasannya.

Terdapat kesepakatan di kalangan sejarawan dan peneliti, orientalis dan cendekiawan Indonesia bahwa Tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Akan tetapi, setelah itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat, apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian.[1] Oleh karena itu, bahasan berikut lebih mengarah pada ideologi sufistik yang terjadi di Indonesia pada awal-awal perkembangannya. Diskusi ini tidak bisa dipisahkan dari kajian ideologi Islam di Indonesia karena unsur-unsurnya sangat kental dalam masyarakat Nusantara. Bahkan unsur sufistik inilah yang menjadi salah satu daya tarik masyarakat Indonesia untuk masuk Islam seperti diungkapkan di atas.

Berdasarkan penyebaran Islam di Indonesia yang telah dikemukakan di atas, ideologi Islam awal di Nusantara dimulai dari Aceh yang kental dengan karakter sufisme dan ajaran-ajaran Sunni-Syafi’i yang berkembang cukup pesat. Tentang sufisme yang kemudian berkembang lagi menjadi tarekat, seperti yang dikembangkan oleh Hamzah Fanzuri, Syamsuddin Sumatrani, dan Sfaifurrizal di satu sisi, dan Al-Raniri (w. 1068 H/1658 M) dan Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M) di Sisi lain. Sementara itu, di daerah Jawa ditemukan pola-pola ideologi Islam yang sama dengan pola di Aceh pada periode-periode awal. Tradisi Siti Jenar yang berkembang di daerah Pengging yang menghebohkan beberapa Sunan lain, adalah pengajar Wujudiyyah sebagaimana Sumatrani dan Fansuri di Aceh.[2]

Dalam silsilah, wali songo atau yang sering juga disebut wali sanga dalam bidang sufisme memiliki garis keturunan yang langsung bersambung dengan keluarga ‘Alawiyyah di Hadramaut. Adapun Al-Raniri yang memiliki nama lengkap Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasani al-Humaidi al-Syafi’i al-Asy’ari al-Aidarusi al-Raniri lahir di Ranir, salah satu kota di India. Ia memiliki tipologi yang memiliki tingkat kesamaaan dengan ideologi Wali Songo. Hal ini dimaklumi karena Al-Raniri memiliki guru yang termasuk keluarga al-Aidrusi yang dihubungkan dengan tarekat al-Aidrusiyah, sebuah cabang dari tarekat Alawiyah di Hadramaut.[3] Perbedaan pandangan Al-Raniri dengan sufisme lainnya ialah bahwa Al-Raniri dapat dilihat lebih keras ketika berhadapan dengan tasawuf Ibnu Araby yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, termasuk pandangan Siti Jenar yang berada di Jawa.

Pertumbuhan dan perkembangan tarekat di Indonesia berjalan seiring dengan perkembangannya di Negara-negara Islam. Setiap putra Indonesia yang kembali dari menuntut ilmu di Makkah dapat dipastikan membawa ijazah dari syaikhnya untuk mengajarkan tarekat tertentu di Indonesia. Fansuri misalnya adalah syaikh tarekat Qadiriyah, Al-Raniri syaikh tarekat Rifa’iyah, Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili syaikh tarekat Syattariyah, dan Al-Palembani syaikh tarekat Smmaniyah.[4] Secara umum, tarekat-tarekat yang umumnya memperoleh simpati dan banyak pendukungnya di Indonesia ialah sebagai berikut:[5]
  1. Tarekat Qadiriyah, banyak tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan syaikh Fansuri adalah dikenal sebagai orang yang pertama kali menganutnya di Indonesia;
  2. Tarekat Alawiyah, tersebar di Indonesia melalui keturunan Alawiyyin dan murid-muridnya, syaikh Al-Raniri adalah salah seorang yang membawanya ke Indonesia;
  3. Tarekat Syatariyah, Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili adalah orang pertama yang menyebarkan tarekat ini. Kebanyakan murid dan pengikutnya di Sumatra Selatan, kemudian dilanjutkan ke Jawa oleh murid-muridnya.
  4. Tarekat Khalwatiyah, syaikh Yusuf Al-Makassari adalah yang pertama kali memperkenalkannya di Sulawesi Selatan, kemudian syaokh Abd Al-Shamad Al-Palembani yang membawa tarekat Sammaniyah yang merupakan cabang Al-Khalwatiyah untuk pertama kali di Sumatra.
Disamping itu, terdapat pula tarekat Syadziliyah, Rifa’iyah, Idrisiyah, Sanusiyah, Tijaniyyah, Naqsyabandiyah, dan Aidrusiyah. Naqsyabandiyah berikut tiga cabangnya juga merupakan terbesar di Indonesia, yaitu Naqsyabandiyah Madzhariyah, Naqsyabandiyah, dan Qadiriyah Naqsyabandiyah.

Qadiriyah Naqsyabandiyah adalah gabungan dua tarekat sekaligus yang dilakukan oleh syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah pada 1875 M. Dia kemudian berjasa memperkenalkan tarekat ini di Indonesia dan Melayu hingga wafat. Di Makkah, dia menjadi guru sebagian besar ulama Indonesia Modern dan mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke Indonesia mereka memimpin tarekat dan mengajarkannya sehingga ini tersebar di seluruh Indonesia, di antara mereka ialah syaikh Nawawi Al-Bantani (w. 1923 M), syaikh Khalil (w. 1918 M), syaikh Mahfuzh Termez (w. 1923), dan syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri NU di Indonesia berguru pada syaikh ini.[6]

ENDNOTE


[1] Alwi Shihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia terj. Muhammad Nursamad dari judul asli, “Al-Thasawwuf al-Islam wa Atsaruhu fi Al-Thasawwuf al-Indunisi al-Muashir”  (Bandung: Mizan, 2011), Cet. I, h. 36
[2] Nur Khalik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar; Kontruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia, h. 75
[3] Nur Khalik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar; Kontruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2011), h. 75
[4] Alwi Shihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia terj. Muhammad Nursamad dari judul asli, “Al-Thasawwuf al-Islam wa Atsaruhu fi Al-Thasawwuf al-Indunisi al-Muashir”  (Bandung: Mizan, 2011), Cet. I, h. 36
[5] Alwi Shihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, h. 36
[6] Alwi Shihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, h. 36

Baca Juga:

pdf Download:

ACEH DAN SUMATERA

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa wilayah awal yang dituju para pedagang di kepualauan Indonesia ialah kepulauan Sumatera. Dari sinilah kemudian secara perlahan Islam semakin luas dan mengalami perkembangan yang sangat pesat di Aceh yang ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam yang pertama, yaitu Samudera Pasai (1042-1521). Pendapat lain menyebutkan terdapat kerajaan Islam di pesisir Aceh yang telah ada lebih awal, yaitu kerajaan Perlak yang dipimpin oleh Dinasti Sayed Maulana Abdul Aziz Syah pada tahun 840-910 M. Kerajaan ini semasa dengan Sriwijaya yang masih kokoh di Sumatera dan kerajaan Airlangga di Jawa.[1]

Wilayah Aceh dinyatakan sebagai komunitas Islam awal di Nusantara mendahului daerah-daerah lain, termasuk mendahului daerah-daerah di Jawa, Sulawesi, NTB, dan Kalimantan. Gelombang masuknya Islam di Aceh dikembangkan oleh para pedagang Muslim, baik dari Gujarat, Arab, atau Persia. Selain komunitas Perlak, penyebaran Islam di Aceh semakin luas setelah berdirinya kerajaan Samudera Pasai. Bahkan ketika itu hubungan antara Pasai dan Perlak sangat baik. Dari Pasai inilah dakwah Islam semakin menyebar bahkan memainkan peranan penting dalam penyebaran dakwah di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.[2]

