Articles by "Ikhtilaful Hadis"

Tampilkan postingan dengan label Ikhtilaful Hadis. Tampilkan semua postingan

SQ BLOG - setelah admin sebelumnya share 5 Hadis Palsu Seputar Ramadhan, dan tentu masih banyak hadis-hadis palsu yang lain, kali ini admin akan share terkait dengan hadis-hadis seputar keutamaan ramadhan.

Admin juga telah menyusun hadis-hadis tersebut dalam bentuk PDF yang sobat dapat download. Admin memberinya judul Hadis-hadis Shahih dan Makbul tentang Keutamaan Seputar Ramadhan; Disarikan dari Hadis Nabawi dan Hadis Qudsi.

Dalam uraian tersebut dan juga dalam postingan kali ini, admin utarakan 19 Fadhilah seputar bulan Ramadhanh sehingga diberi judul "19 Hadis Shahih dan Makbul Seputar Keutamaan Ramadhan"

Sungguh pun demikian, hadis-hadis yang terdapat di dalamnya tidak hanya 19 saja, karena terdapat penyebutan beberapa hadis dalam satu fadhilah/keutamaan. Penyebutan 19 Hadis dalam judul postingan ini hanya untuk menunjukkan 19 tema umum atas kategori keutamaan dari hadis-hadis tersebut.

Sobat, langsung simak aja ulasannya di bawah ini:

Untuk bekal pengajaran ataupun dakwah silahkan download pada link di bawah:

LINK 1LINK 2

Postingan ini telah kami update dengan nama: 30 Hadis Makbul seputar Fadhilah Puasa.
 
SEKIAN
SEMOGA BERMANFAAT

SQ Blog - Pemikiran Abu Rayyah yang banyak mengkritisi hadis sebagaimana yang ia kemukakan dalam bukunya ‘Adwa ala As-Sunnah mengantarkannya dalam golongan Inkar Sunnah, yaitu golongan yang menginkari Hadis Nabi Saw sebagai hujjah dan sumber kedua ajaran Islam. Ia termasuk golongan Inkar Sunnah Modern dari Mesir yang disejajarkan Tawfiq Shidqiy (w. 1920 M), Ahmad Amin (w. 1954 M), Ahmad Subhi Mansur dan Musthafa Mahmud. Jika mengikuti pembagian Inkar Sunnah oleh Al-Syafi’i,[1] Abu Rayyah masuk dalam kelompok yang mengingkari sunnah secara keseluruhan.

Ingkar Sunnah menurut Imam Al-Syafi’i terbagi tiga kelompok;[2]
  1. Golongan yang menolak Sunnah secara keseluruhan,
  2. Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnnah itu sesuai dengan petunjuk al-Quran,
  3. Golongan yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad mereka hanya menerima Sunanh yang berstatu mutawatir.
Secara spesifiknya pemikiran Abu Rayyah sebagai berikut:
  1. Al-Sunnah dan posisinya dalam ajaran agama, menurut Abu Rayyah, As-Sunnah sebagai pedoman hidup manusia yang menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an, Abu Rayyah membagi Al-Sunnah kepada dua bagian: Pertama, Al-Sunnah Al-‘amaliyyah. Kedua, As-Sunnah Al-qauliyyah. Adapun al-Sunnah al-qauliyyah, Abu Rayyah menjadikannya pada derajat ketiga dari agama, berada dibawah al-Sunnah al-‘amaliyyah;
  2. Tadwin Hadis, Abu Rayyah menyatakan bahwa pencatatan tekstual literatur hadis tidak dapat dipercaya, dengan menekankan bahwa pencatatan itu dilakukan jauh setelah hadis muncul. 
  3. ‘Adalah al-sahabah, menurut pandangan Abu Rayyah yang harus diteliti tidak hanya level bawah sahabat tetapi di semua tingkatan, sahabat juga tidak bisa terlepas dari tarjih.
  4. Salah satu sahabat yang terkena tarjih atau yang banyak dikritik oleh Abu Rayyah dalam bukunya adalah Abu Hurairah, menurut Abu Rayyah: Abu Hurairah namanya banyak dan tidak jelas asal muasalnya, motivasi kedekatannya dengan Nabi adalah hanya untuk mengenyangkan perutnya, rakus, terlambat masuk Islam, dan banyak meriwayatkan hadis dari pada sahabat Nabi lainnya dengan waktu yang sangat singkat. Pada masa Mu’awiyyah, ia menulis hadis dengan tujuan politik dan ia seorang mudallis. Hal ini menyebabkan menurut Abu Rayyah, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah harus diteliti kembali.
Urian lebih lanjut dari pemikiran Abu Rayyah di atas, dapat sobat baca pada link di bawah ini: (Proses)
  1. Posisi Hadis menurut Abu Rayyah
  2. Tadwin Hadis dalam Kacamata Abu Rayyah
  3. 'Adalah al-Shabah dalam Pandangan Abu Rayyah
  4. Kritikan Abu Rayyah terhadap Sahabat Abu Hurairah
ENDNOTE

