Articles by "Ulumul Hadis"

Tampilkan postingan dengan label Ulumul Hadis. Tampilkan semua postingan

SQ Blog - Ingkar sunnah adalah kelompok yang menolak dan mengingkari sunnah atau hadis. Ingkar sunnah baik klasik maupun modern pada hakikatnya tidak ada perbedaan yang signifikan. Ingkar Sunnah klasik muncul karena menganggap Al-Quran sudah lengkap dan telah menjelaskan segala sesuatunya bagi mereka. Adapun ingkar sunnah modern muncul karena analisa jarak antara Nabi dan penulisan hadis sangat jauh. 

Tipologi Ingkar Sunnah
  • Ingkar sunnah klasik pada umumnya  hanya bertumpu pada al-Quran, tidak dengan hadis;
  • Ingkar Sunnah modern dalam mendasarkan hukumnya hanya menerima hadis-hadis mutawatir, bukan dengan hadis ahad. Menurut Musthafa Ya'qub, ini sangat fatal karena betapa banyak ajaran Islam yang akan gugur jika menolak keabsahan hadis ahad
Kategori Ingkar Sunnah
  • Menolak hadis secara parsial, mislanya hanya menerima hadis mutawatir dan menolak hadis ahad;
  • Menolak hadis secara keseluruhan seperti kaum atesime dan komunisme
Bantahan terhadap Ingkar Sunnah

Kebatilan Ingkar sunnah dapat dihadapi dengan memberikan gambaran sejarah yang utuh. Hal ini disebabkan, pemahaman mereka dalam merespon sejarah hanya sebagiannya saja, tidak secara menyeluruh. Misalnya Sirah Nabi, sejarah Arab, dan penulisan hadis.

Inilah yang telah dilakukan oleh para ulama dengan berbagai karyanya dalam mengungkap sirah Nabi, penulisan hadis dan lainnya. Di antaranya Muhammad Mustafa Azami dalam bukunya Dirasat fi Al-Hadith An-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Muhammad Ajaj Al-Khatib dalam bukunya Ushulul Hadis, termasuk Ali Mustafa Yaqub ulama Hadis asal Indonesia dalam bukunya Kritik Hadis.

Pada konteks lain, dapat dijawab dengan merujuk pada ayar-ayat al-Quran. Banyak ayat al-Quran yang menyinggung untuk menjadikan sunnah sebagai sumber hukum yang juga harus di taati. Alasan ini tiada lain kerena Sunnah juga sebagai bayan terhadap al-Quran dan merupakan wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi yang diterima melalui Nubuwah dengan perantaraan tidak melalui Jibril. Firman Allah SWT:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى.


Artinya: Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. An-Najm 3-4)

Sekian
Oleh: Hasrul

SQ Blog - Hadis dapat diterima dengan beberapa syarat. Syarat-syarat tersebut disamping memiliki kesamaan dari masing-masing diskursus keilmuan, juga terdapat perbedaan-perbedaan. Berikut uraian persamaan dan perbedaan penerimaan hadis menurut ahli Hadis, Fiqih, dan Sufi.

Persamaan metodologi Ahli Hadis, Fiqih dan Sufi dalam menerima hadis
  1. Sanadnya tersambung;
  2. Rawinya adil; dan
  3. Rawinya dhabit.
Perbedaan metodologi Ahli Hadis, Fiqih dan Sufi dalam menerima hadis
  • Ahli Hadis
  1. Sanad tersambung
  2. Rawinya adil
  3. Rawinya dhabit
  4. Tidak ada Syadz
  5. tidak ada illat
  6. Hadis baik qauli, fi'li, taqrir dan harapan nabi yang belum tercapai
  • Ahli Fiqih
  1. Sanad tersambung
  2. Rawinya adil
  3. Rawi dhabit
  4. Amalan ahlul Madinah
  5. Tidak ada syadz
  6. tidak ada illat
  7. Memuat hukum
  8. Hanya hadis qauli dan fi'li
  • Ahli Sufi
  1. Sanad tersambung
  2. Rawinya adil
  3. Rawi dhabit
  4. Hanya mengambil hadis qauli dan harapan Rasulullah
Perbedaan pandangan mereka dari masing-masing kelompok karena adanya perbedaan pandangan dan kebutuhan akan hadis sesuai latar bidang keilmuan masing-masing. Secara umum, alasan inilah yang secara signifikan memberikan ruang pebedaan. Walaupun pada sisi lain, dilatabelakangi kualitas keilmuan yang berbeda-beda serta hal-hal lain yang menjadi faktor penentu dalam memahami hadis.