JAWA

Pada masa kerajaan Pasai, Maulana Ishaq dan Maulana Malik Ibrahim yang singgah di Pasai dikirim ke pulau Jawa untuk menyebarkan Islam. Oleh sebab itu, kebanyakan sarjana bersepakat bahwa di antara para penyebar pertama Islam di Jawa adalah Maulana Malik Ibrahim, anak dari Karim Al-Makhdum yang datang dari Malaka pada 782 H/1380 M.[3] Sedangkan pada masa kerajaan Aceh Besar, Syarif Hidayatullah yang juga singgah di Aceh, dikirim ke Jawa, tepatnya di Surabaya lalu memperoleh tugas menyebarkan Islam di Cirebon. Tokoh lainnya yang dikenal sebagai penyebar Islam awal di Jawa ialah Syaikh Maulana Maghribi. Kedatangan mereka di kepulauan jawa ini terjadi sekitar abad 7 H/13 M. Islam cepat menyebar di pulau Jawa dari jalur Surabaya, setelah Raden Rahmat yang dkenal dengan Sunan Ampel datang dari Campa (Vietnam) pada tahun 1440 M. Hal ini disebabkan karena Sunan Ampel merupakan Wali Songo yang memiliki momentum di Istana Majapahit karena ia memiliki hubungan darah dengan permaisuri di Majapahit ketika itu.[4]

Selain itu, masuknya Islam ke daerah-daerah pesisir lainnya di kepulauan Indonesia sebagiannya masih tetap melalaui jalan pelayaran dan perdagangan. Akibat lalu lintas melalui selat Malaka dan Samudera Pasai sebagai salah satu pusat persinggahannya maka sampailah Islam ke sebagian Semenanjung Melayu yaitu Trengganu (Malaysia) pada abad ke-8 H/14 M. Demikian pula Malaka pada abad ke ke-8 H/14 M muncul sebagai pusat pelayaran dan perdagangan kaum Muslim bahkan pada abad ke-15 terbentuklah kerajaan bercorak Islam di daerah itu yang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara.[5]

MALUKU, KALIMANTAN DAN SULAWESI

Kedatangan orang-orang Muslim di pesisir Utara Jawa dari bagian Timur sampai bagian Barat secara terus menerus baru sejak abad-abad 14 M, 15 M. Mereka berasal dari Arab, Persia, India, dan orang-orang Samudra Pasai, Malaka. Penyebaran Islam di pesisir Utara Jawa Timur sejalan dengan situasi kondisi politik Majapahit waktu itu yang mulai mengalami kemunduran. Dari pesisir Utara Jawa, pedagang-pedagang Muslim Juga medatangi tempat-tempat perdagangan di Indonesia bagian Timur yaitu pulau-pulau Maluku. Raja pertamanya yang memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1599 M) yang menerima agama Islam tersebut dari Sunan Giri, Jawa Timur. Apabila perjalanan orang-orang Muslim dari Malaka[6] ke Maluku pertama kalinya melalui pesisir Utara Jawa, maka baru kemudian melalui Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan sejak abad ke-15 M.[7]

Dengan demikian, masuknya Islam ke Kalimantan dan Sulawesi hampir bersamaan. Walaupun dapat dikatakan lebih dahulu masuk di Kalimantan, yaitu proses islamisasi di Kutai diperkirakan retjadi pada sekitar tahun 1575 M. Adapun di Sulawesi, kedatangan para pedagang Muslim sudah ada sejak abad-15 M – 16 M dan mungkin berasal dari Malaka, Sumatera dan Jawa. Namun, secara resmi agama Islam baru dianuat oleh raja Gowa dan Tallo pada tahun 1605 M. Melalui kedua kerajaan ini, Islam disebarkan ke wilayah sekitarnya, seperti Bone, Wajo, Soppeng, dan lainnya.[8]

Dari uraian di atas, Islam masuk di beberapa daerah di kepualauan Indonesian berbeda-beda. Ada yang sejak abad 1 H/7 M dan 2 H/8 M, ada yang abad 5 H/11 M, 8 H/14 M, 9 H/15 M, 10 H/16 M, ad nada pula yang baru pada abad-abad berikutnya. Akibatnya, frekuensi pengaruh-pengaruh Islam pun akan menunjukkan bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan struktur sosial-budaya masyarakat yang didatanginya. Dengan demikian, Perkembangan Islam di Indonesia semakin pesat pada abad 10 H/16 M, dimana Islam telah menyebar secara merata ke seluruh wilayah Nusantara.[9] Kemudian, para pembawa Islam pun ke kepulauan Indonesia, tidak semata-mata dari orang-orang Muslim dari luar seperti Arab, Persia, India saja, melainkan juga tokoh-tokoh yang berasal dari daerah-daerah Indonesia sendiri, seperti beberapa nama Wali yang telah disebutkan di atas. Al-Attas merangkum beberapa teori yang diajukan oleh srjana barat tentang cepatnya Islam diterima di kawasan Asia Tenggara, meskipun beliau tidak terlalu setuju dan mnegkritisinya. Teori-teori itu ialah;[10]
  • Faktor Perdagangan;
  • Faktor Perkawinan;
  • Faktor Permusuhan antara orang Islam dan Kristen;
  • Faktor Politik yang dianggap sebagai motif dan sebab bagi memeluk Islam
  • Faktor penghargaan nilai ideology Islam; dan
  • Faktor Otoktoni, yaitu keadaan dimana sesuau itu dianggap telah ada.
ENDNOTE


[1] Nur Khalik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar; Kontruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2011), h. 24
[2] Nur Khalik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar, h. 26
[3] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), Cet. I, h. 30-31
[4] Nur Khalik Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar; Kontruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2011), h. 36-37
[5] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia, h. 19
[6] Selat yang terletak di antara Semenanjung Malaysia selat yang terletak di antara Semenanjung Malaysia (Thailand, Malaysia, Singapura) dan Pulau Sumatra (Indonesia).
[7] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia,  h. 24-25
[8] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia,  h. 26
[9] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban; Jejak Arkeologis dan HIstoris Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1419 H/1998 M), Cet. I, h. 217
[10] Hasbullah, Islam dan Transformasi Kenudayaan Melayu di Kerajaan Siak (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2007), Cet. I, h. 30

BACA JUGA:

pdf Download:

SQ Blog - Islam diperkenalkan di kepulauan Melayu atau Nusantara melalui berbagai proses yang berangsur-angsur dan rumit. Melihat kenyataan bahwa Islam dating dengan cara damai tanpa kampanye militer atau dukungan pemerintah, agaknya penentuan awal kedatangan Islam kurang begitu signifikan lantara orang-orang yang terlibat dalam kegiatan dakwah pertama tersebut tidak bertendensi apapun, selain tanggung jawab menunaikan kewajiban tanpa pamrih, sehingga nama-nama mereka berlalu begitu saja tertelan sejarah.[1] Oleh karenanya, kedatangan Islam di Nusantara memunculkan diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok, yaitu tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.