[1] Imam Al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis (Kairo: Da’r al-Ma’arif, 1393 H), Juz 7, h. 7-12
[2] Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar Sunanh  (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 132; Lihat juga, Muh. Munib, Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah; “Telaah Atas Kitab Adwa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah”, Skripsi; Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2012, h. 20; Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa ‘Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa, Jurnal Studia Islamika, UIN Sunan Kalijaga, Vol. 9, No. 2, h. 274.

SEKIAN - SEMOGA BERMANFAAT
SQ BLOG

SQ Blog - Diantara karya Mahmud Abu Rayyyah yang fenomenal, yaitu ‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Sorotan tentang Sunnah Nabi Mukammad) yang terbit tahun 1958 M, sekitar 395 halaman. Latar belakang penulisan kitab ini dilatar belakangi oleh semangat modernisasi Abu Rayyah untuk mengubah keadaan umat Islam pada waktu itu, yang terlelap oleh sikap jumud. Hal inilah yang membuatnya merasa perlu adanya penelitian terhadap hadis tanpa perlu secara otomatis tunduk atau patuh mengikuti teori-teori para ulama sebelumnya (mutaqaddimin), dengan menerobos taqlid yang menurutnya hal inilah yang menyebabkan kemunduran dalam Islam.[1]

Kitab ini merupakan hasil kajian dan penelitiannya mengenai sejarah Sunnah, keraguan-raguannya terhadap keshahihannya dan pandangannya yang mengecilkan arti penting Sunnah di mata umat Islam.[2] Abu Rayyah memang menjadikan sejarah sebagai pendekatan dan pisau analisis dalam menjelaskan jati diri hadis. Namun pada akhirnya, buku ini justru menyulut kemarahan para ulama hadis karena pemikiran Abu Rayyah yang tertuang di dalam bukunya dinilai bersebrangan, terutama pembahasan mengenai Abu Hurairah. Sehingga mereka tergugah untuk memberikan tanggapan dan sanggahan atas tuduhan-tuduhan di dalamnya.[3]

Abu Rayyah dalam bukunya tersebut menyajikan satu bab khusus untuk yang memuat kritikannya terhadap Abu Hurairah yang kemudian menjadi satu buku tersendiri yang berjudul “Syekh al-Madi’rah; Abu Hurairah” (شيخ المضيرة: أبو هريرة).[4] Selain itu, buku ini berisi dari beberapa bab diantaranya; membahas tentang sebagian kitab yang diduga atau menurut Abu Rayyah tidak menyampaikan perkataan dan perbuatan Nabi Saw, namun merupakan suatu rekayasa orang-orang yang hidup se-zaman dengan Nabi dan generasi-generasi sesudahnya untuk menciptakan hadis. Lebih jauhnya menurutnya, Hadis Ahad[5] tidak boleh diberlakukan pada komunitas muslim sepanjang zaman.[6] Materi-materi dua buku karya Abu Rayyah tersebut tidak keluar dari sumber-sumber berikut:[7]
  • Pendapat-pendapat imam Mu’tazilah yang dinukil dari mereka;
  • Pendapat-pendapar radikal dari syi’ah yang secara terang-terangan dinyatakan dalam karangan-karangan mereka;
  • Pendapat-pendapat para orientalis yang termuat dalam buku-buku mereka, khususnya Da’irah al-Ma’arif (ensiklopedia) dan Dirasah al-Islamiyyah karya Ignaz Goldziher; dan
  • Cerita-cerita yang disebutkan dalam beberapa buku sastra yang penulisnya diragukan kejujuran dan pengetahuannya akan fakta-fakta
Kitab ‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah menurut Shalahuddin Maqbul Ahmad sangat digemari musuh-musuh Islam, hingga salah satu kedutaan asing di Kairo membeli sebagian besar naskahnya untuk dikirim ke perpustakaan-perpustakaan barat. Hal itu supaya buku tersebut sampai kepada orang-orang yang dendam kepada Islam, Rasul dan para sahabatnya, dan dijadikan sandaran untuk mengeluarkan kebohongan dan kebatilan.[8]