Walaupun demikian, perbedaan pandangan ini dapat dipertemukan dan diselesaikan dengan alasan:
  • Adanya persamaan cara pandang yaitu potret kehidupan Rasulullah,
  • Perbedaan tersebut terjadi karena ruang dan tempat yang berbeda, ini merupakan suatu keniscayaan dan kewajaran,
  • Memahami hakikat perbedaan yang sesungguhnya karena perbedaan adalah salah satu rahmat Allah yang dapat memberikan kemudahan bagi hamba-hambanya.
Wallahu A'lam
Oleh: Hasrul

SQ Blog - Mengenal hadis dhoif atau hadis lemah, pengertian, macam-macamnya, contoh, dan hukum mengamalkan hadis dhoif. Berikut uraiannya.

Definisi Hadis Dhoif

Dhoif berarti lemah atau lawan dari kuat. Hadis dhoif adalah hadis yang tidak memenuhi kualifikasi Hadis Shohih dan Hadis HasanPenyebab hadis dhoif dapat dibagi menjadi 2, yaitu ketersambungan sanad dan kredibilitas perawi.

Kedhoifan suatu hadis akan berbeda-beda, seperti halnya perbedaan pada tingkat keshohihan dalam sebuah hadis shohih.

Al-Baiquni dalam Mandzumatul Baiquniyyah mengatakan:

وكل ما عن رتبة الحسن قصر # فهو الضعيف وهو اقسام كثر

Artinya, Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits dhaif memiliki banyak ragam.

Pembagian Hadis Dhoif

Pembagian hadis dhoif dapat dibaca pada postingan sebelumnya:

Contoh Hadis Dhoif

Di antara contoh hadis dhoif sebagai berikut: 

حَدَّثَنَا بُنْدَارٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ وَبَهْزُ بْنُ أَسَدٍ قَالُوا حَدَّثَنَا حَمَادُ بْنُ سَلَمَةِ عَنْ حَكِيمٍ الْأَثْرَمِ عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ الهُجَيْمِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه االترمذي) 

Imam Tirmidzi berkata setelah meriwayatkannya, kami tidak tahu hadits ini melainkan dari hadis hakim Al-Asrom dari Abi Taymiyyah Al-Hijmi dari Abi Hurairah.

Hukum Mengamalkan Hadis Dhoif

Nah sekarang kita akam kemukakan tiga pendapat dikalangan ulama mengenai hukum pengamalan hadis dhaif:
  1. Hadis dhoif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadha’il maupun ahkam. Ini diceritakan oleh Yahya ibnu Ma’in dan pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Araby. Tampaknya ini juga merupakan pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim serta Ibnu Hazm.
  2. Hadis dhoif bisa diamalkan secara mutlak menurut Abu Daud dan Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhoif lebih kuat dari pada ra’yu perseorangan.
  3. Hadis dhoif bisa digunakan dalam masalah fadhailul amal, mawa’idz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
  • Kedhaifannya tidak terlalu sehingga tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau tertuduh berdusta.
  • Ruang lingkupnya bukan dalam ruang lingkup aqidah dan hukum syariat
  • Mengamalkannya tidak menyakini bahwa ia berstatus kuat dan juga tetap dinaugi oleh dasar hukum Islam (ayat atau hadis) lainnya.
Analisa terakhir, M. Ajaj al-Khatib dalam kitabnya Ushul al-Hadis menyebutkan bahwa pendapat pertamalah yang yang paling selamat. Menurut beliau, banyak hadis-hadis Nabi yang shahih tentang fadhailul amal, targhib, dan tarhib yang sudah cukup agar kita tidak perlu meriwayatkan hadis-hadis dhoif mengenai masalah fadhail dan sejenisnya.

Untuk kesimpulan kami mengenai pengamalan hadis dhoif ini, tidak ada larangan bagi ahli ilmu. Adapun bagi yang awam, sebaiknya tidak mengamalkannya demi kehati-hatian.

