Articles by "Kitab Tafsir"

Tampilkan postingan dengan label Kitab Tafsir. Tampilkan semua postingan

SQ Blog - Kitab Tafsir Jami’ Al bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Al-Thabary dinilai sebagai literatur penting dalam bidang tafsir bil ma’tsur, bahkan dalam bidang tafsir bir ra’yi. Hal ini karena tafsir ini memadukan berbagai pendapat dan mencari pendapat yang paling kuat. Oleh karena itu, tafsir ini dinilai sebagai tafsir yang paling agung, paling shahih dan paling lengkap, karena memuat pendapat para sahabat dan tabi’in. Bahkan para pengkaji tafsir menilai tafsir ini tidak ada duanya di bidang tafsir. An Nawawi berkata, "Belum ada karya tulis yang ditulis oleh orang semisal dengan Kitab tafsir Ibnu Jarir ath Thabari[1]”. Dalam dunia tafsir, karya Al-Thabari merupakan generasi pertama yang dibukukan dan masih utuh sampai sekarang. Ini tidak berarti sebelum Al-Thabari belum ada kesadaran membukukan tafsir, namun perkembangan tafsir pada saat itu sangat lamban dan terpencar-pencar[2].

Al-Thabari dipandang sebagai tokoh penting dalam jajaran mufassir klasik lewat karya monumentalnya “ Jami’ul Bayan fi Tafsir Al Qur’an” dimana ia mampu memberikan inspirasi baru bagi mufassir sesudahnya. Kelahiran Tafsir ini memberikan nuansa dan aroma baru dalan blantika penafsiran di mana struktur penafsiran yang monolitik sejak zaman sahabat hingga abad III H. Kitab ini memuat eksplorasi dan kekayaan sumber yang heterogen terutama dalam hal makna kata dan penggunaan bahasa Arab yang telah dikenal secara luas di kalangan mayarakat. Di samping itu, tafsir ini sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran yang disandarkan kepada pendapat dan pandangan para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in melalui hadits yang mereka riwayatkan. Kitab ini juga didukung dengan nalar untuk membangun pemahaman-pemahaman obyektifnya.

B. METODE PENAFSIRAN

Mengenai metodenya, kitab ini dianggap sebagai dasar bagi semua tafsir karena adanya metode khas yang memadukan antara tafsir bil ma’tsur dengan tafsir bir ra’yi yang disertai dengan pendapat yang terkuat. Imam Asy Syuyuti berkata, “Kitab Ibnu Jarir merupakan tafsir palinh agung, karena kitab ini memaparkan pilihan berbagai pendapat, I’rab dan istinbath. Dengan karakteristik inilah sehingga kitab ini mengungguli kitab-kitab tafsir klasik”.

Al Imam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun kitab tafsir yang ada di tangan masyarakat, maka yang paling shahih adalah tafsir Muhammad Ibnu Jarir Ath Thabari. Kitab ini menuturkan pendapat-pendapat kaum salaf dan sanad-sanadnya., tidak memuat bid’ah dan tidak mengutip dari orang-orang yang tertuduh dusta”.

Secara umum, Ath Thabari memiliki metode dan langkah-langkah penting dalam menafsirkan, yaitu sebagai berikut:
  1. Biasanya Ath Thabari memulai dengan menetapkan dan membatasi tema yang akan dibahasnya, baik itu berupa ayat, dan penafsirannya atau penjelasan sebuah hadits, kemudian menyimpulkan bebagai pendapat mengenai aqidah, hukum fiqih, qira’at, suatu pendapat, atau permasalahan yang diperselisihkan.
  2. Apabila tema telah ditetapkan, ia mulai mengumpulkan bahan-bahan ilmiah yang berkaitan dengannya dan berusaha semaksimal mungkin agar bahan yang ia kumpulkan lengkap dan menyeluruh demi kesempurnaan tema yang dibahasnya. Semua ini dilakukan sebelum memulai penulisan.
  3. Jika semua bahan kajian telah terkumpul, ia pun memulai meneliti dan mempelajarinya, dan membaginya menjadi beberapa bagian atau pendapat serta menyebutkan dalilnya masing-masing sesuai dengan permasalahan yang berhubungan dengannya. Terkadang ia menjelaskannya secara panjang lebar yang tampak pada penguraian sanad, riwayat dan dalil, hingga ia yakin bahwa tidak ada kepincangan dalam masalah yang dikajinya.
  4. Selain metode deduktif tersebut, ia juga membandingkan antara sanad dengan dalil dan mengindikasikan kelemahan atau pertentangan yang terjadi pada yang lebih kuat dalam pengambilan dalil atau argumentasi. Ketika ia menjelaskan mana dalil yang lebih kuat, ia sering menggunakan ungkapan-ungkapannya, seperti; Ash shwab minal qaul (yang benar dari pendapat ini), Ash shawab minal qaulain (yang benar dari dua pendapat ini), ash shwab minal aqwal (yang benar dari beberapa pendapat ini), fi dzalika ‘indi (dalam masalah itu menurut saya), ‘indana (menurut kami). Ungkapan-ungkapan ini banyak berulang dalam buku-bukunya yang mengulas tentang pendapat, perkataan, penyebutan sumber dan dalilnya[3].
Di samping metode-metode umum di atas, dalam menafsirkan, Al-Thabari menempuh metode dan langkah-langkah khusus sebagai berikut:
  1. Mengawali penafsiran dengan mengatakan: “Pendapat tentang takwil firman Allah” begini...
  2. Kemudian menafsirkan ayat dan menguatkan pendapatnya dengan apa yang diriwayatkannya dengan sanadnya sendiri dari para sahabat atau tabi’in.
  3. Menyimpulkan pendapat umum dari nash Al Qur’an dengan bantuan atsar-atsar yang diriwayatkannya.
  4. Menyebutkan atsar-atsar yang berasal dari Rasulullah Saw, sahabat, dan tabi’in dengan menuturkan sanad-sanadnya , dimulai dari sanad yang paling kuat dan paling shahih.
  5. Menguatkan pendapat yang menurutnyakuat dengan menyebutkan alasan-alasannya.
  6. Melanjutkannya dengan menjelaskan pendapat ahli bahasa, seperti bentuk kata dan maknanya, baik tunggal maupun gabungan serta menjelaskan makna yang dimaksud dalam nash yang bersangkutan.
  7. Melanjutkannya dengan menjelaskan qira’at-qira’atnya dengan menunjukkan qira’at yang kuat dan mengingatkan akan qira’at yang tidak benar.
  8. Menyertakan banyak sya’ir untuk menjelaskan dan mengukuhkan makna nash.
  9. Menuturkan I’rab dan pendapat para ahli nahwu untuk menjelaskan makna sebagai akibat dari perbedaan I’rab.
  10. Memaparkan pendapat-pendapat fiqih ketika menjelaskan ayat-ayat hukum, mendiskusikannya dan menguatkan pendapat yang menurutnya benar.
  11. Kadang-kadang ia menuturkan pendapat ahli kalam dan menjuluki mereka dengan ahli jadal (ahli teologi dialektis)-, mendiskusikannya, kemudian condong kepada pendapat ahlussunnah wal jama’ah.
  12. Memberikan tempat yang tinggi kepada ijma’ umat ketika memilih suatu pendapat[4].
Di samping metode-metode tersebut di atas, Al-Thabari juga menggunakan metode yang sistematis, yaitu menggunakan metode ilmiah yang memiliki unsur-unsur yang jelas dan sempurna. Ia menggabungkan antara riwayat, dirayat, dan ashalah (keautentikan).