Kitab yang terbit tahun 1958 M tidak lepas dari sorotan dan kritikan para ulama. Tercatat bahwa setelah buku tersebut terbit, bermunculan kurang lebih sembilan buku yang terbit untuk menanggapi kitab ‘Adwa’ tersebut. Di antaranya:[9]
  1. Majallat al-Azhar ditulis oleh seorang profesor di Fakultas Ushuluddin al-Azhar, Muhammad Abu Syuhbah. Namun, Abu Syuhbah tidak menjelaskan alasannya kenapa ia menolak atas pernyataan Abu Rayyah;
  2. Abu Hurayrah fi al-Mizan (1958), ditulis oleh Muhammad al-Samahi dari Fakultas yang sama;
  3. Difa’ ‘an al-Hadits al-Nabawi wa Tafnid Syubuhat Khushumih (1958), ditulis oleh Tim beberapa teolog non-Mesir;
  4. Zhulumat Abi Rayyah Imam Adlqa’ al-Sunah al-Muhammadiyah (1959), ditulis oleh seorang profesor teologi di Mekkah Abd. Al-Razzaq Hamzah;
  5. Al-Anwar al-Kasyifah lima fi Kitab Adlwa’ ‘ala al-Sunnah min al-Dalalah wa al-Tadl’lil wa al-Mujazafah (1959), ditulis oleh seorang sarjana di Mekkah, Abd. Al-Rahman al-Yamaniy;
  6. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy (1961), ditulis oleh Musthafa al-Siba’iy. Isinya mengkritik semua pendapat Abu Rayyah terhadap Abu Hurairah tidaklah diterima karena Abu Rayyah mengutip pendapat dari al-Salabi dan Hamzani yang karyanya tidak dianggap sebagai sumber yang valid untuk mendapatkan data historis;
  7. Abu Hurayrah Rawiyat al-Islam (1962);
  8. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin (1963), ditulis oleh Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, dan
  9. Abu Hurairah dalam berbagai tulisan oleh Muhammad Abu Zahrah. 
Berbagai macam kritikan yang menghujat terhadap pemikiran Abu Rayyah. Menunjukkan bahwa para ulama sangat menjunjung tinggi hadis Nabi dan sangat tidak benci serta menolak terhadap pendapat-pendapat yang tidak menerima dan mencela hadis Nabi Saw (ingkar Sunnah). Menurut Shalahuddin Maqbul Ahmad, isi dari kedua buku Abu Rayyah tersebut, yaitu ‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah au Difa’a al-Hadis dan Syekh al-Madirah; Abu Hurairah menunjukkan seluruh ketidaktahuannya akan hakikat-hakikat tradisi Islam, keterpedayaannya oleh metode ilmiah yang diasumsikannya, kecintaannya akan popularitas murahan, klaim tentang kebebasan berfikir, dan jebakan hawa nafsu orientalis yang menjeratnya.[10]

ENDNOTE

[1] G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), (Bandung : Mizan, 1999), h. 59.
[2] Shalahuddin Maqbul Ahmad,  Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli “Jawabi’ fi Wajhi al-Sunah Qadiman wa Haditsan” (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72
[3] Muhammad Makmun Abha (ed), Yang Membela Dan Yang Menggugat, h. 102.
[4] G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hlm. 91
[5] Hadis Ahad juga popular dengan sebutan khabar wahid, ialah hadis yang tidak sampai ke tingkat mutawatir.
[6] Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah dalam Hunafa. h. 278.
[7] Shalahuddin Maqbul Ahmad,  Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli “Jawabi’ fi Wajhi al-Sunah Qadiman wa Haditsan” (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72, Lihat juga, Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar Sunanh  (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 132-133.
[8] Shalahuddin Maqbul Ahmad,  Bahaya Mengingkari Sunnah, h. 73; Lihat juga, Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunah, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 89-90.
[9] Muh. Munib, Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah, Skripsi; Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2012, h. 22.
[10] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunah (Jakarta: Kencana, 2011), h. 90. Lihat juga, Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli “Jawabi’ fi Wajhi al-Sunah Qadiman wa Haditsan” (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72

SEKIAN

SQ Blog Potong Tangan Pencuri Berdasarkan Kadarnya. Bahasan ini memuat, analisa Hadis-hadis tentang kadar curian dalam potong tangan, Pendapat ulama dalam ketentuan potong tangan, Pemahaman Ikhtilaf al-Hadis.