Sumber: Ushul Hadis karya M. Ajaj Khotib, Dasar-dasar Ilmu Hadis karya Imam An-Nawawi, Manzhumah al-Baiquniyah

SQ Blog - Pemikiran Abu Rayyah yang banyak mengkritisi hadis sebagaimana yang ia kemukakan dalam bukunya ‘Adwa ala As-Sunnah mengantarkannya dalam golongan Inkar Sunnah, yaitu golongan yang menginkari Hadis Nabi Saw sebagai hujjah dan sumber kedua ajaran Islam. Ia termasuk golongan Inkar Sunnah Modern dari Mesir yang disejajarkan Tawfiq Shidqiy (w. 1920 M), Ahmad Amin (w. 1954 M), Ahmad Subhi Mansur dan Musthafa Mahmud. Jika mengikuti pembagian Inkar Sunnah oleh Al-Syafi’i,[1] Abu Rayyah masuk dalam kelompok yang mengingkari sunnah secara keseluruhan.

Ingkar Sunnah menurut Imam Al-Syafi’i terbagi tiga kelompok;[2]
  1. Golongan yang menolak Sunnah secara keseluruhan,
  2. Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnnah itu sesuai dengan petunjuk al-Quran,
  3. Golongan yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad mereka hanya menerima Sunanh yang berstatu mutawatir.
Secara spesifiknya pemikiran Abu Rayyah sebagai berikut:
  1. Al-Sunnah dan posisinya dalam ajaran agama, menurut Abu Rayyah, As-Sunnah sebagai pedoman hidup manusia yang menempati posisi kedua setelah Al-Qur’an, Abu Rayyah membagi Al-Sunnah kepada dua bagian: Pertama, Al-Sunnah Al-‘amaliyyah. Kedua, As-Sunnah Al-qauliyyah. Adapun al-Sunnah al-qauliyyah, Abu Rayyah menjadikannya pada derajat ketiga dari agama, berada dibawah al-Sunnah al-‘amaliyyah;
  2. Tadwin Hadis, Abu Rayyah menyatakan bahwa pencatatan tekstual literatur hadis tidak dapat dipercaya, dengan menekankan bahwa pencatatan itu dilakukan jauh setelah hadis muncul. 
  3. ‘Adalah al-sahabah, menurut pandangan Abu Rayyah yang harus diteliti tidak hanya level bawah sahabat tetapi di semua tingkatan, sahabat juga tidak bisa terlepas dari tarjih.
  4. Salah satu sahabat yang terkena tarjih atau yang banyak dikritik oleh Abu Rayyah dalam bukunya adalah Abu Hurairah, menurut Abu Rayyah: Abu Hurairah namanya banyak dan tidak jelas asal muasalnya, motivasi kedekatannya dengan Nabi adalah hanya untuk mengenyangkan perutnya, rakus, terlambat masuk Islam, dan banyak meriwayatkan hadis dari pada sahabat Nabi lainnya dengan waktu yang sangat singkat. Pada masa Mu’awiyyah, ia menulis hadis dengan tujuan politik dan ia seorang mudallis. Hal ini menyebabkan menurut Abu Rayyah, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah harus diteliti kembali.
Urian lebih lanjut dari pemikiran Abu Rayyah di atas, dapat sobat baca pada link di bawah ini: (Proses)
  1. Posisi Hadis menurut Abu Rayyah
  2. Tadwin Hadis dalam Kacamata Abu Rayyah
  3. 'Adalah al-Shabah dalam Pandangan Abu Rayyah
  4. Kritikan Abu Rayyah terhadap Sahabat Abu Hurairah
ENDNOTE

[1] Imam Al-Syafi’i, Ikhtilaf al-Hadis (Kairo: Da’r al-Ma’arif, 1393 H), Juz 7, h. 7-12
[2] Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar Sunanh  (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 132; Lihat juga, Muh. Munib, Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah; “Telaah Atas Kitab Adwa’ ‘Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah”, Skripsi; Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2012, h. 20; Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa ‘Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa, Jurnal Studia Islamika, UIN Sunan Kalijaga, Vol. 9, No. 2, h. 274.

SEKIAN - SEMOGA BERMANFAAT
SQ BLOG

SQ Blog - Diantara karya Mahmud Abu Rayyyah yang fenomenal, yaitu ‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Sorotan tentang Sunnah Nabi Mukammad) yang terbit tahun 1958 M, sekitar 395 halaman. Latar belakang penulisan kitab ini dilatar belakangi oleh semangat modernisasi Abu Rayyah untuk mengubah keadaan umat Islam pada waktu itu, yang terlelap oleh sikap jumud. Hal inilah yang membuatnya merasa perlu adanya penelitian terhadap hadis tanpa perlu secara otomatis tunduk atau patuh mengikuti teori-teori para ulama sebelumnya (mutaqaddimin), dengan menerobos taqlid yang menurutnya hal inilah yang menyebabkan kemunduran dalam Islam.[1]