Paling tidak ada 4 teori yang berbicara tentang asal datangnya Islam di kawasan Nusantara termasuk di Indonesia, yaitu;
  1. Pertama, Islam datang langsung dari Arab atau tepatnya Hadramaut yang dikemukakan oleh Crawfurd, Keyzer, Niemann, de Hollander, dan Veth.
  2. Kedua, teori yang menyatakan bahwa Islam itu datangnya dari India tepatnya Gujarat yang diajukan oleh Pijnipel, Snouck Hurgronje, Moquette, Kern, Winstedt, Bousquet dan sejumlah sarjana Belanda lainnya.
  3. Ketiga, teori yang menyatakan bahwa Islam datang dari Bengal (Bangladesh) yang diajukan oleh Fatimi.[2]
  4. Sebagian sarjana lain seperti Marrison dan Drewes berpendapat bahwa pelopor awal Islam di Indonesia ialah orang-orang Persia.[3]
Teori tentang Gujarat sebagai tempat asal Islam di Nusantara terbukti mempunyai kelemahana-kelemahan tertentu. Ini dibuktikan mislanya oleh Marrison yang berargumen bahwa meskipun batu-batu nisan yang ditemukan di tempat-tempat tertentu di Nusantara boleh jadi berasal dari Gujarat, atau berasal dari Bengal, itu tidak lantas berarti Islam juga didatangkan dari dari sana. Marrison mematahkan teori ini dengan menunjuk kepada kenyataan bahwa pada masa Islamisasi Samudra Pasai, yang raja pertamanya wafat pada 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Barulah setahun kemudian pada tahun 698 H/1297 M, Gujarat ditaklukkan oleh kekuasaan Muslim. Sejalan dengan Marrison, Naguib Al-Attas juga tidak menerima bahwa Islam dibawa dari Gujarat ke Pasai dan Gresik oleh Muslim India. Ia berpendapat bahwa batu-batu nisan yang ditemukan pada dua daerah tersebut dibawa dari India semata-mata karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan Arab. [4]

Pada sisi lain, kontribusi kaum Muslim Persia menurut Alwi Shihab memang cukup besar dalam rangka mendorong gerakan dakwah Islam di Indonesia. Misalnya, terdapat Ulama Islam di kesultanan Samudera Pasai yang merupakan asli dari Persia, yaitu Al-Qadhi Amir Sayyid Al-Sirazi dan Ibn Batutah pernah menemuinya pada saat kunjunggannya di kesultanan pada tahun 1345-1346 M. Akan tetapi, kontribusi itu sendiri tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan dakwah yang dilakukan orang-orang Arab. Analisis lain menunjukan kontribusi ini muncul belakangan jika merujuk asumsi bahwa Islam telah masuk di Nusantara pada abad 1 H/7 M. Mengingat Negeri Persia sudah menjadi bagian dari khilafah Islam sejak ekspansi Islam pada masa khalifah Umar bin Khattab. Bahkan diluar negeri mereka, Muslim Persia justru merepresentasikan peradaban Islam Arab, bukan peradaban Persia terutama pada Dinasti Abbasiyyah.[5] Mengenai penentuan awal datangnya Islam dapat dikategorikan ke dalam dua perspektif:
  1. Pertama, pandangan yang mengasumsikan awal datangnya Islam pada abad ke-7 H/13 M.
  2. kedua, pandangan yang menganut abad ke-1 H/7 M.[6]
Tjandrasasmita dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan kota-kota Muslim di Indonesia menyatakan masuknya Islam ke Indonesia baru abad 7 H/13 M tentu tidak dapat diterima begitu saja karena pelayaran dan perdagangan orang-orang Muslim ke negeri-negeri di Asia Tenggara sudah ada sejak abad-abad 1 H/7 M dan abad-abad berikutnya, sebelum abad ke-7 H/13 M.
Di antara bukti bahwa Islam sudah ada di Nusantara termasuk Indonesia sejak abad 1 H/7 M bersumber dari berita Cina yang berasal dari hikayat Dinasti T’ang. Sumber tersebut menceritakan tentang orang-orang Ta-shih yang mengurungkan niatnya untuk menyerang kerajaan Ho-Ling atau Kalingga (Jawa Tengah) yang diperintah ratu Sima. Berdasarkan penafsiran beberapa ahli, orang Tazi atau Ta-shih ialah orang-orang Arab serta lokasinya diperkirakan di pesisir Barat Sumatera. Sumber yang menyebut tentang orang-orang Ta-shih tidak hanya berasal dari abad ke-1 H/7 M, tetapi juga dari abad-abad berikutnya. Misalnya sumber Jepang pada pertengahan abad ke-2 H/8 M juga menceritakan banyak kapal Po-sse dan Ta-shih Kuo yang berlabuh di Khanfu (Guangzhou). Menurut penafsiran, Po-sse ialah orang-orang melayu atau Persia.[7] I-Tsing seorang agamawan dan pengembara terkenal Cina, pada tahun 51 H/671 M menumpang kapal Arab atau Persia dari Khanfu dan berlabuh di pelabuhan muara sungai Bhoga (Musi) di Palembang, Ibu kota kerajaan Sriwijaya ketika itu.[8]

Analisis ini menunjukkan bahwa sejak abad 1 H/7 M dan 2 H/8 M tidak mustahil orang-orang Muslim, apakah dari Arab, Persia, India, sudah banyak yang berhubungan dengan orang-orang Indonesia dan orang Asia Tenggara pada Umumnya. Kemajuan perhubungan pelayaran pada abad-abad tersebut dikemungkinkan akibat persaingan antara kerajaan-kerajaan besar ketika itu, yaitu Bani Umayyah di Asia Barat, Kerajaan Sriwijaya (Indonesia) di Asia Tenggara, Dinasti Tang (Cina) di Asia Timur. Mempertimbangkan banyaknya versi historiografi masuknya Islam di Indonesia, Azyumardi Azra menyimpulkan empat tema pokok dalam hal ini,[9] yaitu:
  1. Islam dibawa langsung dari Arab;
  2. Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar professional, yakni mereka yang memang khusus bermasud menyebarkan Islam;
  3. Golongan masyarakat Indonesia yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa;
  4. Kebanyakan para penyebar Islam professional ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13.
Berdasarkan uraian tahun awal masuknya Islam di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa pada abad ke-1 H/7 M atau sebelum abad ke-7 H/13 M itu sebagai proses islamisasi, adapun pada abad ke-7 H/13 M merupakan pertumbuhannya sebagai kerajaan yang pertama bercorak Islam di Indonesia.[10]

ENDNOTE


[1] Alwi Shihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia terj. Muhammad Nursamad dari judul asli, “Al-Thasawwuf al-Islam wa Atsaruhu fi Al-Thasawwuf al-Indunisi al-Muashir” (Bandung: Mizan, 2011), Cet. I, h. 4
[2][2] Hasbullah, Islam dan Transformasi Kenudayaan Melayu di Kerajaan Siak (Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2007), Cet. I, h. 25-26
[3] Alwi Shihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, h. 11-12
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), Cet. I, h. 26
[5] Alwi Shihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia terj. Muhammad Nursamad dari judul asli, “Al-Thasawwuf al-Islam wa Atsaruhu fi Al-Thasawwuf al-Indunisi al-Muashir”  (Bandung: Mizan, 2011), Cet. I, h. 11-12
[6] Alwi Shihab, Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, h. 4
[7] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia (Kudus, Menara Kudus, 2000), Cet. I, h. 15-16, Lihat Juga; Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, h. 36-37 dan Alwi Shihab, Islam Sufistik, h. 6-7
[8] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), Cet. I, h. 38
[9] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), Cet. I, h. 30-31
[10] Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia (Kudus, Menara Kudus, 2000), Cet. I, h. 19

pdf Download: Klik DISINI

SQ BLOG - Postingan ini merupakan sebuah resume admin dari karya Bahtiar Effendy; Islam dan Negara. Buku ini berupaya mengeksplorasi secara mendalam hubungan antara politik Islam dan Negara yang nampak kurang mesra, khususnya yang terjadi dalam sejarah Indonesia.