Salah satu konsep ajaran Islam ialah menjunjung tinggi hak asasi manusia dan hak kepemilikan. Islam menuntut umatnya untuk giat bekerja dan memberikan rasa aman dalam setiap aktivitasnya. Jaminan keamanan tersebut dimaksudkan agat setiap orang tidak bermalas-malasan dan menikmati sesuatu tanpa kerja keras. Syariat Islam melindungi darah, harga diri dan harta manusia dengan segala cara yang dapat membuatnya terhindar dari orang-orang yang merusak. Salah satunya dengan memberikan sanksi potong tangan bagi setiap pencuri tanpa pandang bulu. 

Mengambil milik orang lain mempunyai banyak bentuk, seorang anak kecil yang mengambil permen kemudian lari dan pemilik toko tidak berhasil menangkapnya disebut ikhtithaff/jambret. Seseorang yang mengambil milik orang lain dengan paksa dinamakan ightishab. Sedang ikhtilas/penggelapan adalah orang yang dipercaya untuk menjaga harta kemudian mengambil secara diam-diam dari harta tersebut.

Adapun mencuri ialah mengambil secara sembunyi-sembunyi barang berharga milik orang lain yang disimpan oleh pemiliknya pada tempat yang wajar dan tidak di isinkan untuk memasuki tempa tersebut. Pelaku pencurian disebut al-Shariq (السارق). Menurut Qurais Shihab dalam tafsirnya, kata al-Shariq memberi kesan bahwa yang bersangkutan telah berulang-ulang kali mencuri.[1]

Di zaman nabi Musa a.s, sesorang menjadi budak jika ketahuan mencuri. Sementara pada zaman nabi Yusuf a.s berdasarkan ketentuan yang berlaku di kerajaan saat itu, yaitu mengganti barang yang dicuri senilai dua kali lipat. Pada kasus lain, nabi Yusuf a.s menyuruh saudaranya utuk menentukkan sendiri sanksi yang akan mereka terima, yaitu: maka dia sendirilah balasannya. (Q.S. Yusuf: 75) Sanksi-sanksi inilah yang berlaku dalam syariat Bani Israil kemudian dihapus dengan ayat al-Quran yang menjelaskan tentang hukum potong tangan.[2]

Para ulama memberikan syarat-syarat hadd potong tangan, diantaranya:
  • Pertama, barang yang dicuri di ambil dari tempat penyimpananya yang semestinya. Tempat penyimpanan yang semestinya tentu berbeda tergantung jenis barang, wilayah dan pemerintah;
  • Kedua, tidak ada syubhat. Untuk itu, hadd potong tangan tidak berlaku dalam kasus dimana pencuri ikut memilki harta yang dicurinya;
  • Ketiga, pencuri sudah terbukti berdasarkan pengakuan si pencuri itu sendiri atau berdasarkan kesaksian dua orang saksi yang adil;
  • Keempat, kadar barang yang dicuri.[3]
Para ulama berbeda pendapat sehubungan kadar minimal suatu pencurian yang dikenai hukuman had potong tangan. Ada yang berpendapat bahwa pemotongan tangan dilakukan untuk segala bentuk kejahatan pencurian, baik kadar yang dicuri bernilai rendah atau mahal. Sebagian yang lain menyatakan bahwa harus ada batas minimal nilai barang yang dicuri untuk pelaksanaan hukuman potong tangan. Perbedaan tersebut muncul bukan tanpa sebab melainkan berdasarkan analisa atas nash al-Quran dan khususnya hadis-hadis nabi yang kesemuanya adalah shahih. Topik inilah yang menjadi kajian dalam makalah ini.

A. HADIS PERTAMA; Potong Tangan Walaupun Berupa Telur atau Seutas Tali 

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ ، حَدَّثَنِي أَبِي ، حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ ، قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ. (رواه البخاري) 

Artinya: “Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri telur lalu dipotong tangannya dan mencuri seutas tali lalu dipotong tangannya”.[1] (H.R. Bukhari, No. 6783), Riwayat ini merupakan riwayat Muttafaq ‘Alaih. 