Kitab ini merupakan hasil kajian dan penelitiannya mengenai sejarah Sunnah, keraguan-raguannya terhadap keshahihannya dan pandangannya yang mengecilkan arti penting Sunnah di mata umat Islam.[2] Abu Rayyah memang menjadikan sejarah sebagai pendekatan dan pisau analisis dalam menjelaskan jati diri hadis. Namun pada akhirnya, buku ini justru menyulut kemarahan para ulama hadis karena pemikiran Abu Rayyah yang tertuang di dalam bukunya dinilai bersebrangan, terutama pembahasan mengenai Abu Hurairah. Sehingga mereka tergugah untuk memberikan tanggapan dan sanggahan atas tuduhan-tuduhan di dalamnya.[3]

Abu Rayyah dalam bukunya tersebut menyajikan satu bab khusus untuk yang memuat kritikannya terhadap Abu Hurairah yang kemudian menjadi satu buku tersendiri yang berjudul “Syekh al-Madi’rah; Abu Hurairah” (شيخ المضيرة: أبو هريرة).[4] Selain itu, buku ini berisi dari beberapa bab diantaranya; membahas tentang sebagian kitab yang diduga atau menurut Abu Rayyah tidak menyampaikan perkataan dan perbuatan Nabi Saw, namun merupakan suatu rekayasa orang-orang yang hidup se-zaman dengan Nabi dan generasi-generasi sesudahnya untuk menciptakan hadis. Lebih jauhnya menurutnya, Hadis Ahad[5] tidak boleh diberlakukan pada komunitas muslim sepanjang zaman.[6] Materi-materi dua buku karya Abu Rayyah tersebut tidak keluar dari sumber-sumber berikut:[7]
  • Pendapat-pendapat imam Mu’tazilah yang dinukil dari mereka;
  • Pendapat-pendapar radikal dari syi’ah yang secara terang-terangan dinyatakan dalam karangan-karangan mereka;
  • Pendapat-pendapat para orientalis yang termuat dalam buku-buku mereka, khususnya Da’irah al-Ma’arif (ensiklopedia) dan Dirasah al-Islamiyyah karya Ignaz Goldziher; dan
  • Cerita-cerita yang disebutkan dalam beberapa buku sastra yang penulisnya diragukan kejujuran dan pengetahuannya akan fakta-fakta
Kitab ‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah menurut Shalahuddin Maqbul Ahmad sangat digemari musuh-musuh Islam, hingga salah satu kedutaan asing di Kairo membeli sebagian besar naskahnya untuk dikirim ke perpustakaan-perpustakaan barat. Hal itu supaya buku tersebut sampai kepada orang-orang yang dendam kepada Islam, Rasul dan para sahabatnya, dan dijadikan sandaran untuk mengeluarkan kebohongan dan kebatilan.[8]

Kitab yang terbit tahun 1958 M tidak lepas dari sorotan dan kritikan para ulama. Tercatat bahwa setelah buku tersebut terbit, bermunculan kurang lebih sembilan buku yang terbit untuk menanggapi kitab ‘Adwa’ tersebut. Di antaranya:[9]
  1. Majallat al-Azhar ditulis oleh seorang profesor di Fakultas Ushuluddin al-Azhar, Muhammad Abu Syuhbah. Namun, Abu Syuhbah tidak menjelaskan alasannya kenapa ia menolak atas pernyataan Abu Rayyah;
  2. Abu Hurayrah fi al-Mizan (1958), ditulis oleh Muhammad al-Samahi dari Fakultas yang sama;
  3. Difa’ ‘an al-Hadits al-Nabawi wa Tafnid Syubuhat Khushumih (1958), ditulis oleh Tim beberapa teolog non-Mesir;
  4. Zhulumat Abi Rayyah Imam Adlqa’ al-Sunah al-Muhammadiyah (1959), ditulis oleh seorang profesor teologi di Mekkah Abd. Al-Razzaq Hamzah;
  5. Al-Anwar al-Kasyifah lima fi Kitab Adlwa’ ‘ala al-Sunnah min al-Dalalah wa al-Tadl’lil wa al-Mujazafah (1959), ditulis oleh seorang sarjana di Mekkah, Abd. Al-Rahman al-Yamaniy;
  6. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy (1961), ditulis oleh Musthafa al-Siba’iy. Isinya mengkritik semua pendapat Abu Rayyah terhadap Abu Hurairah tidaklah diterima karena Abu Rayyah mengutip pendapat dari al-Salabi dan Hamzani yang karyanya tidak dianggap sebagai sumber yang valid untuk mendapatkan data historis;
  7. Abu Hurayrah Rawiyat al-Islam (1962);
  8. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin (1963), ditulis oleh Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, dan
  9. Abu Hurairah dalam berbagai tulisan oleh Muhammad Abu Zahrah. 
Berbagai macam kritikan yang menghujat terhadap pemikiran Abu Rayyah. Menunjukkan bahwa para ulama sangat menjunjung tinggi hadis Nabi dan sangat tidak benci serta menolak terhadap pendapat-pendapat yang tidak menerima dan mencela hadis Nabi Saw (ingkar Sunnah). Menurut Shalahuddin Maqbul Ahmad, isi dari kedua buku Abu Rayyah tersebut, yaitu ‘Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah au Difa’a al-Hadis dan Syekh al-Madirah; Abu Hurairah menunjukkan seluruh ketidaktahuannya akan hakikat-hakikat tradisi Islam, keterpedayaannya oleh metode ilmiah yang diasumsikannya, kecintaannya akan popularitas murahan, klaim tentang kebebasan berfikir, dan jebakan hawa nafsu orientalis yang menjeratnya.[10]