Penulis mengamati hal tersebut dan berupaya memahami gejala-gejala di dalamnya, kemudian memberikan jalan keluar sebagai solusi hubungan yang tidak harmonis tersebut. Bahtiar Effendi menyusun buku ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan. Satu bagian dengan bagian lainnya saling melengkapi serta dibagian akhir disajikan sebuah epilog mengenai gambaran politik Islam saat ini di Indonesia. Secara ringkas, uraian atau konten isi buku ini dapat digambarkan di bawah ini.

1. Politik Islam di Indonesia

Bahtiar Effendy mengakui bahwa pembahasan hubungan Islam dan politik sebenarnya adalah masalah yang sangat menarik, dan hal ini akan selalu menjadi subjek masalah yang tidak akan pernah kering dibahas dan tak akan pernah berhenti dibicarakan banyak kalangan sepanjang masa.[1] Pembahasan hubungan Islam dan politik di Indonesia memiliki tradisi yang amat panjang. Akar-akar genealogisnya dapat ditarik kebelakang hingga akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika Islam—seperti dikatakan banyak kalangan—pertamakali diperkenalkan dan disebarkan di kepulauan ini. Namun, patut disayangkan bahwa diskursus teoretis mengenainya berkembang baru sepanjang empat dekade belakangan ini saja.

Dalam kurun waktu tersebut, menurut Bahtiar Effendi setidaknya terdapat lima pendekatan teoretis yang berupaya memberikan gambaran hubungan politik Islam dan negara di Indonesia, yaitu:
  • Teori “dekonfessionalisasi” Islam yang dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze. Teori ini menawarkan penjelasan yang konstruktif mengenai hubungan politik yang antagonistik antara Islam dan negara. Istilah “dekonfessionalisasi” ini pada mulanya digunakan di Belanda untuk menunjukkan bahwa, untuk mencapai tingkat kebersamaan tertentu, wakil-wakil dari berbagai kelompok peribadatan harus bertemu untuk menemukan landasan bersama.[2]
  • Teori domestikasi Islam oleh Harry J. Benda. Teori itu dibangun di atas landasan analisis historis mengenai Islam di Jawa pada abad ke-16 hingga abad ke-18, terutama pada periode perebutan kekuasaan antara para penguasa kerajaan-kerajaan Muslim yang taat di wilayah pesisir Jawa, melawan kerajaan Mataram yang terkenal sinkretis di wilayah pedalaman.
  • Teori pengelompokan mazhab atau aliran, teori ini telah diidentifikasikan dengan tulisan-tulisan Robert R. Jay dan Clifford Geertz. Yang pertama menekankan corak skismatik hubungan Islam dan Jawaisme, yang kemudian berkembang melampaui wilayah konfrontasi keagamaan dan memasuki bidang politik, kebudayaan dan kehidupan sosial. Yang belakangan, Clifford Geertz, mengembangkan skisme sosial keagamaan ke dalam pengelompokan aliran sosio-kultural dan politik. Meskipun demikian, penting untuk dicatat, bahwa keduanya mencoba untuk melihat Indonesia dari mikrokosmos Mojokuto dalam sebuah periode di mana konflik-konflik antar partai amat menonjol.
  • Perspektif trikotomi, teori ini dirumuskan berlandaskan pertanyaan bagaimanakah para aktivis politik Muslim memberi respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapkan kepada mereka oleh kelompok elite penguasa. Posisi teoretis ini tampak menonjol dalam karya-karya Allan Samson dan beberapa pengamat lainnya yang melihat bahwa kekalahan partai-partai Islam disebabkan oleh perpecahan-perpecahan politis dan ideologis internal.
  • Teori Islam cultural, Teori terakhir adalah perspektif Islam kultural, yang dikembangkan dalam bentuknya yang paling lengkap oleh Donald K. Emmerson.[3]
Dari kelima pendekatan di atas, semuanya mengarah bahwa Islam dan politik dipandang sebagai dua hal yang secara formal berkaitan satu sama lain. Apa yang diyakini sebagai ketakterpisahan Islam dan politik ini tidak dipahami dalam pengertian etis atau moralnya, melainkan lebih banyak dalam pengertian skripturalnya.

2. Hubungan Tidak Serasi Politik Islam di Indonesia

Hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia pada sebagian besar babakan sejarahnya adalah kisah antagonisme dan kecurigaan satu sama lain. Hubungan yang tidak mesra ini terutama, tetapi tidak seluruhnya, disebabkan oleh perbedaan pandangan pada pendiri republik ini—yang sebagian besarnya Muslim—mengenai hendak dibawa ke manakah negara Indonesia yang baru merdeka. 

Kenyataan bahwa diskursus ideologis seperti itu memancing terjadinya konflik sebagian besarnya tidaklah disebabkan oleh tingkat ketaatan religius yang berbeda di kalangan kaum Muslim—sebuah pandangan yang melandasi konsep-konsep nasionalis mengenai santri-abangan dan Islam-sekular (atau netral) yang terkenal itu. Tetapi, itu terutama disebabkan oleh ketidakmampuan elite politik nasional dalam menegosiasikan dan mendamaikan perbedaan-perbedaan pandangan tersebut, seakan-akan Islam dan nasionalisme merupakan entitas-entitas yang saling menegasikan satu sama lain. Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas itu adalah apakah negara ini bercorak “Islam” atau “nasionalis”.

Asal-usulnya bisa ditelusuri ke masa-masa sebelumnya, sejak tahun-tahun pertama munculnya pergerakan nasional, di mana elite politik terlibat dalam perdebatan mengenai peran Islam dalam sebuah negara Indonesia yang merdeka. Upaya untuk menemukan hubungan politik yang pas antara Islam dan negara terus berlanjut pada periode kemerdekaan dan pascarevolusi. Lantaran tidak juga kunjung ditemukan, diskursus ideologis ini pada gilirannya menyebabkan berkembanganya kesalingcurigaan politik yang lebih besar antara Islam dan negara, terutama sepanjang duapuluh tahun pertama periode Orde Baru.

Sarekat Islam (SI) merupakan satu-satunya perwujudan politik Islam pada awal-awal pergerakan kemerdekaan Indonesia, walaupun beberapa tokohnya mengharapkan tidak adanya kaitan antara agama dan politik (negara). Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdoel Moeis merupakan tokoh Islam berpengaruh di dalamnya yang sangat mencita-citakan terjalinnya politik Islam. Namun sejak tahun 1920-an, SI mengalami banyak konflik dan perpecahan dari dalam. Situasi perpecahan dalam tubuh SI ini menjadikan organisasi tersebut kurang menarik bagi sejumlah intelektual yang lebih muda dan dididik di Barat. Seperti Soekarno, anak didik Tjokroaminoto sendiri, yang memutuskan untuk membentuk organisasi politik sendiri—Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927.[4] Sejak 1930-an dan selanjutnya, kelompok ini—bersama sejumlah intelektual-aktivis didikan Barat lain yang baru kembali dari Belanda (terutama Sjahrir dan Mohammad Hatta) membentuk cikal-bakal gerakan nasionalis di Indonesia.