Hadis di atas menyebutkan bahwa bentuk pencurian, walaupun berupa telur ataupun seutas tali tetap diberlakukan had potong tangan. Hadis ini merupakan salah satu dalil yang mengatakan bahwa segala bentuk pencurian dikenakan hukuman potong tangan. Golongan yang berpendapat demikian ialah kalangan Al-Zhahiriyyah. Mereka juga berdalih dengan firman Allah SWT: 

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ﴿ سورة المائدة : ٣٨﴾ 

Artinya: “Pencuri Laki-laki dan perempuan potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Maidah; 38) 

Terkait ayat di atas, Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan melalui jalan Abdul Mu’min dari Najdah al-Hanafi, ia mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Abbas perihal firman Allah (وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا), apakah yang demikian itu bersifat khusus atau umum? Maka Ibnu Abbas menjawab: Ayat itu bersifat umum.[2] Untuk uraian lebih lanjut akan hubungan hadis di atas dengan surah al-Maidah ayat 38 akan dipaparkan pada lembaran berikutnya.

B. HADIS Kedua; Potong Tangan Minimal ¼ Dinar 

أ‌. ) حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ ، عَنِ ابْنِ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ ، عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ وَعَمْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ فِي رُبُعِ دِينَارٍ. (رواه البخاري) 

Artinya: “Tangan pencuri dipotong jika curiannya senilai seperempat dinar”.[1] (H.R. Bukhari, No. 6790). Hadis ini diriwayatkan juga oleh Al-Nasa’i dan Abu Daud. 

ب‌.) حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَابْنُ أَبِى عُمَرَ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ ابْنُ أَبِى عُمَرَ حَدَّثَنَا وَقَالَ الآخَرَانِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنِ الزُّهْرِىِّ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقْطَعُ السَّارِقَ فِى رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا. (رواه مسلم) 

Artinya: “Rasulullah Saw memotong tangan pecuri jika ia mencuri seperempat dinar atau lebih”.[2] (H.R. Muslim, No. 4492) 

Imam Al-Syaukhani menyebutkan dalam kitabnya, Nail al-Authar bahwa hadis ini merupakan riwayat jama’ah kecuali Ibnu Majah. 

ت‌ ) وَحَدَّثَنِى أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى وَحَدَّثَنَا الْوَلِيدُ بْنُ شُجَاعٍ وَاللَّفْظُ لِلْوَلِيدِ وَحَرْمَلَةَ قَالُوا حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِى يُونُسُ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ وَعَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلاَّ فِى رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا. (رواه مسلم) 

Artinya: “Tidak ada pemotongan tangan pencuri kecuali pada (pencurian) seperempat dinar atau lebih ”.[3] (H.R. Muslim, No. 4494), Hadis tersebut diriwayatkan juga oleh imam Ahmad dalam Musnadnya serta Al-Nasa’i dan Ibnu Majah masing-masing dalam Sunanya. 

Maksud matan hadis di atas sama, yaitu bahwa batas minimal ketentuan potong tangan bagi pencuri ialah ¼ dinar. Ulama yang berpendapat demikian memandang bahwa ayat 38 dari surah al-Maidah masih bersifat mutlak, baik secara jenis maupun kadar barang yang dicuri. Hadis sebelumnya mengenai pencurian telur ataupun seutas tali hanya menggambarkan betapa rendahnya akal seorang pencuri yang rela menaggung resiko besar demi sesuatu yang amat kecil nilainya.

Gaya bahasa ini termasuk bagian dari gaya bahasa yang baliigh. Tujuannya untuk menciptkan efek jera dan menggambarkan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang amat terhina.[4]

Jumhur ulama masih mempertimbangkan nishab (batas ukuran) dalam pencurian meskipun di antara mereka juga masih terdapat perbedaan pendapt mengenai batas ukuran tersebut. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa pemotongan tangan pencuri itu adalah dengan batas minimum seperempat dinar atau harga barang yang senilai dengan itu atau lebih. Hadis-hadis di atas merupakan dalil yang menjadi landasan imam Al-Syafi’i atas pendapatnya tersebut.

Para pengikut imam Al-Syafi’i berkata, “hadis-hadis tersebut memberikan penjelasan terhadap masalah tersebut sekaligus menegaskan batas minimum curian, yaitu ¼ dinar dan tidak pada jumlah lainnya”.[5] Adapun batas ukuran menurut pendapat ulama lainnya dan mengenai ketentuan ukuran dinar akan dijelaskan pada pembahasan hadis ketiga, yaitu bagian C.