ENDNOTE

[1] G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), (Bandung : Mizan, 1999), h. 59.
[2] Shalahuddin Maqbul Ahmad,  Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli “Jawabi’ fi Wajhi al-Sunah Qadiman wa Haditsan” (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72
[3] Muhammad Makmun Abha (ed), Yang Membela Dan Yang Menggugat, h. 102.
[4] G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hlm. 91
[5] Hadis Ahad juga popular dengan sebutan khabar wahid, ialah hadis yang tidak sampai ke tingkat mutawatir.
[6] Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku “Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah dalam Hunafa. h. 278.
[7] Shalahuddin Maqbul Ahmad,  Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli “Jawabi’ fi Wajhi al-Sunah Qadiman wa Haditsan” (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72, Lihat juga, Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar Sunanh  (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 132-133.
[8] Shalahuddin Maqbul Ahmad,  Bahaya Mengingkari Sunnah, h. 73; Lihat juga, Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunah, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 89-90.
[9] Muh. Munib, Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah, Skripsi; Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2012, h. 22.
[10] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunah (Jakarta: Kencana, 2011), h. 90. Lihat juga, Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli “Jawabi’ fi Wajhi al-Sunah Qadiman wa Haditsan” (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72

SEKIAN

SQ Blog - Para sahabat meriwayatkan Hadis dari nabi Muhammad Saw sangat banyak jumlahnya. Mereka membawa berbagai data keagamaan yang sangat bermanfaat bagi umat Islam. Para ulama telah banyak melakukan penghitungan terhadap jumlah sahabat nabi Muhammad SAW. Imam Al-Bukhari di dalam Shahihnya meriwayatkan bahwa Ka’ab bin Malik berkenaan dengan kisah keterlambatannya dari perang Tabuk berkata, “Sahabat Rasulullah Saw sangat banyak, sehingga tidak mungkin bisa dimuat di dalam buku.” Keberadaan para sahabat sudah ada di berbagai negeri dan kawasan. Sehingga, ulama yang melakukan penghitungan secara keseluruhan berdasarkan perkiraan.[1]

Sebagian ahli berpandangan bahwa jumlah sahabat yang meriwayatkan Hadis dari Nabi Muhammad Saw tidak kurang dari 114 ribu sahabat. Jumlah ini menjadi logis, jika digunakan istilah ‘sahabat’ dalam arti luas, yakni setiap orang yang melihat Nabi Muhammad Saw. Namun jika digunakan istilah ‘sahabat’ dalam arti sempit, barangkali jumlahnya tidak sebanyak itu. Misalnya, para ‘ulama Syi‘ah Imamiyah menggunakan makna sahabat dalam arti sempit, sehingga sahabat Nabi Muhammad Saw menurut mereka tidak terlalu banyak jumlahnya.