Sisi riwayat ia peroleh dari studi terhadap sejarah, sirah Nabawiah, bahasa, syair, qira’at, dan ucapan-ucapan orang-orang terdahulu. Semua ini menjadi bekal utama baginya untuk menyususn tema-tema dan mengetahui perinciannya. Adapun sisi dirayat, ia peroleh dari perbandingannya terhadap pendapat-pendapat para fuqaha setelah ia ketahui dalil-dalil dari masing-masing mereka dan cara pentarjihannya. Kemudian dari pengetahuannya terhadap ilmu hadits yang menyangkut studi sanad, kondisi perawi dan kedudukan hadits. Dan dari sisi keautentikan Al-Thabari, yaitu berpikir panjang untuk sesuatu yang ingin dilakukan dan mempersiapkan diri dengan matang. Bahkan terkadang ia berpikir dan merenung sampai beberapa tahun untuk kemudian terjun ke “medan Laga”[5].

C. KARAKTERISTIK DAN CORAK PENAFSIRAN

Untuk melihat seberapa jauh karakteristik sebuah tafsir, dapat dilihat paling tidak pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya bahasa, corak penafsiran, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecederungan madzab yang diikuti dan objektivitas penafsirnya.

Dari sisi linguistik, Al-Thabari sangat memperhatikan penggunaan bahasa arab sebagai pegangan dengan bertumpu pada sya’ir-sya’ir Arab kuno dalam menjelaskan makna kosa kata, acuh terhadap aliran-aliran gramatika bahasa dan penggunaan bahasa arab yang telah dikenal secara luas di kalangan masyarakat. Sementara itu, ia sangat kental dengan riwayat-riwayat sebagai sumber penafsiran, yang disandarkan pada pendapat para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in melalui hadis yang mereka riwayatkan (bil Ma’tsur).

Aspek penting lainnya dalam kitab tersebut adalah pemaparan qira’at secara variatif, dan analitis dengan cara menghubungkan dengan makna-makna yang berbeda, kemudian mengambil salah satu qira’at tertentu yang dianggap paling kuat dan tepat. Di sisi yang lain, Al-Thabari sebagai seorang ilmuan, selalu berusaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Islam (kandungan Al Qur’an) tanpa melibatkan diri dalam perselisihan dan perbedaan paham yang dapat menimbulkan perpecahan. 

Kitab tafsir Jami’ Al Bayan atau dikenal dengan nama tafsir Al-Thabari ini merupakan tafsir yang boleh dikatakan tafsir terlengkap di antara tafsir-tafsir yang lain hingga saat ini. Hal ini dapat kita pahami dari lengkapnya unsur-unsur yang digunakan dalam penafsiran dengan menyebutkan riwayat dan sanad yang begitu lengkap, pendapat ulama yang begitu lengkap, penyajian I’rab, bahkan wajah qira’atnya dan segala aspek yang dapat menunjang kelengkapan tafsirnya. 

Kelengkapan yang dimiliki inilah yang menjadi ciri utama tafsir Al-Thabari. Adapun corak penafsiran yang merupakan ciri khusus tafsir Al-Thabari ini yang mungkin berbeda dengan tafsir lainnya adalah memadukan dua sisi yaitu bil ma’tsur dan bir ro’yi. Bagi orang-orang yang belum mengkaji secara mendalam, maka ia menganggap tafsir ini sebagai tafsir bil ma’tsur. Hal ini karena ia hanya melihat dhahirnya saja yang lengkap dan banyak memuat hadits-hadits dan isnad. Bahkan dalam tafsir ini terdapat sejumlah riwayat hadits yang lengkapnya melebihi tafsir bil ma’tsur yang ada pada masanya[6]

Padahal para ulama spesialis yang sudah mengkaji tafsir ini menilai sebagai tafsir ilmiah yang yang cenderung mengedepankan sisi analisa dari pada sisi atsar. Oleh karena itu kita dapat katakan bahwa tafsir ini merupaka titik langkah perubahan dalam metode pembuatan tafsir yang memiliki dampak sangat jauh[7]. Di samping itu, ada juga sebagian ulama mengatakan bahwa salah satu ciri utama utama tafsir Al-Thabari ini dapat kita lihat pada istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan yang ia gunakan dalam tafsirnya ini, sebagaimana yang tertera pada pembahasan sebelumnya. Adapun corak penafsirannya adalah penggabungan antara bil ma’tsur dan bir ro’yi.

D. CONTOH PENAFSIRAN

Adapun contoh penafsiran Al-Thabari yang kami akan singgung di sini adalah penafsiran kata (الصراط المستقيم) pada kalimat اهدنا الصراط المستقيم dalam surah Al Fatihah ayat 6. Al-Thabari berkata: Para ahli tafsir bersepakat bahwa kata الصراط المستفيم artinya “jalan lurus yang tidak berliku”, sebagaimana yang didefinisikan oleh orang Arab. Seperti ucapan Jarir bin Athiyah Al Khathfi dalam sya’irnya: 
Amirul mu’minin berada pada jalan yang lurus, 
meskipun jalan-jalan yang lain berliku.
Juga ucapan penya’ir Rajiz
Lalu ia menghalangi dari mengikuti jalan yang lurus.[8]
Mengenai pentakwilan kata الصراط المستقيم ini, terdapat sejumlah pendapat yang berbeda dari para ahli Al Qur’an, dimana semuanya mencakup pentakwilan yang kami pilih.[9] Di antaranya adalah sebagai berikut: 
  1. Riwayat Ali bin Abi Thalib dari Rasulullah, bahwa beliau menyebutkan Al Qur’an, lalu bersabda: هو الصراط المسنتقيمIa adalah jalan yang lurus[10]
  2. Ahmad bin Ishaq menceritakan kepada kami, katanya Abu Ahmad Az Zubairi menceritakan kepada kami, katanya Hamzah Az Ziyat menceritakan kepada kami, dari Abu Mukhtar Ath Tha’I, dari Ibnu Akhi Al Harits Al A’war, dari al Harits, dari Ali, ia berkata, “Jalan yang lurus ialah Kitabullah Ta’ala”[11].
  3. Musa bin Sahl Ar Razi menceritakan kepada kami, katanya Yahya bin Auf menceritakan kepada kami, dari Al Furat bin As Sa’ib dari Maimun bin Mahran, dari Ibnu Abbas tentang jalan yang lurus disini ialah “Islam”[12]
  4. Al Matsanna menceritakan kepada kami, katanya Abub shalih menceritakan kepada kami, katanya Muawiyah bin shalih menceritakan kepada kami bahwa Abdurrahman bin Jubair menceritakan kepadanya dari bapaknya, dari Nawwas bin Sam’an Al Anshari, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda: “Allah membuat parumpamaan jalan yang lurus,” dan jalan yang lurus itu adalah Islam.[13]
Dan masih banyak lagi riwayat yang lain yang memiliki makna yang sama. Al-Thabari berkata: Allah menyebutnya dengan mustaqim karena ia benar dan tidak ada kesalahan padanya. Menurutku, makna yang paling benar dalam pentakwilan ayat (اهدنا الصراط المستقيم) adalah: Berilah kami taufiq untuk tetap konsisten dalam mengikuti perkataan dan perbuatan yang Engkau ridhoi seperti orang-orang shalih yang Engkau telah beri nikmat, dan itulah jalan yang lurus. Karena barang siapa yang diberi taufiq seperti orang-orang shalih, para nabi, orang-orang jujur, para syuhada’, maka ia telah diberikan taufiq kepada Islam, membenarkan para Rasul, berpegang teguh pada Kitab Allah, mengikuti apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi laranganNya, mengikuti manhaj Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan setiap hamba yang Shalih, maka semua itu termasuk “jalan yang lurus”[14].

D. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TAFSIR AL-THABARY
  • Kelebihan 
  1. Tafsir Al-Thabari mengandung banyak cabang ilmu yang menunjang kelengkapan dan kesempurnaannya, seperti ilmu Bahasa, Nahwu, Riwayat, qira’at dan sebagainya.
  2. Dengan kandungan yang begitu lengkap dapat berperan penting bagi pengkajinya dalam menambah wawasan.
  3. Disebutkannya berbagai pendapat atau atsar yang mutawatir, baik yang bersumber dari Nabi, para sahabat, tabi’in, tabi’ at tabi’in, serta para ulama sebelumnya menujukkan kehati-hatiannya dalam menafsirkan, sehingga mengecilkan kemungkinan ia berpendapat yang salah.
  4. Kelengkapan dan kesempurnaan penjelasan menyebabkan orang yang mengkajinya dapat memahami tafsirnya dengan baik. 
  • Kelemahan atau Kekurangan 
  1. Karena banyaknya riwayat yang dimuatnya, ia pun mengomentarinya, namun terkadang ada juga riwayat yang tidak dikomentarinya[1], sehingga dibutuhkan lagi penelitian lebih lanjut pada riwayat yang tidak dikomentarinya tersebut.
  2. Pada umumnya ia tidak menyertakan penilaian shahih atau dho’if terhadap sanad-sanadnya.[2]
  3. Kelengkapan penjelasan yang disajikan menyebabkan dalam mengkaji dan mendalami tafsirnya membutuhkan waktu yang sangat lama, serta membutukan kesabaran.
  4. Karena tafsir ini termasuk tafsir yang ilmiah, maka dalam mengkaji dan mendalaminya butuh perhatian dan kejeniusan, sehingga sedikit mempersulit bagi orang yang masih awam. Di samping itu, karena banyaknya pendapat yang termuat di dalamnya menyebabkan orang kesulitan dalam menentukan pendapat yang paling benar.
DAFTAR PUSTAKA

  • Al- Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir( 2007), Jami’ Al Bayan Fi Ta’wil Al Qur’an, penerjemah: Ahsan Askan, Jakarta: Pustaka Azzam
  • Abidu, Yunus Hasan(2007), Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir,Jakarta: Gaya Media Pratama
  • Ghafur, Saifullah Amin (2007), Profil Para Mufassir Al Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani
  • Ilyas, Hamim (2004), Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta : Penerbit TERAS
ENDNOTE

[1] Dr. Yunus Hasan Abidu(2007),” Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir Dalam menafsirkan al Qur’an”, Jakarta:Gaya Media Pratama, hal. 69.
[2] Saifullah Amin Ghofur (2007),” Profil para Mufassir”, Yogyakarta:Pustaka Insan Madani, hal. 67.
[3] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari (Penerjemah: Ahsan Askan, 2007) “Jami’ Al bayan fi Ta’wil Al Qur’an”,   Jakarta:Pustaka Azzam, Jilid 1, hal 35,36,37
[4] Dr.Yunus Hasan Abidu(2007),” Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir Dalam menafsirkan al Qur’an”, Jakarta:Gaya Media Pratama, hal. 70-71.
[5] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari (Penerjemah: Ahsan Askan, 2007) “Jami’ Al bayan fi Ta’wil Al Qur’an”,   Jakarta:Pustaka Azzam, Jilid 1, hal 33,34
[6] Lihat At Tafsir wal Mufassirun (1/268) dan selanjutnya
[7] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari (Penerjemah: Ahsan Askan, 2007) “Jami’ Al bayan fi Ta’wil Al Qur’an”,   Jakarta:Pustaka Azzam, jilid 1, hal. 43.
[8] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari (Penerjemah: Ahsan Askan, 2007) “Jami’ Al bayan fi Ta’wil Al Qur’an”,   Jakarta:Pustaka Azzam, jilid 1, hal 248
[9] Ibid
[10] Ibid, hal 249
[11] Ibid
[12] Ibid, hal 250
[13] Ibid, hal 252
[14] Ibid
[15] Dr.Yunus Hasan Abidu(2007),” Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir Dalam menafsirkan al Qur’an”, Jakarta:Gaya Media Pratama, hal 71
[16] Ibid

DISUSUN OLEH


SQ Blog - Berikut beberapa contoh penafsiran ayat dari tafsir Mahasin At-Ta’wil karya Muhammad Jamaluddin al-Qasimi.

SURAT AL-MU'MINUN AYAT 71-74

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ ﴿٧١﴾ أَمْ تَسْأَلُهُمْ خَرْجًا فَخَرَاجُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ ﴿٧٢﴾ وَإِنَّكَ لَتَدْعُوهُمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ﴿٧٣﴾ وَإِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ عَنِ الصِّرَاطِ لَنَاكِبُونَ ﴿٧٤﴾ (سورة المؤمنون : ٧١-٧٤)

Artinya: Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. Atau kamu meminta upah kepada mereka?, maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezki Yang Paling Baik. Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka kepada jalan yang lurus. Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat benar-benar menyimpang dari jalan (yang lurus). (Q.S. al-Mu’minun : 71-74)

Tafsirnya:[1]

(وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ), yakni sekiranya kebenaran yang mereka benci seperti tauhid dan keadilan yang disampaikan Nabi Muhammad Saw. kebenaran itu ikut hawa nafsu mereka yang bertebaran dalam kebatilan yang timbul dari nafsu mereka yang gelap dan menggelapkan. Jika demikian adanya, hukum kausalitas ini akan rusak karena ketergantungan hukum alam ini tiada lain kecuali pada tauhid dan keadilan.

Di sini terdapat urusan kebenaran dan peringatan atas ketinggian kedudukannya yang tidak samar. (بَلْ أَتَيْنَاهُمْ), satu contoh dari mencela mereka dan kebenciannya, pindah dari menegur sikap mereka ke pelarian dari apa yang digemari setiap jiwa, yaitu dari kebaikannya, yakni sebenarnya ia bukan kebencian tetapi pelajaran bagi mereka seandainya mereka mengambilnya sebagi pelajaran. Atau bagi kesombongan dan kebanggaan mereka karena mereka kelak berkata “Sekiranya kami memiliki ajaran dari orang-orang terdahulu niscaya kami menjadi orang yang ikhlas berbakti”.

(فَهُمْ مُعْرِضُونَ), yakni berpaling dari peringatan. Allah mengulangi lafal ذِكْرِهِمْ sebagai pengagungan dan disandarkan kepada mereka karena seperti tersebut semula, dan di surat al-Anbiya : 42, Zikri Rabbihim, karena memastikan apa yang sebelumnya (أَمْ تَسْأَلُهُمْ خَرْجًا), yakni pajak dalam menyampaikan risalah, dan karena alasan itu mereka lalu tidak beriman. (فَخَرَاجُ رَبِّكَ خَيْرٌ), yakni karunia dan ayat seterusnya (لَنَاكِبُونَ) bermakna berpaling.

Al-Qasyani berkata, Sirat al-mustaqim yang didakwahkan nabi kepada mereka ialah jalan tauhid yang memastikan untuk membuahkan keadilan dalam jiwa, adanya rasa cinta di hati dan menyaksikan Keesaan. Sedangkan orang yang tertutupi dengan gulita dari alam cahaya degan najis dari kesucian, sesungguhnya mereka bergelimang dalam kezaliman dan kebencian, permusuhan dan condong pada yang berlebihan, sebenarnya mereka telah berpaling dari jalan kebenaran maka mereka berada dalam jurang kebinasaan.