C. HADIS KETIGA; Potong Tangan Minimal 3 Dirham 

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ ، حَدَّثَنِي مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ ، عَنْ نَافِعٍ مَوْلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَطَعَ فِي مِجَنٍّ ثَمَنُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ. (رواه البخاري) 

Artinya: “Rasulullah Saw memotong tangan pencuri karena mencuri perisai/tameng yang harganya tiga dirham”.[1] (H.R. Bukhari, No. 6795) 

Dalam riwayat lain disebutkan: 

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَطَعَ سَارِقًا فِى مِجَنٍّ قِيمَتُهُ ثَلاَثَةُ دَرَاهِمَ. (رواه مسلم) 

Artinya: “Bahwa Rasulullah Saw pernah memotong tangan seseorang yang mencuri tameng senilai tiga dirham”.[2] (H.R. Muslim, No. 4500) 

Mijan (مِجَنٍّ) dengan huruf mim berharakat kasrah, jim berharakat fathah dan diakhiri dengan nunu adalah perisai. Bentuk jamaknya adalah Majaan. Ia berasal dari kata IJtinaan yang artinya Istitar (menutup) karena perisai digunakan sebagai penutup atau pelindung badan dari senjata musuh pada saat perang. Secara umum, hadis di atas menginformasikan bahwa pada masa Rasulullah Saw pernah ada seseorang yang mencuri perisai/tameng yang harganya tiga dirham kemudian dipotong tangannya. Sehubungan hal ini, pernah ditanyakan kepada Aisyah, Berapa harga sebuah perisai? “Seperempat dinar jawabnya”.

Dengan demikian, hadis ini (bagian C) dengan hadis sebelumnya (bagian B) tidaklah bertentangan karena 3 dirham setara dengan ¼ dinar. Hal ini juga disebutkan dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa pada saat itu, ¼ dinar sama dengan 3 dirham, sehingga 1 dinar sama dengan 12 dirham.[3]

Menurut imam Malik, ketentuan potong tangan bagi pencuri ialah 3 dirham murni. Sehingga, jika seseorang mencuri dalam jumlah tersebut atau barang yang harganya sama dengan itu atau lebih maka harus dipotong tangannya. Hadis di atas merupakan landasan atas pendapat imam Malik tersebut. Adapun imam Ahmad dan Ishaq bin Rawaih nampak memegang kedua pesan hadis di atas, yaitu hadis (bagian b) dan hadis (bagian c). Keduanya berpendapar bahwa batasan syar’i potong tangan bagi pencuri ialah ¼ dinar atau 3 dirham.

Oleh karenanya, barang siapa yang mencuri barang senilai ¼ dinar atau 3 dirham ataupun yang senilai dengannya, tangannya harus dipotong. [4] Kemudian, Adapun Abu Hanifah dan para pengikutnya, Abu Yusuf, Muhammad, dan Zufar serta Sufyan al-Tsauri berpendapat bahwa batas minimum curian itu adalah 10 dirham.[5] Mereka berdalih dengan hadis berikut: 

حَدَّثَنَا عَبْدُ الأَعْلَى ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ ، قَالَ : حدَّثَنَي أَيُّوبُ بْنُ مُوسَى ، عَنْ عَطَاءٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : لاَ يُقْطَعُ السَّارِقُ فِي دُونِ ثَمَنِ الْمِجَنِّ ، وَثَمَنُ الْمِجَنِّ عَشَرَةُ دَرَاهِمَ. (رواه ابن أبي شيبة) 

Artinya: “Tidak ada potong tangan bagi pencuri yang kadarnya kurang dari harga perisai, adapun harga perisai itu ialah 10 dirham ”.[6] (H.R. Muslim, No. 4500) 

Al-Bazzam, dalam Syarah Bulug al-Maram menyatakan bahwa hadis ini dinilai dha’if oleh para ulama meskipun juga memiliki sanad lain yang dinilai hasan oleh Ibnu Hajar.[7] Selain itu, sebagian ulama salaf lainnya berpendapat bahwa tangan pencuri itu tidak dipotong kecuali jika ia mencuri lima dinar atau lima puluh dirham. Pendapat ini dinukil dari Sa’id bin Jubair.[8]