Pandangan lain mengutarakan bahwa kendati jumlah sahabat nabi Muhammad SAW berjumlah 114 ribu orang, namun tidak semua meriwayatkan hadis. Sebagian ahli menyatakan bahwa hanya 369 sahabat yang meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad SAW. Kendati demikian, semua sahabat itu tidak meriwayatkan hadis dalam jumlah yang sama. Dalam keterangan lain disebutkan terdapat sekitar 40 ribu sahabat dilaporkan bersama nabi ketika beliau melaksanakan haji Wada di Mekkah. Akan tetapi, tidak semua dari mereka meriwayatkan Hadis. Beberapa di antaranya meriwayatkan sejumlah Hadis, sementara yang lainnya hanya terbatas.[2]

Dalam Muwattha Imam Malik, 98 sahabat dikutip sebagai periwayat Hadis. Dalam Musnad karya al-Thayalisi terdapat 281 sahabat, dalam Musnad Ahmad bin Hanbal terdapat 700 sahabat dan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim masing-masing 208 dan 213 sahabat, 149 di antaranya dikutip dalam dua kitab tersebut.[3]

Dalam Kutub al-Sittah, terdapat sekitar 986 sahabat dikutip sebagai periwayat Hadis. Enam di antaranya meriwayatkan Hadis dalam jumlah besar yang disebut al-mukatstsirun fi’ al-Hadis. Sembilan sahabat lainnya meriwayatkan dengan jumlah antara 50-100 Hadis. Enam puluh delapan sahabat dikatakan meriwayatkan 10-50 Hadis, Delapan ratus delapan puluh sahabat dikatakan meriwayatkan 1-10 Hadis. Patut dicatat bahwa sejumlah sahabat yang paling senior dan terhormat hanya meriwayatkan Hadis dalam jumlah yang relatif sedikit. Abu Bakar hanya meriwayatkan 65 Hadis, Umar bin Khattab meriwayatkan 312 Hadis, Utsman bin Affan meriwayatkan 72 Hadis, dan Ali bin Abi Thalib meriwayatkan 332 Hadis.[4]

Ada tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad Saw sebanyak lebih dari seribu hadis,[5] yaitu:
  1. Pertama, Abû Hurairah, sebanyak 5374 buah hadis. 
  2. Kedua, ‘Abd Allâh bin ‘Umar bin Khattab, sebanyak 2630 buah hadis. 
  3. Ketiga, Anas bin Malik, sebanyak 2286 buah hadis. 
  4. Keempat, ‘Aisyah binti Abû Bakar, sebanyak 2210 buah hadis. 
  5. Kelima, ‘Abd Allâh bin ‘Abbâs bin ‘Abd al-Muthâlib, sebanyak 1660 buah hadis. 
  6. Keenam, Jabîr bin ‘Abd Allâh, sebanyak 1540 buah hadis. 
  7. Ketujuh, Abû Sa’id al- Khudrî, sebanyak 1170 buah hadis.
Peranan sahabat sangat signifikan sebagai transmitter ajaran-ajaran Islam pertama. Ini dikemukakan oleh Ali Mustafa Ya’qub bahwa para sahabatlah yang berperan sebagai penyampai atau transmitter hadis pertama. Dari merekalah sehingga umat Islam mengetahui dan memahami Hadis-hadis dari nabi Muhammad Saw. Dengan kata lain, tanpa para sahabat mustahil umat Islam belakangan dapat mengetahui ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan taqrir yang bersumber dari baginda nabi Muhammad Saw.[6]

ENDNOTE

[1] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. IV, h. 391.
[2] Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis (Bandung: Mizan, 2009), Cet. I, h. 51
[3] M.Z. Siddiqi, The Services of the Companionsof the Prophet of Islam to his Traditions dalam Islamic Culture (T.t: T.tp., 1961), h. 132.
[4] Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadis, h. 51.

[5] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis, h. 332-343.

SQ Blog - Sejumlah intelektual Islam kontemporer mencoba menggoyang kredibilitas sahabat, antara lain Taha Husein, Ahmad Amin, dan Abu Rayyah. Taha Husein adalah tokoh Sastera Arab, sementara Ahmad Amin adalah tokoh intelektual Islam di Mesir, dan adapun Abu Rayyah lebih populer sebagai tokoh Ingkar Sunnah di Mesir. Secara umum mereka berpendapat bahwa para sahabat itu tidak lebih dari sekedar manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan.[1] Karenanya mereka juga perlu diteliti identitasnya, apakah mereka memenuhi persyaratan sebagai rawi yang memiliki kredibilitas (‘adalah wa al-Dhabt) atau tidak. Mereka mempertanyakan, apabila rawi-rawi yang bukan sahabat mesti diteliti identitasnya, mengapa rawi-rawi yang terdiri dari para sahabat dinyatakan kebal dari kritik dan penelitian? Padahal mereka itu sama-sama manusia.