Imam Zamakhsyari berkata, “Allah telah menetapkan hujjah-Nya dalam ayat ini dan menanggalkan alasan-alasan mereka dan mengemukakan kepada mereka bahwa nabi yang diutus kepada mereka adalah seorang lelaki yag telah diketahui kepribadian dan keberadaannya. Telah diberitakan baik degan jelas atau tersembunyi, ia adalah makhluk yang tepilih untuk menyampaikan risalah dari kalangan mereka, dan risalah itu tidak ditawarkan kepadanya hingga dakwah yang mulia ini tidak dituduh dengan kebatilan.

Dan ia berserah diri padanya untuk memperoleh urusan dunia mereka dan pemberian harta mereka. Dia tidak mengajak mereka kecuali kepada agama Islam yang jadi siratal mustaqim serta menampakkan penyakit-penyakit mereka yang tersembunyi, yaitu kesalahan dan kefatalan mereka dalam berpikir dan merenungi nenek moyang mereka yang sesat tampa ada dalil yang kuat. [2]

SURAT AN-NISA' AYAT 3

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا ﴿ النساء: ٣﴾

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. al-Nisa: 3) 

Tafsirnya:

Pembahasan penting: al-Rozi menjelaskan bahwa kaum sudda (suku kuhti yang berada di dekat zabid, Yaman) berpendapat mengenai diperbolehkannya menikah dengan jumlah berapapun yang dikehendaki. Mereka berargumentasi dengan al-Quran dan Hadis. Mengenai argumentasinya dari al-Quran, mereka telah berpegang teguh terhadap ayat tersebut dengan tiga alasan, pertama; bahwa firman Allah (فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ) memutlakkan semua jumlah, kedua; bahwa Firman-Nya (مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ) tidak layak dijadiakn sebagai takhsis terhadap keumuman ayat di atas, ketiga; bahwa huruf (waw) di dalam ayat tersebut berfungsi untuk penjumlahan secara mutlak sehingga, firmannya (مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ) menunjukkan jumlah, yaitu 9. 

Bahkan yang benar menunjukkan jumlah 18 belas. Sebab مَثْنَى tidak menunjukkan arti 2 saja tetapi dua-dua sehingga مَثْنَى diartikan 4 dan begitu pun seterusnya. Kemudian argumentasi hadis, ada 2 alasan; pertama; telah dinyatakan dengan mutawatir bahwa Nabi Saw telah meninggalkan 9 istri, kedua; bahwa sunnah seseorang itu esensinya merupakan tuntutanannya. 

Al-Qasimi kemudian mengetengahkan beberapa pandangan al-Rozi yang melemahkan pemahaman tersebut. Dia juga mengetengahkan pendapat al-Syaukhani untuk mendukung pemahaman tersebut. Dia juga menampilakan pandangan Ibnu Abdul al-Barr untuk menilai kecacatan hadis. Dimana Rasulullah Saw memerintahkan Ghailan bin Salamah ketika dia memeluk Islam sementara dia mempunyai 10 istri. Rasul memerintahkannya memilih empat diantara mereka dan menceraikan yang lain. Selain itu, ia juga menampilkan pandangan ulama seperti Imam Syafi’i, Ibnu Abi Syaibah, al-Timidzi dal lain-lain yang menshahihkan hadis tersebut. 

Dari keterangan di atas, nampak bahwa al-Qasimi mencantumkan beragam pendapat terkait ayat tersebut dengan memberikan masing-masing argumennya. Ia tidak berpihak pada salah satu pandangan dalam memberikan ulasannya, melainkan memberikan wewenang kepada pembaca untuk mengambil pendapat yang dinyakininya benar. Hal inilah yang merupakan keunikan tersendiri dari tafsirnya dengan pembahasan yang panjang lebar mengenai ayat yang banyak menjadi bahan perdebatan.

Namun pada sisi lain, ini jugalah yang menjadi kelemahan tafsir ini karena memuat sebuah potret tentang benturan yang terus-menerus dalam tubuh Islam.[3] Walaupun demikian, al-Qasimi juga secara tegas memberikan pandangnnya mengenai problematika sosial kehidupan masyarakat dan dalam berbagai konteks lainnya selain perdebatan yang sanagt signfikan seperti kasus diatas. Wallahu A’lam

Baca Juga:

ENDNOTE

[1] Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Tafsir Mahasin al-Ta’wil, (Beirut: Darr al-Fikr, 1398 H / 1978 M), Cet. II, Jilid 1, Juz 2, hal 94-95
[2] Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Tafsir Mahasin al-Ta’wil, hal 95
[3] Abdul Majid Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran Kontemporer, judul asli “Ittijaahaat al-Tafsir al-Ashri al-Rahim” (Surabaya: Pustaka Insan Madani, 1997 M), Cet. I, hal. 50

SQ Blog - Tafsir al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil merupakan salah satu kitab tafsir yang sangat besar andilnya dalam pengembangan metode penafsiran al-Quran. Tafsirnya meliputi 17 juz yang pertama kali dipublikasikan oleh Darr Al-Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, Kairo. Kitab ini diteliti oleh Muhammad Bahjat al-Baithar, salah seorang anggota Majma Al-Ilmi Al-Araby (Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab). Jamaluddin Al-Qasimi menyusun tafsirnya setelah berulang kali istikhara dan memulainya pada tanggal 10 syawal 1316 H.[1]

A. EKSISTENSI TAFSIR MAHASIN AL-TA’WIL

Al-Qasimi memberikan pengantar dalam kitab tafsirnya secara khusus dalam satu juz awal yang berisikan kaidah-kaidah tafsir. Al-Qasimi berusaha memangun sebuah perspektif dan meluruskan kembali tradisi tafsir agar tetap berlandaskan pada kaidah-kaidah tafsir seperti yang ia cantumkan dalam juz pertama. Seperti ungkapan beliau dalam mukaddimahnya menyatakan:[2]
Setelah saya menghabiskan satu pengggalan usia saya untuk menyibak beberapa realitas tafsir, maka saya menghentikan sepenggal waktu dalam menganalisa kedalamannya. Saya ingin membuat sistematika dalam menelusuri para mufassir besar sebelum rahsi-rahasianya rusak dan unsur-unsurnya punah. Untuk membuatnya, saya harus membuat rambu-rambu. Dan untuk menganhkatnya, saya harus membuat sistematika. Sehingga saya harus membulatkan tekad yang lemah dan meminta pertolongan dan petunjuk kepada Allah SWT. Dalam merumuskan kaidah-kaidahnya serta penafsiran mengenai maksud-maksudnya dalam sebuah kitab yang dengan pertolongan Allah, saya beri nama Mahasin al-Ta’wil.
Saya mengisinya dengan sesuatu yang seharusnya tidak ada semisal beberapa hasil penelitian (tahqiq). Saya juga telah melengkapinya dengan studi yang urgen. Di dalamnya saya juga jelaskan kandungan-kandungan rahasia. Disini saya kritik beberapa pemikiran kemudian saya ketengahkan manfaat-manfaat yang saya temukan dari tafsir-tafsir salag klasik. Juga keunikan-keunikan yang secara kebetulan saya temukan dari lipatan-lipatan kertas. Termaksuk tambahan-tambahan yang saya gali dengan pemikiran saya yang dangkal.
Semua itu mengantarkan say untuk menemukan argumentasi dan memperkuat pijakan saya seputar masalh tersebut. Inilah, saya juga melengkapi awalnya denga sebuag pengantar penting mengenai khazanah tafsir. Mengenai kaidah-kaidah yang begitu berharga dan juga manfaat-manfaat yang begitu berbobot yang semuanya saya telah jadikan sebagai kunci untuk membukan pintunya. Juga saluran untuk memperlanncar airnya yng dipilih oleh seorang Mufassir untuk menyibak realitas-realitasnya serta menganalisa beberapa rahasia dan kedalamannya.
Uraian satu juz tersendiri yang memuat sitematika dan kaidah-kaidah tafsir dalam Mahasin al-Tawil merupakan salah satu keunikan tersendiri dari kitab tafsir ini. Dalam muqaddimahnya ini juga Nampak bahwa al-Qasimi banyak mengutip dari a-Syatibi, Ibnu Taimiyah, Izzuddin bin Addussalam, al-Dahlawi, Abi Amru al-Dani, Abi Ubaid al-Qasim bin Sallam serta Hazem. Al-Qasimi tampaknya terpenagruh dengan tendensi ilmiah dalam tafsirnya. Dia mengetengahkan sub pokok bahsan untuk menjelasakna secara detail maslah-maslah ilmu astronomi yang terdapat dalam al-Quran serta memberinya keterangan bahwa ia mengutipnya dari beberapa pakar astronomi.[3]