Terdapat perdebatan para ulama mengenai standar atau ketentuan cara menghitung barang yang dicuri dinilai dengan emas atau perak. Imam Al-Syafi’i mengatakan bahwa ukurannya adalah emas karena merupakan pokok semua perhiasan di bumi. Sebagain ulama baghdak menyatakan bahwa ukurannya berdasarkan alat tukar yang biasa berlaku di negeri yang bersangkutan.[9]

Terkait hal ini, imam Sya’rawi meenyatakan dalam tafsirnya, “Lalu bagaimana kita menghitung nilai ¼ dinar saat ini? Dalam tafsirnya disebutkan bahwa dahulu pada zaman nabi, 1 dinar sama dengan 12 dirham sebagaiman juga yang telah disebutkan di atas. Sedang 1 dirham menurut sya’rawi cukup untuk makan satu keluarga. Ini dipahami dari sabda Rasul yang memberi seorang 1 dirham sambil bersabda: “Belilah makanan untukmu dan keluargamu”. Dinar pada masa dahulu adalah emas dan saat ini nilainya telah naik. Menurut Sya’rawi, masa kini, yakni tahun 1999 M ketika menulis tafsirnya 1 dirham kurang lebih 20 Pound Mesir.[10] Sehubungan hal ini juga, Musafa Al-Maraghi dalam tafsinya memberikan konversi seperti berikut: ¼ Dinar atau 3 dirham perak = ¼ emas = 8,145 gram. Berikut harga jual emas (gram) di Jakarta 2013 (Minggu, 6 mei):[1]

WIB
ACUAN
PERUBAHAN
HARGA
8:18
Jual Antam
+Rp1.000
Rp493.000-Rp532.000
8:18
Buyback Antam
+Rp1.000
Rp460.00
8:00
Comex Gold
+US$0,34
US$47,15

D. PEMAHAMAN IKHTILAF AL-HADIS 

Berdasarkan analisa hadis di atas, dapat dipahami bahwa hadis kedua (bagian b) sejalan dan tidak bertentangan dengan hadis ketiga (bagian c). Kedua hadis ini menetapkan bahwa batas minimal had potong tangan bagian pencuri ialah ¼ dinar, yaitu setara dengan 3 dirham. Sebab 1 dinar senilai dengan 12 dirham. Hal ini telah kami uraikan secara rinci pada uraian sebelumnya. Adapun hadis pertama (bagian a) menyatakan bahwa setiap pelaku pencuri, sedikit-banyaknya dikenakan hadd potong tangan. Pendapat ini juga melandaskan dalilnya dengan surah al-Maidah ayat 38. Namun menurut jumhur ulama, ayat tersebut masih bersifat mutlak, baik secara jenis maupun kadar barang yang dicuri.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menguraikan bahwa jumhur ulama telah menjawab pandangan madzhab al-Dhahiri yang memberlakukan hadd potong tangan bagi setiap kasus pencurian dengan berlandaskan hadis Abu Hurairah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ وَيَسْرِقُ الْحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ. (رواه البخاري)

Artinya: “Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri telur lalu dipotong tangannya dan mencuri seutas tali lalu dipotong tangannya”. (H.R. Bukhari, No. 6783), Riwayat ini merupakan riwayat Muttafaq ‘Alaih.

Jawaban tersebut ialah:[1]

1) Hadis tersebut telah di nasakh (dihapus hukumnya) oleh hadis ‘Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ فِي رُبُعِ دِينَارٍ. (رواه البخاري)

Artinya: “Tangan pencuri dipotong jika curiannya senilai seperempat dinar”. (H.R. Bukhari, No. 6790).

Namun, sanggahan ini masih harus ditinjau kembali karena tarikh (masa kejadiannya) harus jelas.

2) Kata (الْبَيْضَةَ) dalam hadis tersebut ditakwilkan dengan topi kepala yang terbuat dari besi; demikian juga seutas tali (الْحَبْلَ) ditakwilkan dengan tali kapal. Menurut Faishal bin Abdul Azis, pensyarah Nail al-Authar, alasan ini tidak sejalan dengan maksud sindiran dalam hadis tersebut. 

3) Pencuriaan itu merupakan merupakan sarana menuju jenjang yang lebih besar, dari jumlah yang sedikit beralih ke jumlah yang lebih banyak lagi yang menyebabkan tangannya dipotong.