Menurut Ali Mustafa Ya’qub, secara umum kritik-kritik kaum intelektual Islam kontemporer terhadap kredibilitas sahabat (‘adalah al-shahabah) dapat dikelompokkan menjadi empat poin.[2] Keempat kritikan tersebut tidak jauh berbeda dengan kritikan yang dilontarkan oleh Ahmad Husein Ya’qûb, seorang ‘ulama Syi‘ah Imamiyah, yang telah disebutkan di atas. Berikut ulasan keempat dari kritikan tersebut serta tanggapan-tangapannya:

Konsep ‘Adalah Al-Shohabah’ bukan Pendapat Ulama yang Mahaqqiqin

Jawabannya:

Salah satu kritikan intelektual kontemporer terhadap sahabat bahwa mereka juga perlu diteliti sebagaimana rawi-rawi lainnya karena mereka itu sama-sama manusia. Abu Rayyah menuturkan, “para ulama Hadis telah menetapkan keharusan dilakukannya penelitian terhadap identitas para periwayat Hadis. Tetapi kaharusan itu berhenti ketika mereka berhadapan dengan periwayat Hadis yang berasal dari generasi sahabat. Mereka tidak mau menelitinya dengan alasan bahwa para sahabat itu seluruhnya adil (memiliki kredibilitas sebagai periwayat Hadis), dan karenanya tidak perlu diteliti kembali atau dikritik. Aneh benar prinsip mereka ini, padahal para sahabat sendiri saling kritik-mengkritik di kalangan mereka”.[3]

Argumen Abu Rayyah di atas menolak dan mempertanyakan sikap jumhur ulama yang menetapkan keadilan sahabat dalam periwayan Hadis. Sebagaimana diketahui, pandangan tersebut, mengenai keadilan sahabat dikemukakan oleh para ulama Fiqih, Hadis, dan lain-lain. Dari ulama Fiqih antara lain imam Abu Hanifah, imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, imam al-Syafi’i dan lain-lain. Dari ulama Hadis antara lain, imam Al-Bukhari, imam Muslim, imam Abu Dawud, imam al-Tirmidzi, imam al-Nasa’i, imam Abu Zur’ah, imam Ibn Hibban, imam Abu Hatim, imam Ibn Taimiyah, dan lain-lain. Pendapat-pendapat mereka itu kemudian oleh para ulama yang lain, baik pada masa klasik maupun pada masa modern. Maka dapat dikatakan, semua ulama ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah berpendapat seperti itu.[4]

Apabila nama-nama yang disebutkan di atas itu tidak tergolong ulama yang peneliti ahli (al-Muhaqqiqun), maka siapakah sebenarnya yang diebut ahli peneliti itu?[5] Barangkali kaum intelektual Islam modern itulah yang pantas disebut sebagai “ulama al-Muhaqqiqun”, dan tampaknya mereka bermaksud demikian. Namun benarkah demikian? Tentu sejarahlah yang akan menilai. Karya-karya sebagian besar para ulama tersebut masih menjadi rujukan dunia Islam saat ini. Masih tetap diakui setelah kewafatannya beberapa tahun lalu. Sementara beberapa karya intelektual Islam kontemporer tersebut tidak sedikit dikecam dan dicela bahkan mendapat pelarangan penerbitan dari pemerintah.

Konsep ‘Adalah Al-Shohabah’ Bertentangan dengan al-Quran dan Hadis

Jawabannya:

Abu Rayyah berpendapat bahwa di kalangan sahabat nabi Saw terdapat orang-orang pendusta, munafik, pelaku dosa besar dan lain-lain. Bahkan al-Quran mengecam dengan dengan menurunkan surah al-Munafiqun. Karenanya, penilaian bahwa seluruh sahabat memiliki kredibilitas sebagai transmitter Hadis adalah tidak benar karena berlawanan dengan kenyataan di atas.[6] Terkait surah al-Taubah ayat 75-77, menurut Syi’ah Imamiyyah ayat ini terkait kisah Tsa’labah enggan membayar zakat kepada nabi sampai nabi wafat. Ia telah ingkar terhadap nabi Muhammad Saw. Bahkan Abû Bakar dan Umar bin Khattab tidak menerima zakat darinya. Rasyid Ridho juga menyingung kisah Tsa’labah ini ketika menafsirkan ayat tersebut.[7] Begitupun terkait beberapa sahabat lainnya yang mendapat sindiran dalam sejumlah ayat.