Kita juga menemukan bahwa al-Qasimi mengetengahkan beberapa pendapat ahli tafsir klasik dan mengutip dari tafsir-tafsir mereka. Dia mengutip dari tafsir Ibnu Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyari, Raghib al-Ashfihani, Fakhru al-Rozi, Ibnu Katsir al-Damsyiqi, Ibnu Qayyim, Abi Hayyan al-Andalusi, Ibnu Athiya al-Andalusi, al-Qurthubi, al-Baidawi dan Abi Sa’ud. Juga beberapa Mufassir mazhab Zaidiyyah dan Burhanuddin al-Biqa’i dan Muhammad Abduh. Bahkan al-Qasimi hampir mengutip secara tekstual penafsiran yang dinyatakan di dalam tafsir Ibnu Katsir dan banyak pembahasan lainnya di dalam kitab tafsirnya.

Selain diatas, kita juga menemukan bahwa al-Qasimi banyak mengetengahkan pendapat ulama di dalam kitab tafsirnya semisal al-Syafi’i, Ibnu Sa’ad, al-Farra’ pemilik Ma’ni al-Quran al-Qadhi Abdul Jabbar, Ibnu Hazem, al-Syahrastani, al-Akbari, Ibnu Munayyar al-Askandari, Izzuddin Muhammad bin Abdussalam, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, al-Suyuthi dan al-Haralli.[4]

B. METODOLOGI TAFSIR MAHASIN AL-TA’WIL 

Tafsir al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil merupakan salah satu kitab tafsir yang sangat besar andilnya dalam pengembangan metode penafsiran al-Quran, terutama upaya pemaduan antara tafsir aliran tafsir bi al-Matsur dan tafsir bi al-Ra’yi. Syakib Arsalan berpesan kepada seluruh generasi mmuslim yang berminat memhami syariat islam untuk tidak mendahulukan bacaan-bacaan lain sebelum membaca kitab Mahasin al-Ta’wil.[5] Sebelum kami menguraikan lebih lanjut metodologi tafsir al-Qasimi, perlu sekilas wawasan akan metodologis tafsir dan realitasnya. 

Jamaluddin al-Qasimi dalam menyusun tafsirnya mengarahkannya agar dapat dijadikan petunjuk dan untuk mengungkap ruh al-Quran. Dua hal inilah yang memotivasi al-Qasimi dalam menyusun tafsirnya agar al-Quran dapat menjadi pedoman hidup dan menjadikan hukum-hukum dan ajarannya senantiasa shalihun li kull zaman wa makan. Selain itu, al-Qasimi memiliki metodologi yang tidak seperti dengan metodologi para mufassir lalinnya. Metodologi tafsir al-Qasimi memberikan nuansa baru dengan perspektif untuk mengintegrasikan mazhab, metode dan corak penafsiran. Upaya ini dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa semua mazhab. Metode dan corak tafsir tidak bisa dilepaskan dari kelemahan-kelemahan. Upaya pengembangan model tafsir ini dilakukan oleh beberapa mufassir terutama mufassir periode mutaakhirin, diantaranya:[6]
  1. Muhammad Jamaluddin al-Qasimi (1283-1332 H/1866-1914 M), tafsir Mahasin al-Ta’wil;
  2. Muhammad bin Ali al-Syaukhani (w. 1250 H/1834 M), tafsir Fath al-Qadir;
  3. Abu al-Tsana’ Syihab al-Din al Sayyid Muahmud al-Alusi al-Baghdadi (1217-1270 H/1802-1853 M), tafsir Ruh al-Ma’ani;
  4. Ahmad Musthafa al-Maraghi (1298-1373 H/1881-1945 M), tafsir Maraghi
  5. Muhammad Ali al-Shabuni, tafsir Shafwah al-Tafasir
  6. Wahbah al-Zuhaeli, tafsir al-Munir
  7. Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan alThabrasi, Majma al-Bayan fi Tafsir al-Quran
  8. Muhammad Husyan Thabathabai, tafsir al-Mizan. 
Integrasi aliran, metode dan corak penafsiran al-Quran merupakan perspektif baru dalam upaya menfasirkan al-Quran yang saling melengkapi dan menunjang. Jadi elastisitas al-Quran tidak hanya sebatas kandungannnya yang selalu sesuai dengan perkkembangan dan tuntutan keadaan (up to date), tetapi juga elastisitas dari sisi penggunaan metode penaafsirannya. Hal inilah yang diungkapkan Solly Lubis bahwa objeklah yang menentukan metodologi, bukan metodologi yang menentukan objek sasaran suatu kegiatan atau usaha ilmiah. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi ilmu sosial lainnya, tetapi juga berlaku di bidang ilmu sosial keislaman, termasuk tafsir.[7]

Perspektif penafsiran diatas Nampak dan diusahakan oleh Jamaluddin al-Qasimi dalam menyusun tafsirnya. Walaupun ia adalah ulama pentolan salaf, namun ia tidak menafikkan kajian-kajian ilmu sains dalam tafsirnya agar pandangan al-Quran senanatiasa shalihun li kull zaman wa makan sesuai harapannya dalam menulis tafsir. Uraian lanjut mengenai metodologi tafsir Mahasin al-Ta’wil seperti dijelaskan berikut.

a) Analisa Penulisan Mahasin al-Ta’wil

Penulisan Mahasin al-Ta’wil tidak terlepas dari 4 hal berikut:[8]
  • Memuat hadis-hadis Nabi dan ia sangat mewaspasai hadis yang dha’if dan maudhu;
  • Memuat pendapat para sahabat;
  • Mengambil dari segi bahasa secara mutlak; dan
  • Memuat makna firman dalam ayat-ayat al-Quran dan makna syariatnya.
Al-Qasimi adalah seorang ulama hadis. Dia mempunyai kitab Qawa’id al-Tahdis min Fununi Musthalah al-Hadis. Oleh karena itu, halaman demi halaman mahasin al-Ta’wil hampir tidak ada yang tidak berisikan dengan hadis yang digunakan untuk memperkuat penafsirannya. Sebagai contoh ketika mengatakan “ibadah itu ada bebera amcam dan klasifikasi. Dimana keimanan tidak akan menjadi sempurna kecuali mempurufikasikan seluruh ibadah sematan kepada Allah SWT”. Al-Qasimi memperkuat argumennya diatas dengan dalil naqli seperti penjelasan berikut, Al-Sunnah telah menjelaskan bahwa doa adalah ibadah. Artinya rukun ibdah itulah yang yang terpenting dan lebih utama. Asalnya dari al-Quran (وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ) jadi, Al-Qasimi menyebut do’a sebagai ibadah.[9]