Pada perkembangan selanjutnya memperlihatkan pertentangan arah dan tujuan ideologi masing-masing, ideologi politik Islam diwakili oleh Sarekat Islam dan Persis dan ideologi nasionalis diwakili oleh PNI. Pada awal 1940-an, polemik-polemik di atas berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Polemik-polemik itu menyentuh masalah yang lebih penting, yakni: hubungan politik antara Islam dan negara. Dalam periode ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada tokoh yang begitu sering terlibat dalam berbagai perdebatan kecuali Soekarno (nasionalis) dan Natsir (non-nasionalis).[5]

Perseteruan ideologis antara kelompok Islam dan kelompok Nasionalis baru berlangsung secara penuh dalam pertemuan-pertemuan BPUPKI, yang dilaksanakan antara akhir Mei hingga pertengahan Agustus pada tahun 1945. Seraya menegaskan kembali alur penalaran teologis dan sosiologis sebelumnya, kelompok yang pertama menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi sebuah negara Islam, atau Islam harus menjadi dasar ideologis negara. Sedang kelompok yang kedua, sebagaimana tampak dalam pernyataan Hatta dan Supomo, mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional di mana masalah-masalah negara harus dipisahkan dari masalah-masalah agama. Terlepas dari kuatnya preferensi untuk membangun sebuah negara kesatuan nasional, kelompok nasionalis tetap menegaskan bahwa negara yang demikian itu tidak akan menjadi sebuah negara yang tidak religius.[6]

Perdebatan-perdebatan tersebut baru mereda ketika Soekarno menyerukan agar kedua belah pihak bersedia berkorban. BPUPKI “bersepakat” bahwa masa depan Indonesia merdeka akan didasarkan kepada sila “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Selain itu, mereka juga “menerima” Islam sebagai agama negara, dan bahwa presiden Republik Indonesia harus seorang Muslim.[7]

Periode Pasca revolusi, politik Islam berada dalam zona nyaman dan relative sedikit hambatan. Dengan Masyumi, yang dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar. Untuk alasan itu, pada tahun 1946, Sjahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia) memperkirakan bahwa “jika pemilihan umum diselenggarakan [di sekitar tahun itu], maka Masyumi—yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan Muslim modernis seperti Muhammadiyah dengan jumlah anggota yang besar di wilayah perkotaan, dan ortodoks seperti NU dengan jumlah anggotanya yang bahkan lebih besar lagi di wilayah-wilayah pedesaan akan memperoleh 80% suara.

Penting dicatat bahwa sebagai entitas politik yang bersatu, Indonesia saat itu sangat lemah. Dilihat dari perspektif teori negara, Indonesia saat itu jelas telah jatuh ke “titik terendah dalam hal kemampuannya memperoleh kontrol sosial dan efektivitasnya dalam mendistribusikan sumber-sumber.” Hal ini terlihat dari munculnya beberapa pemberontakan ketika itu seperti pemberontakan Darul Islam (DI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta) yang menyebabkan elite politik Islam di kemudian hari kalah bersaing dengan kelompok nasionalis dalam memegang kendali Negara. Namun, ini bukanlah masalah yang serius, sebab politik Islam ketika itu tetap dominan jika dilakukan pemilu. Situasi revolusioner negara (1945-1949) tidak memungkinkan dilaksanakannya pemilihan umum. Ketika kedaulatan negara diserahan Belanda ke Republik Indonesia, “setiap kabinet menjadikan pemilihan umum untuk menyusun Majelis Konstituante sebagai bagian penting dari program-programnya.”[8]

Sesungguhnya, faktor utama yang menyebabkan tertundanya penyelenggaraan pemilihan umum ketika itu yang paling penting adalah ketakutan para elite negara dan partai, khususnya mereka yang berasal dari kelompok nasionalis, bahwa pemilihan umum dapat digunakan oleh kalangan Islam untuk menyusun dukungan rakyat guna merealisasikan gagasan negara Islam.

Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya Presiden Soekarno, dengan dukungan tentara, yang rupanya telah dicanangkannya sejak lama, memberinya kekuatan eksekutif yang kuat untuk mengontrol negara. Secara simbolik elite politik Islam berhasil dikalahkan. Dan di balik kekalahan simbolik tersebut, selama masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi legalistik/formalistik gagasan dan praktik politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai menunjukkan implikasi-implikasi bawaannya yang lebih negatif. Kecuali NU, yang segera menata kembali orientasi politiknya.

Dengan naiknya rezim Orde Baru menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965, kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan mulai berharap besar kembalinya dominasi politik Islam. Tetapi rezim Orde Baru tidak menghendaki merehabilitasi Masyumi. Dilaporkan bahwa, dalam upaya memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Pada desember 1966 kelompok militer menyatakan bahwa mereka akan mengambil langkah-langkah tegas menentang siapa saja, dari kelompok mana saja, dan dari aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap sejumlah pemberontak dan upaya untuk mendirikan negara Islam.[9] Melihat kenyataan ini, representasi politik para pemimpin Masyumi di masa Orde Baru hanya dapat terjamin jika mereka bersedia mendefinisikan kembali agenda politik mereka dalam kerangka kerangka yang lebih dapat diterima pemerintah.

Dengan hasil pemilihan umum 1971, kekuatan Islam politik makin merosot. Ini sebagian disebabkan karena, lewat langkah-langkah yang benar-benar sudah ditata, rezim Orde Baru berhasil menciptakan “kondisi-kondisi yang sangat tidak mengenakkan bagi partai-partai politik. Akhirnya Golkar sebagai partai memihak pemerintah berhasil memperoleh kemenangan mutlak dalam pemilihan umum 1971 dengan mengantongi 62, 80% suara. Karena relatif tidak terkena intervensi luar, NU berhasil mengantongi 18,67% suara, sedikit lebih baik dari perolehan suara mereka dalam pemilihan umum 1955 (18,4%). Namun Parmusi, yang seringkali dipandang sebagai penerus Masyumi, benar-benar terpuruk dengan hanya mengantongi 5,36% suara (pada 1955, Masyumi memperoleh 20,9% suara). Dua partai Islam lain yang lebih kecil (PSII dan Perti) juga kehilangan dukungan. Pada pemilihan umum 1955, keduanya memperoleh 2,9% dan 1,3% suara, sedang pada 1971 hanya memperoleh 2,39% dan 0,70%. Langkah-langkah tersebut di antaranya:
  • Orde Baru melakukan restrukturisasi sistem kepartaian pada Januari 1973. Dengan pengecualian Golkar, pemerintah mendesak agar kesembilan partai yang ada bergabung ke dalam dua partai politik baru. Dalam kerangka ini, keempat partai Islam bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lima yang lainnya, yang pada dasarnya terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen, digabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
  • Orde Baru menekan semua organisasi kemahasiswaan dan organisasi sosial-kegamaan untuk mengambil langkah serupa. Ketika undang-undang keormasan dikeluarkan pada 1985, organisasi-organisasi kemahasiswaan dan sosial-kegamaan Islam seperti—hanya untuk menyebut beberapa nama—NU, Muhammadiyah, MUI, HMI, PMII, harus menerima Pancasila sebagai asas organisasi mereka.[10]
3. Tiga Intelektualisme Baru Politik Islam di Indonesia