Sehubungan hal di atas, Ibnu Qutaibah dalam karyanya, Muhtalif al-Hadis memberikan analisa terkaita hal ini yang nampak menguatkan argumen pertama di atas. Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa ketika turun ayat 38 dari surah al-Maidah, Rasulullah Saw bersabda (لَعَنَ اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ) yang dzahirnya memang sesuai dengan surah al-Maidah ayat 38 ketia itu. Berselang turunnya wahyu tersebut, Allah kemudian mewahyukan (لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلاَّ فِى رُبْعِ دِينَارٍ) kepada nabi. Allah tidak menyampaikan hal tersebut secara serta merta, melainkan secara terperinci.[2] Nabi bersabda:

أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ. (رواه أبو داود)

Artinya: “Aku diberi Al -Qur'an dan yang semisal bersamanya (As Sunnah).[3] (H.R. Abu Daud, No. 4606)

Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa hadis terkait telur dan seutas tali dinasakh dengan hadis yang menyebutkan hadd potong tangan minimal ¼ dinar atau 3 dirham.

ENDNOTE


[1] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Cet. IX, Volume 3, hal. 91-93
[2] Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi (Medan: Duta Azhar, 2006), Cet. I, Jilid 3, hal. 668-669
[3] Al-Bazzam, Syarah Bulughul Maram terj. Thahirin. S, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. I,  hal 315-316
[4] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kairo: Darr al-Sya’ab, 1987), cet. I, juz 8, hal. 198
[5] Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’I, 2007), V, jilid 3, hal. 82
[6] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hal. 199
[7] Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr al-Ji’ll, tt), juz v, No. hal. 112
[8] Muslim, Shahih Muslim, hal. 112
[9] Al-Bazzam, Syarah Bulughul Maram terj. Thahirin. S, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. I,  hal 318-319
[10] Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’I, 2007), V, jilid 3, hal. 82

[11] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Kairo: Darr al-Sya’ab, 1987), cet. I, juz 8, hal. 200
[12] Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr al-Ji’ll, tt), juz v, No. hal. 113
[13] Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’I, 2007), V, jilid 3, hal. 84
[14] Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir terj. M. Abdul Ghoffar, hal. 83
[15] Maraghi, Tafsir Maraghi terj.  Bahrun, dkk. (Semarang: Toha Putra, 1993), cet. II, hal 210
[16] Ibnu Abi Syaibah, Musannaf Ibnu Abi Syaibah,  (Mu’assasah al-Arabiyah), juz ix, hal. 474
[17] Al-Bazzam, Syarah Bulughul Maram terj. Thahirin. S, dkk (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), cet. I,  hal 320
[18] Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’I, 2007),  jilid 3, hal. 84
[19] Faishal bin Abdul Aziz, Nailu Authar terj. Amir H.F. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet. I, hal. 133
[20] Mutawalli Sya’rawi, Tafsir Sya’rawi (Medan: Duta Azhar, 2006), Cet. I, Jilid 3, hal. 667
[21] Editor: Tutut Idrawati, Solopos.com, http://www.solopos.com
[22] Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’I, 2007),  jilid 3, hal. 85
[23] Ibnu Qutaibah, Mukhtalif al-Hadis (Kairo: Darr al-Hadis, 2006 M/1427 H),  hal. 230
[24] Abu Daud, Sunan Abu Daud (Beirut: Darr al-Kitab al-Beirut, tt), juz V. hal. 238

DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud, Sunan Abu Daud, Beirut: Darr al-Kitab al-Beirut, tt

Al-Bazzam, Abdullah bin Abdurrahman. Syarah Bulughul Maram terj. Thahirin. S, dkk, cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006

Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, cet. I, Kairo: Darr al-Sya’ab, 1987

Aziz, Faishal bin Abdul. Nail al-Authar terj. Amir H.F., cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006

Editor: Tutut Idrawati, Solopos.com (http://www.solopos.com)

Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir min Ibn Katsir terj. M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’I, 2007

Ibnu Qutaibah. Mukhtalif al-Hadis, Kairo: Darr al-Hadis, 2006 M/1427 H

Maraghi, Musthafa. Tafsir Maraghi terj. Bahrun, dkk., cet. II, Semarang: Toha Putra, 1993

Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Darr al-Ji’ll, tt

Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Cet. IX, Jakarta: Lentera Hati, 2007

Sya’rawi, Mutawalli. Tafsir Sya’rawi, Cet. I, Medan: Duta Azhar, 2006

Syaibah, Ibnu Abi. Musannaf Ibnu Abi Syaibah, Mu’assasah al-Arabiyah, tt

pdf Free Download  Disini

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.