Gambaran lainnya mengenai tafsir Mahasin al-Ta’wil memuat banyak sumber tafsir, pendapat para ulama, wawasan keilmuan selain tafsir yang sangat mewarnai tafsirnya. Oleh karena itu, analisa penulisan tafsir mahasin al-Ta’wil kami arahkan pada kesimpulan sumber tafsirnya, bi al-Matsur atau bi al-Ra’yi. Melihat uraian diatas dan khususnya pengakuan penulisnya sendiri dalam muqaddimah tafsirnya maka tafsirnya dikelompokkan tafsir bi al-Matsur. Walupun demikian, memuat juga sumber-sumber aql termasuk pendapatnya sendiri khususnya dalam memahami ayat-ayat kauniyah. Namun hal ini adalah suatu kewajaran karena metodologis tafsirnya seperti disebutkan sebelumnya memiliki perspektif integrasi mazhab, corak dan metode. Ini artinya, objek ayat-ayat al-Quranlah yang akan menentukan 

Arah metodologisnya. Jika berbicara ayat hukum, maka arah pembahasannya mencakup ilmu fiqh dan ruang lingkup lainnya yang bersangkutan.

b) Analisa Penafsiran Mahasin al-Ta’wil 

Imam al-Qasimi dengan kesempurnaan penelitiannya, kejelian pemahamannya, dan jiwa amanahnya dalam mentransfer, ia menyeleksi dan mengambil pendapat yang paling baik yang berkaitan dengan tema pembahasannya kemudian mengutipnya. Metode inilah yang jalan dalam tafsirnya sehingga tafsirnya seperti kebun yang rimbun, tiada terlihat darinya kecuali tanaman yang hijau dan bunga-bunga yang hijau dan semerbak mewangi, didalamnnya tidak ditemukan apa yang menyakiti dan menggores perasaan. Tafsir ini punya keistimewaan dalam kehati-hatiannya dan pemindahan referensi serta penerimaan yang selektif sehingga jauh dari hadis maudhu dan dha’if.

Kerangka umum metode penafsiran Mahasin al-Ta’wil seperti berikut:[10]
  • Dibantu dengan makna-makna lughawi dan kosa kata. Hal ini iala lakukan dengan singkat tampa memilah dan panjang ulasan;
  • Berpedoman pada al-Quran, Sunnah, Qaul para sahabat yang shahih dan pendapat para Salaf al-Shaleh;
  • Kepeduliannya terhadap ayat-ayat yang membutuhkan uraian lebih lanjut karena dipahami berdasarkan mazhab sehingga menjadi wahana perdebatan. Al-Qasimi mencurahkan perhatiannya terhadap ayat-ayat semacam ini dengan menganalisa dari semua perspektif yang ada;
  • Perhatiannya dalam menyebut segi-segi Qira’at serta menyeleksinya.
Melihat kerangka diatas, dapat menguatkan bahwa tafsir mahasin al-Ta’wil lebih dominan dalam sumber-sumbernya yang matsur. Namun uraian ini kami lebih arahkan untuk melihat langkah penfsiran Jamaluddin al-Qasimi. Menganalisa keterangan diatas, Nampak bahwa al-Qasimi berusaha menerapakan integrasi mazhab, metode dan corak yang ia lakukan dengan urutan mushaf dalam al-Quran. 

c) Analisa Intensitas dan Corak Mahasin al-Ta’wil

Mengenai intensitas tafsir Mahasin al-Ta’wil, dapat di analisa dengan penjelasan di atas. Secara umum, al-Qasimi dalam tafsirnya tidak berupaya menjelaskan seluruh hal yang bersangkutan dengan ayat yang sedang ia bicarakan. Tafsirnya hanya di arahkan untuk dapat memetik petunjuk dari ayat-ayat al-Quran dan agar ajarannya senantiasa shalih li kull zaman wa al-makan. Adapun penjabaran panjang yang ia cantumkan hanya sekilas ayat-ayat yang banyak perdebatan di dalamnya.

Oleh karena itu, metode tafsir Mahasin al-Ta’wil secara umum memakai metode Ijmali. Adapun ketika ia menjelaskan ayat-ayat yang kontroversi, ia menafsirkannya dengan metode Tahlili untuk dapat memberikan pemahaman yang jelas kepada masyarakat serta mengeluarkan hukumnya jika diperlukan.

Berdasarkan pemahaman ini juga, dapat disimpulkan bahwa tafsir Mahasin al-Tawil memuat banyak ayat tentang hukum karena penulisnya ketika membicarakan ayat-ayat yang kontroversi secara tidak langsung berakhir dengan kesimpulan hukum yang dikandung oleh ayat. Walaupun demikian orientasi utama tafsir ini ialah memenuhi tuntutan problematika dalam kehidupan masyarakat.

Oleh karena itu, kami berkesimpulan bahwa tafsir ini bercorak al-Adab wa al-Ijtima’i, yaitu corak tafsir yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk memberikan solusinya.[11] Pada sisi lain, corak lain yang menonjol dari tafsir ini ialah nilai-nilai ilmiah ketika membahas ayat-ayat kauniyah serta dikaitkan dengan kehidupan masyarkat.

Memahami kerangkan penulis tafsir ini sendiri yang penulisnya berusaha megintegrasikan mazhab, metode dan corak dalam tafsirnya, maka konteks ayatlah yang menentukan arah pembahasannya seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya. Adapun kesimpulan kami mengenai corak tafsirnya yang bersifat al-Adab wa al-Ijtima’i, ini hanya menunjukkan dominan dan karena kebutuhan tafsirnya dalam memenuhi kebutuhan umat yang lebih dekat dengan nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Baca Juga:

ENDNOTE

[1] Mani’ Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, hal. 232
[2] Muhammad Jamaluddin Al-Qasimy, Tafsir Mahasin al-Ta’wil (Beirut: Darr al-Fikr, 1398 H / 1978 M) Cet II, Muddimah Juz 1, hal 5-6
[3] Abdul Majid Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran Kontemporer, judul asli “Ittijaahaat al-Tafsir al-Ashri al-Rahim” (Surabaya: Pustaka Insan Madani, 1997 M), Cet. I, hal. 37
[4] Abdul Majid Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran Kontemporer, Cet. I, hal. 37-38
[5] Ahmad IzzanMetodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), Cet. II, hal. 231-232
[6] Ahmad IzzanMetodologi ILmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), Cet. II, hal. 230-233
[7] Ahmad IzzanMetodologi ILmu Tafsir, hal. 235-236
[8] Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir terjemahan Faisal Shaleh dan Syahdianor dari judul asli “Manhaj al-Mufassirin” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 M), Cet. I, hal. 236
[9] Abdul Majid Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran Kontemporer, judul asli “Ittijaahaat al-Tafsir al-Ashri al-Rahim” (Surabaya: Pustaka Insan Madani, 1997 M), Cet. I, hal. 39-40
[10] Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir terjemahan Faisal Shaleh dan Syahdianor dari judul asli “Manhaj al-Mufassirin” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 M), Cet. I, hal. 236-237
[11] Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), cet. I, hlm. 108

pdf FREE DOWNLOAD

SQ Blog - Tafsir Bahrul Muhit merupakan salah satu kitab tafsir yang tergolong Tafsir Bir-Ra’yi. Pengarangnya Syeikh Mummad bin Yusuf bin Hayyan al-Andalusi. Lahir pada tahun 654H dan Meninggal pada tahun 754 H.Tafsirnya berjudul Al-Bahr al-Muhit ( الـبحر المحيـط ) terdiri dari delapan jilid.[1]