Kemunculan intelektualisme Islam baru dapat dipandang mewakili suatu upaya yang memberi harapan dalam rangka memperbaiki keretakan hubungan antara Islam dan negara. Kiprah intelektual tersebut dipelopori oleh sebuah generasi baru para pemikir dan aktivis Islam yang, sejak awal dekade 1970-an, berusaha mengembangkan sebuah format baru politik Islam di mana substansi, bukan bentuk, menjadi orientasi utama. Ketika itu, prinsip-prinsip pokok idealisme dan aktivisme baru ini dapat dikategorikan berkisar pada tiga wilayah penting berikut: (1) pembaruan teologis/religius; (2) reformasi politik/birokrasi; dan (3) transformasi sosial.[11]
  • Pembaruan Teologis/Keagamaan: Seruan Desakralisasi, Reaktualisasi dan Pribumisasi. Dawam Rahardjo, salah seorang tokoh penting dalam gerakan intelektual Islam baru, “ia dalam dirinya sendiri bukanlah sebuah ideologi.” Dengan demikian, “[sebuah] ‘Ideologi Islam’ tidak pernah ada.” Djohan Effendi, tokoh lain yang juga menonjol perannya dalam intelektualisme Islam baru, menyatakan bahwa Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mempromosikan sebuah negara Islam.
  • Reformasi Politik/Birokrasi: Menjembatani Jurang Ideologis antara Islam Politik dan Negara. Para intelektual Muslim yang mendukung posisi ini berkeyakinan bahwa masalah tidak mesranya hubungan antara Islam politik dan negara, juga implikasi-implikasinya yang dirasakan para politisi Muslim, dapat perlahan-lahan diatasi dengan secara langsung melibatkan diri dan berpartisipasi dalam arus utama proses-proses politik dan birokrasi negara.
  • Transformasi Sosial: Memperagam Makna Politik Islam aliran intelektual ini pada intinya menyerukan; dicamkannya makna yang lebih luas dari politik, mencakup program-program, strategi-strategi dan lapangan-lapangan bermain yang lebih beragam, mensintesiskan dimensi keislaman dan keindonesiaan, dan dipupuknya hubungan-hubungan yang lebih bermanfaat dengan negara. 
4. Implikasi Intelektualisme Islam Baru; Gagasan dan Praktik

Tujuan-tujuan sosial-politik Islam yang baru didefinisikan kembali itu, terutama gagasan tentang keharusan mengembangkan tatanan politik yang lebih egalitarian, dimaksudkan untuk mengatasi kemunduran politik di atas. Sebagaimana tercermin dalam diskursus intelektual generasi baru para pemikir dan aktivis Muslim itu, seluruh usaha mereka diarahkan untuk memasuki kembali panggung politik nasional. Sedikitnya ada dua unsur strategis yang terkandung dalam tujuan-tujuan politik yang baru didefinisikan kembali itu.

Pertama, dari perspektif yang berorientasi nilai, gagasan tentang tatanan politik yang egalitarian atau demokratis mencerminkan prinsipprinsip dasar politik Islam yang harus diterapkan (yaitu al-‘adl, almusâwâh, syûrâ). Terlepas dari kenyataan bahwa prinsip-prinsip itu mewakili idealisme politik Islam, namun tujuan politik yang ingin dicapai itu sendiri tidak dipandang sebagai ancaman atau gangguan terhadap konstruk “kesatuan nasional” negara-bangsa Indonesia—berbeda dari aspirasi-aspirasi politik Islam sebelumnya, di mana paham negara Islam atau ideologi Islam merupakan butir utamanya.

Kedua, dari perspektif yang berorientasi tujuan, dengan mengedepankan tujuan sosial-politik serta menolak gagasan negara Islam atau ideologi Islam, tokoh-tokoh generasi baru intelektualisme Islam di atas telah mempermudah jalan bagi berlangsungnya integrasi di kalangan arus utama politik nasional, dan karena itu, setidaknya secara teoretis, memperbesar peluang dan kesempatan bagi para partisipannya untuk terlibat sepenuhnya dalam diskursus politik di Indonesia. Dan itu pada akhirnya akan membuat mereka terwakili secara proporsional, baik pada tingkat parlemen maupun eksekutif (birokrasi). Kata Amien Rais, tujuan sosial politik itu akan memperlebar kemungkinan bagi para pemimpin aktivis Islam politik dewasa ini untuk punya suara dalam menentukan masa depan Indonesia.[12]

5. Tinjauan Kembali Pendekatan Politik Islam

Pendekatan politik Islam dewasa ini, seperti yang belakangan dikembangkan oleh generasi baru kaum intelektual dan aktivis Muslim, cenderung semakin inklusif atau integratif. Watak inklusif atau integratif pendekatan tersebut khususnya tampak dalam (1) cara para pemikir dan aktivis Islam politik sekarang mengekspresikan gagasan sosial-politik mereka; dan (2) bagai-mana mereka berupaya merealisasikan tujuan-tujuan sosial-politik Islam.

Sejalan dengan usaha-usaha yang tak kenal lelah dari generasi intelektual Muslim saat itu untuk mendefinisikan kembali tujuan-tujuan sosial-politik Islam, dengan agenda yang lebih inklusif dan pragmatis. Sehubungan dengan itu, aspirasi-aspirasi politik Islam dirancang sedemikian rupa sehingga mereka tidak harus berbenturan dengan masyarakat Indonesia en masse. Pada gilirannya, ini diharapkan dapat menjamin hubungan yang relatif mudah antara keislaman dan keindonesiaan.

Oleh karenanya, generasi baru para intelektual Muslim seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Adi Sasono, Ahmad Syafii Maarif, Kuntowijoyo dan M. Amin Rais untuk menyebut hanya sebagian dari mereka tidak menyepakati dikumandangkannya tujuan-tujuan sosial-politik Islam dalam cara yang formalistik dan legalistik. Sebaliknya, mereka lebih tertarik kepada masalah-masalah yang memiliki dampak yang lebih nyata bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Di sisi lain, generasi aktivis Muslim yang lebih muda menyadari bahwa, agar pendekatan politik kepartaian itu bisa berjalan efektif, diperlukan transformasi mendasar khususnya dalam hal rumusan agenda serta model afiliasi kepartaian Dalam hal ini, ada orang-orang yang memilih bekerja di bawah bendera partai politik Islam seperti PPP. Di sisi lain, ada orang-orang yang memutuskan untuk berafiliasi secara politik dengan partai yang berkuasa, yaitu Golkar. bahkan ada yang mulai bergabung dengan PDI.[13]

6. Dukungan dan Hambatan Intelektualisme Baru Politik Islam di Indonesia

Tujuan utama intelektualisme Islam baru adalah mengembangkan sintesis yang pas antara Islam dan negara. Sementara dapat dikatakan bahwa seluruh pendukung intelektualisme Islam baru sama-sama menyepakati tujuan utama di atas, strategi dan taktik yang dikembangkan mereka dalam mencapai tujuan tersebut amat beragam. Pada satu sisi, para pendukung aliran pembaruan teologis/religius dan reformasi politik/birokrasi memberi penekanan perhatian kepada negara, menyuarakan sejenis kerjasama dalam tingkat tertentu dengan negara. Pada sisi lainnya, para pembela aliran transformasi sosial memfokuskan perhatian mereka kepada penguatan posisi masyarakat, baik secara sosialekonomi maupun politik.

Terutama karena perbedaan-perbedaan di atas, maka masingmasing aliran intelektualisme Islam baru tersebut harus berhadapan dengan sumber-sumber dan hambatan-hambatan yang berbeda. Mau tidak mau, kenyataan ini menimbulkan dinamisme internal dalam gerakan ini, yang pada gilirannya memunculkan pertanyaan sekitar keuntungan komparatif masing-masing kecenderungan intelektual; dan kecocokannya satu sama lain dalam mencapai tujuan pokok bersama.