KARAKTERISTIK TAFSIR BAHRUL MUHIT

Sebelum kami memaparkan penjelasan tentang karakteristik tafsir ini terlebih dahulu kami memberikaan deskripsi pendahuluan dari tafsir ini. Adapun sekilas gambaran dari pendahuluan tafsir Bahrul Muhit ialah :[2]
  1. مقدمة المؤلف, Yaitu berisi muqaddimah penulis.
  2. منهجه في تأليف هذا الكتاب, metode Abu Hayyan dalam mengarang atau menyusun Tafsir ini.
  3. العلوم التي يحتاج إليها المفسر, Ilmu-ilmu yang dibutuhkan seseorang untuk melakukan penafsiran.
  4. الشروط الواجب توافرها في المفسر, Syarat-syarat wajib yang dipenuhi seorang Mufasssir.
  5. ذكر فضائل القرآن, Menyebutkan keutamaan-keutamaan Al-Quran.
  6. المفسرون من الصحابة, Ahli Tafsir dari kalangan Sahabat.
  7. المفسرون من التابعين, Ahli Tafsir dari kalangan Tabi’in.
  8. منهج التفسير في العصور المتقدمة له والمتأخرة, metode oenafsiran pada masa awal dan masa mutakhiro تعريف علم التفسير لغة واصطلاحاً, mengetahui definisi ilmu tafsir secara bahasa dan istilah. dan
  9. الترغيب في تفسير القرآن.
Adapun karakteristik tafsir ini ialah :[3]
  1. Dalam tafsir Bahru Muhit dilengkapi dengan beberapa cabang ilmu yang meliputiNahwu, Saraf, Balaghah,hukum-hukum Fiqih dan yang lainnya yang dianggap olehnya masih ada hubungannya dengan rujukan Tafsir.
  2. Bahasa pengungkapannya cukup mudah.
  3. Dinamakan dengan ‘Al-Bahr al-Muhit’ memandang penuhnya ilmu yang relevan dengan tafsir di dalamnya.
  4. Abu Hayyan banyak bergantung kepada kitab tafsir sebelumnya seperti kitab Zamaksyari dan Ibn Atiyah.
  5. Beliau menyebut tentang Israiliyyat dan Hadish maudu' tetapi kebanyakkannya beliau nyatakan kedudukan dan ketidasahihannya dan memberi keterangan kepada pembaca supaya tidak terpedaya dengannya. CeritaIsrailiyyat yang ada dalam tafsirnya ialah tentang kisah batu Nabi Musa AS dan keadaannya. Adapun Hadis palsuialah sebagaimana yang diadakan terhadap Nabi SAW tentang nama 12 bintang yang dilihat oleh Nabi Yusuf AS dalam mimpinya.
  6. Meletakkan syawahid syair dalam menuliskan Tafsirnya karena disisinya syawahid syair mempunyai tempat yang tinggi dalam pembinaan Qawaid Nahu dan lebih mudah baginya menerangkan makna ayat dan juga beliau membuat penerangan-penerangan yang banyak.
  7. Menyebutkan ketarangan-keteranganQiraat dan I’rab. Ini kerana tinjauan yang berbeda atas analisis keduanya akan menghasilkan makna yang berlainan.
METODOLOGI TAFSIR BAHR AL-MUHIT

Berdirinya tafsir Abu Hayyan dengan asas daripada Nahu dan Lughah, dari sini menampakkan kekuatan tafsirannya dalam setiap bab dan penerangan yang jelas. Didalam menulis tafsirnya Abu Hayyan banyak menggunakan metode dirayah dan Ijtihad.[4] Disamping itu, beliau menyusun kitab Tafsirnya ini dengan kaedah-kaedah berikut:[5]
  • Meletakkan kalimat-kalimat mufradatyang berkaitan ayat di permulaan setiap Surah. Ia hanya bertujuan supaya penafsiran menjadi lebih jelas dan mengelakkan kesalahan daripada satu kalimah yang kadang-kadang mempunyai dua makna dan satu lafal yang berbeda mempunyai makna yang sama.
  • Meletakkan Asbabun Nuzul. Perkara ini adalah penting karena itu adalah salah satu ilmu yang wajib dipelajari oleh seorang penafsir dan juga untuk mengetahui kepada siapa dan untuk apa ayat itu diturunkan,Mengetahui Nasikh dan Mansukh dan kemunasabahan ayat-ayat apabila dibandingkan dengan ayat-ayat sebelum atau selepasnya.
  • Sentiasa meletakkan Hadis-hadis yang disebutkan Zaid bin Sabitkepada Nabi Muhammad dalam ayat dan juga meletakkan nuqilan-nuqilan dari para Sahabat dan golongan yang thigah dari kalangan Tabi’in.
  • Tidak memastikan kepada dirinya dalam menilai keshahihan suatu hadis tetapi,melalui analisis darimana sumber hadis tersebut.
  • Terdapat juga hadis-hadis dha’if didalam tafsirannya yang mana diriwayatkan oleh seorang yang tidak thiqah. Ini beliau cantumkan hanya memberi keterangan kepada pembaca untuk tidak terpedaya dengannya. Hal ini juga sangat bsedikit dan jarang sekali dijumpai.
  • Meletakkan juga pembahasan fiqh 4 mazhab jikabeliau menemukan keterangan-keterangan yang berkaitan dengan soal hukum-hukum fiqh.
CONTOH TAFSIR BAHR AL-MUHIT

Surah al-A‘raf Ayat 180 menurut Abu Hayyan: 

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴿ الاعراف : ١٨٠﴾

Artinya: “Hanya milik Allah al- Asma-ulHusna (nama-nama yang agung yang sesuai dengan sifat-sifat Allah), maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut nama-nama baik itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadapapa yang telah mereka kerjakan”. (Surah al-A‘Raf : ayat 180) 

Abu Hayyan al-Andalusi di dalam kitab tafsirnya, Al-Bahr Al-Muhit Menerangkan bahawasanya setelah melihat kronologiayat 179 surah Al-A‘raf sampai kepada ayat 180 surah Al-A‘raf, ternyata Allah telah memberikan peringatan penting kepada umat manusia agar mengingat Allah dan menyeru kepadaNya dengan Asma al-Husna.[1] Menurut beliau, cara inilah yang mampu menyelamatkan umat manusia dan jin dari api Neraka. Sesungguhnya hati yang lalai daripada Allah akan mudah diresapi penyakit cinta dunia. Tambahan pula, apabila seseorang itu selalu menyeru Allah dengan nama-namaNya yang terbaik dan senantiasa mengingatiAllah akan timbul kelazatan ketika melakukan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya.[2]

Diantara kutipan lain dalam tafsirnya, antara lain : 

قال مقاتل : دعا رجل الله تعالى في صلاته ومرة دعا الرحمن ، فقال أبو جهل : أليس يزعم محمد وأصحابه أنهم يعبدون ربّاً واحداً فما بال هذا يدعو اثنين فنزلت ،

Mukatil berkata, seorang laki-laki berdo’a kepada Allah Ta’ala di dalam shalatnya berkali-kali menyebut Ar-Rahman ( الرحمن ). Melihat hal itu, Abu Jahal berkata : Bukankah Nabi Muhammad dan Sahabat-sahabatnya berkata bahwa mereka beribadah kepada Tuhan yang satu. Maka ada apa dengan dengan do’a semacam ini? Maka turunlah ayat ini. [3]