Adapaun hambatannnya nampak dalam gerakan pembaruan teologis/religius yang dinilai sumber kontroversi keagamaan dan juga bukti yang menunjukkan sudah demikian merosotnya tingkat keberagamaan sejumlah kaum Muslim di Indonesia. Selain itu, ketidakmudahan ini tambah diperburuk oleh berbagai istilah yang digunakan oleh tokoh-tokoh gerakan pembaruan dalam memperkenalkan agenda mereka (misalnya sekularisasi, desakralisasi, pribumisasi, kontekstualisasi, dan reaktualisasi). Terutama karena alasan di atas, maka para kritikus secara umum menilai gerakan pembaruan teologis/religious ini tengah mempropagandakan sekularisasi, dan menghancurkan watak holistik Islam.[14]

7. Akomodasi Negara; Sebuah Harapan atau Hanya Politik?

Idealisme dan aktivisme para politisi Muslim generasi awal dicirikan oleh formalisme dan legalisme. Perwujudan terpenting gagasan dan aksi tersebut adalah aspirasi para aktivisnya untuk mendirikan sebuah negara Islam, atau sebuah negara yang berlandaskan ideologi Islam. Kegagalan mencapai tujuan itu, yang sebagiannya disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak semua kaum Muslim mendukungnya, mengakibatkan berlangsungnya hubungan politik yang tidak mudah antara Islam dan negara di Indonesia. Hubungan politik yang tidak mudah itu berdampak luas. Puncaknya, akses para politisi Muslim ke koridor kekuasaan menyusut drastis dan posisi politik mereka pun anjlok terutama sepanjang 25 tahun pertama berkuasanya rezim Orde Baru.

Situasi politik yang suram semacam itulah yang ingin diatasi oleh generasi baru pemikir dan aktivis Muslim yang muncul pada awal 1970-an. Yang menjadi penekanan mereka adalah upaya mentransformasikan idealisme dan aktivisme para politisi Muslim awal yang bercorak legalistik-formalistik dan eksklusif menjadi suatu pendekatan politik yang lebih substantif dan integratif. Harapan-harapan semacam itu kini tampaknya mulai menjadi kenyataan. Salah satu bukti yang menunjukkan perkembangan baru tersebut adalah melunaknya politik negara terhadap Islam selama beberapa tahun terakhir, yang ditandai oleh diterapkannya sejumlah kebijakan negara yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik Islam. Bahtiar Effendy dalam penelitian ini menilai bahwa berubahnya sikap negara terhadap Islam politik disebabkan oleh transformasi intelektual gagasan dan praktik politik Islam itu sendiri. Tanpa transformasi intelektual tersebut, yakni jika para politisi Muslim masih tetap menyuarakan gagasan negara atau ideology Islam, sulit dibayangkan bahwa tanggapantanggapan akomodatif itu akan muncul sekarang.[15]

Bukti-bukti yang menunjukkan tumbuhnya sikap akomodatif negara terhadap Islam mencakup diterapkannya kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik kaum Muslim. Jika dikategorikan secara luas, bukti-bukti akomodasi itu bisa digolongkan ke dalam empat jenis yang berbeda: (1) akomodasi struktural; (2) akomodasi legislatif; (3) akomodasi infrastrukural; dan (4) akomodasi kultural.[16]

8. Tinjauan Integratif Politik Islam di Indonesia 

Islam politik yang berlangsung dewasa ini telah menemukan sebuah format baru. Ciricirinya yang utama, yang mencakup (1) landasan teologis, (2) tujuan, dan (3) pendekatan Islam politik, dipandang sama dan sebangun dengan konstruk negara kesatuan nasional Indonesia. Dalam hal landasan teologisnya, format baru Islam politik ini tidak membutuhkan kaitan legalistik atau formalistik antara Islam dan negara (atau politik pada umumnya). Sejauh negara, baik secara ideologis maupun politis, berjalan di atas sebuah sistem nilai yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, maka cukup bagi para politisi Muslim untuk menyatakan loyalitas dan dukungan mereka terhadapnya. Ini menjadikan mereka dapat menerima Pancasila yang, dalam pernyataan mereka sendiri, sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.

Dalam hal tujuannya, juga sangat jelas bahwa Islam politik tidak lagi mengaspirasikan pembentukan sebuah negara Islam. Melainkan, berdasarkan pemahaman mereka terhadap baik ajaranajaran Islam maupun corak sosiologis masyarakat Indonesia yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam rangka pembangunan sebuah sistem sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan dengan, prinsip-prinsip umum nilai-nilai politik Islam, termasuk keadilan, musyawarah, egalitarianisme dan partisipasi. Akhirnya, sebagai pendekatan untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, Islam politik tidak lagi menekankan upaya-upayanya. Dalam politik partisan dengan parlemen sebagai arena perjuangan yang utama. Melainkan, Islam politik dalam format baru itu memperluas dan meragamkan mekanisme politiknya yang mencakup berbagai organisasi non-pemerintah seperti NU, Muhammadiyah, dan banyak lagi organisasi swasta lainnya. Lebih dari itu, mereka juga ikut bermain dalam partai Golkar yang berkuasa dan partai-partai politik lainnya. Bukti yang memperlihatkan perkembangan baru ini adalah sikap negara yang mulai tampak ramah terhadap Islam, yang ditandai oleh diterapkannya kebijakan-kebijakan tertentu yang dipandang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi, cultural dan politik kaum Muslim.[17]

9. Politik Islam di Indonesia setelah Soeharto

Satu bahasan terakhir dari Buku Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia ialah sebuah epilog yang menyajikan bahasan politik Islam setelah era kepemimpinan Presiden Soeharto. Kajiannya memuat gambaran hubungan politik Islam dan Negara hingga kini serta beberapa fenomena menariknya di dalamnya berupa eksistensi politik Islam dalam pemilu dan munculnya berbagai partai, baik yang bernuansa Islam maupun yang nasionalis.

Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto melepaskan kekuasaan yang telah digenggamnya selama 32 tahun. Mundurnya Soeharto sebagai presiden ke-2 Indonesia melahirkan dampak yang amat besar dan luas. Euforia publik muncul di mana-mana, dan dengan demikian telah meruntuhkan kesakralan dan keberjarakan wilayah politik. Dengan demikian, secara cukup tiba-tiba, politik menjadi sebuah ruang publik di mana setiap orang merasa bahwa mereka memiliki hak untuk terlibat di dalamnya. Salah satu indikasi yang paling mencolok dari relaksasi atau liberalisasi politik ini adalah munculnya partai-partai politik dalam jumlah yang luar biasa banyak. Ketika itu, muncul 181 partai politik di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 42 di antaranya dapat dikategorikan sebagai partai-partai Islam karena menggunakan Islam sebagai simbol atau asas ideologi mereka. Perkembangan semacam itu menimbulkan keprihatinan dan kekhawatiran bukan hanya dari kelompok non-Muslim, tetapi juga dari banyak kalangan Muslim. Seperti pada masa lalu (era 1950-an), demokrasi memberi banyak peluang bagi kaum Muslim untuk menghimpun dan mengartikulasikan kepentingan mereka.