قال الزمخشري :.... ﴿ فادعوه بها ﴾ أي نادوه بها كقولك : يا الله يا رحمن يا مالك وما أشبه ذلك ، وقال الزمخشري : فسمّوه بتلك الأسماء جعله من باب دعوت ابني عبد الله أي سميته بهذا الاسم واختلف في الاسم الذي يقتضي مدحاً خالصاً ولا تتعلق به شبهة ولا اشتراك إلا أنه لم يرد منصوصاً هل يطلق ويسمى الله تعالى به فنصّ القاضي أبو بكر الباقلاني على الجواز ونصّ أبو الحسن والأشعري على المنع ،[4]

Hal diatas beliau meriwayatkannya dari ImamAl-Zamakhsyari apa yang dimaksudkan dengan perkataan ( فادعوه بها), ialah serulah kepada Allah dengan nama-nama yang terbaik dan para ulama telah berselisih pendapat di dalam perkara yang berkaitan dengan penamaan menggunakan nama-nama Allah keatas selainNya. Abu Bakar al-Baqilani berpendapat  bahwa harus, manakala Abu Hassan al-Asy‘ari, jumhur ulama dan para fuqaha berpendapat tidak harus dan inilah pendapat yang paling tepat.

SUMBER RUJUKAN TAFSIR BAHR AL-MUHIT

Abu Hayyan dalam menyusun tafsirnya tidak lepas dari berbagai referensi kitab-kitab klasik lainnya. Hal ini beliau lakukan demi mewujudkan Kitab ini sesuai dengan namanya Al-Bahru Al-Muhit. Referensi-referensi tersebut bersumber dari berbagai disiplin ilmu selama masih terkait dengan Wawasan Tafsir. Ini bukan berarti penulisan kitab Bahrul Muhit seutuhnya atas landasan kitab-kitab terdahulu. Namun, tidak jarang juga beliau melakukan kritikan terhadap kitab-kitab tersebut. Beliau hanya melakukan penilaian atas kitab-kitab terdahulu dan mengambilnya yang beliau yakini serta membantahnya yang dianggapnya salah dengan landasan Al-Quran dan Hadis. Adapun referensi-referensi yang dimaksud ialah:

a. Bidang Tafsir

Untuk disipli keilmuan ini, Beliau mengambil dari kitab syaikhnya Imam Sholeh al-Qudwah al-Adib Jamaluddin Abi Abdullah Muhammad bin Sulaiman bin Hassan bin Hussin al-Maqdisi al-Ma’ruf bi Ibni Naqib, yaitu:
  • Al-Kasyaf,
  • Muharar al-wajiz, dan
  • Tahrir wa tahbir. 
b. Bidang Qiraat
  • Al-Iqna’, dan
  • Kitab Misbah. 
c. Bidang Hadis
  • Sahih Bukhari,
  • Sahih Muslim,
  • Sunan Abi Daud,
  • Sunan Nasa’i, dan
  • Sunan Tirmidzi.
  • Sunan Ibn Majah
  • Musnad Thialisi
  • Sunan Daruqutni
  • Mu’jam Kabir/
  • Awsad/ Shorir. 
d. Bidang Nahwu
  • Al-Kitab,
  • Al-Tashil,
  • Al-Mumta’
  • Al-Takmil syarah Tashil, dan
  • Al-Tazkirah. 
e. Bidang Ushul Fiqh
  • Al-Mahsul,
  • Al-Isyarah,
  • Syarh Kitab Isyarah,
  • Mukhtasar al-Mahsul, dan
  • Al-Qawaid. 
f. Bidang Fiqh
  • Al-Mahla, dan
  • Al-Anwar al-Ajali fi Ikhtisar al-Mahla.
  • Bidang Tarikh
  • Al-Sirah,
  • Qalaid al-Aqyan wa Mahasin al-A’yan, dan
  • Syilah. 
h. Bidang Ushuluddin

Tidak disebutkan kitab yang khusus berkaitan sumber usuluddin.

i. Bidang Balaghah
  • Minhaj al-Bulagha’e wa Syaraji al-Adaba’,
  • Nizam al-Quran, dan
  • Al-Intisar fi I’jaz al-Quran
KEHIDUPAN AGAMA ABU HAYYAN

a. Pegangan Akidahnya

Sejak Abu Hayyan bermukim di Madinah dan di Andalus, awalnya beliau berpaling daripada ilmu-ilmu Aqliyyah seperti Falsafah, Mantiq dan Ilmu Kalam dan Astrologi dan sebagainya.Menurut Ilmuwan Islam, corak pemikiran keilmuan ini yang menjadikan masyarakat Andalus merosot dan sesat. Obsesi ini berdalih bawha menggunakan ilmu falsafah dapat menyibukkan diri dalam ilmu tersebut yang bersifat dengan sifat zindiq. 

Dan itulah yang dikatakan oleh Pentahqiq bahwa Abu Hayyan semasa di Andalus mempunyai aqidah yang selamat.Berkata Ibn Hajar rahimahullah daalm kitabnya al-Darar(الدرار) tentang Aqidah Abu Hayyan: “Beliau adalah boleh dipercaya, hujjah yang dhabit dan selamat daripada ikutan falsafah dan al-I’tizal dan tajsim”. 

b. Abu Hayyan dan kebatinan

Tidak banyak dibincangkan tentang beliau terhadap kebatinan namun ada sedikit ulasan oleh Pentahqiq mengenai beliau berkaitan kebatinan yaitu, pandangan beliau terhadap kebatinan dalam kitab tafsirnya jelas sekali beliau meninggalkan pendapat dan kata-kata golongan batiniyyah yang keluar dari lafal-lafalArabiyyah dari segi dalilnya. 

c. Abu Hayyan dan Mazhab Fiqhnya

Mengenai mazhab Abu Hayyan adalah beliau berpegang dengan fiqh Mazhab Maliki di Andalus kerana beliau disana mempelajari kitab Muwatta’ Imam Malik.Dalam satu riwayat didalam kitab-kitab tabaqat dan juga sejarah mengatakan beliau bertukar-tukar mazhab berbilang-bilang yaitu Mazhab Maliki, Zahiri dan yang terakhir bermazhabkan Syafi’i. Selepas sampai di Mesir beliau mengikut Mazhab Syafi’i dan mengarang kitab Al-Wahaj fi Ikhtisar al-Minhaj dan Minhaj adalah karangan Imam Nawawi rahimahullah. Beliau juga mensyarahkan mazhab dalam fiqh syafi’i, kebanyakan pandangan-pandangan didalam kitab tafsirnya diambil dari pendapat Imam Syafi’i. 

Baca Juga:

pdf DOWNLOAD >> KLIK ME

ENDNOTE


[1] Hakim-eze,Senarai Kitab Tafsir dan Pengarangnya ,  Hal. 12
[2] Abu Hayyan, Al-Bahr Al-Muhit, Bab مقدمةالمؤلف , Hal. 2
[3] Jurnal, Tafsir wa al-Mufassirun, 1/206.
[4] Hakim-eze, Senarai Kitab Tafsir dan Pengarangnya, Posted : Abu Fathimatuzzahra’.
[5] Dr. Hani' Halim, Metodologi Penafsiran Al-Qur'an,  Hal 320
[6] Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al-Mufashirun,  (Kuwait: Daar al-Dakwah, 1405)
[7] Ibid.
[8] Abu Hayyan, Bahrul Muhit, Bab Tafsir Surah Al-A’raf
[9] Ibid.

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.