Dari segi pemilu yang diselenggarakan secara demokratis, negeri ini baru mengalami dua kali pemilu, yaitu pada Juni 1999 ketika masa kepresidenan Habibie dan pada 1955 pada masa pemerintahan di bawah Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Namun demikian, sejak 1971 hingga 1997, rezim Orde Baru telah melaksanakan enam kali pemilu secara berkala—setiap lima tahun sekali. Perbedaan utama antara rangkaian pemilu tersebut dan dua pemilu yang disebut terdahulu ialah pemilu selama masa Orde Baru dilaksanakan dalam suasana yang tidak kompetitif di mana intimidasi, tekanan, penipuan dan kecurangan menjadi bagian integral dari pesta politik tersebut. Dalam situasi seperti ini, partai Golkar yang berkuasa selalu tampil sebagai pemenang, dan menjadi satusatunya kekuatan politik yang dominan.[18]

Persepsi bahwa demokrasi akan secara otomatis membuahkan realisasi kepentingan politik Islam terbukti keliru dalam sejarah politik Indonesia modern. Ketika pemilu pertama diadakan pada 1955, imajinasi politik kaum Muslim dipenuhi dengan sikap politik-keagamaan semacam itu. Menyadari kenyataan bahwa 90 persen penduduk Indonesia adalah Muslim, mereka percaya bahwa suara terbanyak akan mengalir ke partai-partai politik berbasiskan Islam seperti Masyumi, Nahdlatul Ulama, PSII dan Perti. Kenyataanya keempat partai hanya memperoleh 43,5% suara. Analisis menunjukkan bahwa kalangan sekularis, nasionalis dan politisi abangan juga menganut sudut pandang politik keagamaan seperti itu.

Kenyataan di atas yang menunjukkan politik Islam sebagai mayoritas tetapi menunjukkan ketidaksesuaian dalam pemilu disebut dengan politik aliran yang dikembangkan oleh Clifford Geertz dan Robert Jay.[19] Politik aliran masih sangat hidup selama tiga pemilu pertama (1971, 1977, dan 1982) yang diselenggarakan pada masa pemerintahan Orde Baru. Partai-partai Islam berhasil meraih 27,11% (1971), 29.29% (1977), dan 27.78% (1982) suara. Menyusul penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi-organisasi sosial-keagamaan dan politik pada 1984, semangat aliran pelan-pelan terkikis setidaknya dalam pengertian legal dan formal. Hal ini Nampak pada banyak tokoh Muslim yang mengafiliasikan diri mereka dengan partai penguasa, Golkar, terutama sejak 1980-an. Hasilnya, selama tiga pemilu berikutnya, partai Islam PPP yang telah dipaksa untuk mengubah asas dan simbol keislamannya—menderita kekalahan yang signifikan. Dalam tiga pemilu berikutnya, PPP hanya dapat meraih 15,97% (1987), 17,0% (1992), dan 22,43% (1997) suara.

Selanjutnya, pada tahun 1999, terdapat 20 partai politik Islam berpartisipasi dalam pemilu demokratis kedua. Dari jumlah tersebut, hanya 10 partai Islam yang berhasil memperoleh satu atau lebih dari satu kursi di DPR, yaitu PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), PBB (13 kursi), PK (7 kursi), PNU (5 kursi), PP (1 kursi), PSII (1 kursi), PPII Masyumi (1 kursi), dan PKU (1 kursi). Sekali lagi, hasil pemilu tahun 1999 mengindikasikan bahwa terlepas dari kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, namun partai-partai Islam tidak mampu untuk meraih dukungan mayoritas. Jika dijumlahkan, dalam pemilu demokratis kedua ini, mereka hanya berhasil memperoleh 37,5% suara (172 kursi), termasuk PKB dan PAN, yang enggan diidentifikasi sebagai partai Islam. Tanpa dua partai ini (PKB dan PAN), partai-partai Islam hanya meraih 17,8% suara (87 kursi).20]

Buruknya kinerja partai-partai Islam dan fakta bahwa partai-partai non-Islam memperoleh 62,5% suara (290 kursi) telah digunakan sebagai alasan bagi sebagian kalangan untuk berpandangan bahwa politik aliran telah kehilangan arti pentingnya dalam perpolitikan Indonesia pasca-Soeharto. Menurut Bahtiar Effendy, ada dua faktor penting yang dapat membantu kita memahami hasil yang mengecewakan pada pemilu 1999 bagi kelompok-kelompok politik Islam.

Pertama, argumen bahwa orientasi keagamaan akan secara otomatis terwujud dalam afiliasi politik mengandung kelemahan mendasar. Sudut pandang ini tidak pernah terwujud sepanjang sejarah politik Indonesia. Hal ini memerlukan pemahaman yang memadai tentang karakter demografis dan orientasi sosial-budaya dan politik pemilih. Demikian pula diperlukan pemahaman terhadap psikologi publik mengingat bangsa ini mengalami perubahan sosial-ekonomi dan politik yang tidak menentu. Mengandalkan agama sebagai sumber daya politik untuk memobilisasi pendukung mungkin tidak mesti berguna.

Kedua, kendati keliru jika partai-partai Islam dilihat dari perspektif masa lalu, namun tetap menjadi kenyataan bahwa stigma sejarah masih menghantui pemilu tahun 1999. Ketidakmampuan partai-partai Islam untuk mengartikulasikan diri mereka dengan cara yang berbeda dari partai-partai non-Islam lainnya hanya memperkuat stigma tersebut. Karena itu, keberadaan partaipartai politik Islam itu semata akan selalu disamakan dengan ide tentang negara Islam atau dimasukkannya syariah Islam ke dalam sistem hukum di negeri ini.[21] Sejauh mereka beraneka-ragam dan tidak mampu mengekspresikan dan mengartikulasikan ide tentang Islam politik dari sudut kepentingan publik, maka partai-partai politik Islam akan sangat sulit untuk menjadi kekuatan dominan dalam panggung politik Indonesia.

by: Hasrul (Mahasiswa UIN Jakarta)

ENDNOTE


[1] Idris Thaha, Hubungan  Islam  dan Politik yang  Mungkin  di Indonesia, Studia  Islamika; Indonesian Jurnal for Islamic Studies,  Vol. 13, No.  2, 2006, h. 332.
[2] C.A.O. Van Nieuwenhuijze, “Islam and National Self-Realization in Indonesia,”  h. 152.
[3] Donald K. Emmerson, Islam in Modern Indonesia: Political Impasse, Cultural Opportunity dalam Change and the Muslim World (Syracuse: Syracuse University Press, 1981), h. 159-168.
[4] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), Edisi Digital, h. 78.
[5] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), Edisi Digital, h. 85.
[6] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia , h. 101.
[7] B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, h. 33
[8] Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, h. 273
[9] Allan Samson, “Islam in Indonesian Politics (Asian Survey, No. 12, Vol. VII, Desember 1968), h. 1005.
[10] Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986; Saleh Harun dan Abdul Munir Mulkhan, Latar Belakang Ummat Islam Menerima Pancasila Sebagai Asas Tunggal, Yogyakarta: Aquarius, 1987; Bahtiar Effendy, “The ‘Nine Stars’ and Politics,”  hh. 58-128
[11] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), Edisi Digital, h. 150.
[12] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 233-234.
[13] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 267.
[14] Nurcholish Madjid et al., Pembaharuan Pemikiran lslam (Jakarta: Islamic Research Center, 1970, hh. 13-72.
[15] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 318-319.
[16] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 319-320.
[17] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 390-391.
[18] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 422, Lihat juga Oey Hong Lee, Indonesia After the 1971 Elections.
[19] Clifford Geertz, The Social History of an Indonesian Town, Cambridge: MIT, 1965.
[20] Leo  Suryadinata, Elections  and  Politics  in  Indonesia,  h.  106.
[21] Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (eds.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra Pemilu sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, 1999.

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.