Apabila surah al-Munafiqun dijadikan sebagai argumen bahwa di antara para sahabat ada orang-orang yang munafiq, maka di dalam al-Quran juga ada surah al-Mu’minun. Surah al-Munafiqun memang mengecam orang-orang yang munafiq, tetapi tidak mengecam para sahabat. Para pengarang biografi sahabat seperti Al-Bukhari, Ibn Mandah, Ibn Abd. Al-Barr, Ibn al-atsir, Ibn Hajar, dan lain lain tidak pernah menyebutkan adanya sahabat yang munafiq. Dalam kritikannya, Abu Rayyah tidak menjelaskan siapa sahabat yang munafiq, pendusta, dan pelaku maksiat itu. Hanya saja tampaknya yang dimaksud Abu Rayyah adalah tiga orang yang tidak ikut perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin al-Rabi’. Apabila orang-orang ini yang dimaksud, maka surah al-Taubah ayat 117 menegaskan bahwa Allah telah menerima taubat mereka. Bahkan bukan hanya itu, Allah telah menerima taubat para sahabat secara keseluruhan, baik dari kelompok Anshar maupun Muhajirin.[8]

Dalam Hadis, argumen yang dijadikan dalil penolakan akan keadilan para sahabat ialah Hadis al-Haudh (telaga di sorga). Pandangan ini dikemukakan oleh kelompok Syi’ah Rafidhah dan menyatakan sebagian sahabat telah kafir. Hadis tersebut ialah:

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِي الْحَوْضَ حَتَّى عَرَفْتُهُمْ اخْتُلِجُوا دُونِي فَأَقُولُ أَصْحَابِي فَيَقُولُ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ. ﴿ رواه البخاري﴾

Artinya; "Dari Anas dari Nabi Saw, beliau bersabda: Ada beberapa orang sahabatku menuju telagaku, hingga di waktu selanjutnya aku tahu bahwa mereka disingkirkan dariku sehingga aku berteriak-teriak; (mereka) sahabatku!, maka Allah menjawab; Engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu.”[9] (H.R. Al-Bukhari)

Menurut M.M. Azami, hadis ini mencapai peringkat mutawatir. Sementara mereka yang ditolak masuk al-Haudh itu adalah sejumlah sahabat yang murtad sepeninggal nabi Saw. Mereka sebenarnya ini sudah tidak dapat disebut sebagai sahabat. Sebab telah disebutkan sebelumnya bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan nabi Saw dalam keadaan beragama Islam dan mati dalam keadaan Islam. Sehingga, hadis ini tidak dapat dijadikan dalil untuk mendeskritkan sahabat lain yang wafat sebagai Muslim. Mengenai nabi Saw menyebut mereka dengan kata sahabatku (أَصْحَابِي) dalam hadis tersebut, maka hal ini menunjukkan bahwa nabi Saw tidak tahu apa yang mereka lakukan setelah beliau wafat. Pada sisi lain, ini menunjukkan bahwa aturan-aturan Islam hanyalah menilai hal-hal yang bersifat lahiriah saja. Termasuk di antara mereka terdapat orang-orang munafik yang tetap diperlakukukan sama dengan orang-orang Muslim, misalnya dalam hukum pernikahan, waris, dan lain-lain.[10]

Konsep ‘Adalah Al-Shohabah’ Bertentangan dengan Keadaan Sahabat

Jawabannya:

Sebagian intelektual Islam kontemporer menggugat keadilan sahabat dengan mengatakan bahwa sahabat sebagai manusia biasa juga bebas dan terbuka untuk dikritik dengan bukti-bukti historis (kesejarahan) antara lain; terdapat sahabat yang suka minum-minuman keras dan mabuk, serta kekeliruan-kekeliruan lain yang dibuat. Taha Husein menuturkan bahwa para sahabat saling mengkafirkan. Ammar ibn Yasir misalnya, mengkafirkan Usman ibn Affan, bahkan menganggapnya sebagai orang yang sudah halal darahnya. Ibnu mas`ud ketika berada di Kufah juga menganggap Usman sudah halal darahnya.[11]

Di antara mereka ada yang dikenal sebagai peminum seperti Qudamah ibn Maqtum. Ada juga di antara mereka yang berkhianat kepada agama seperti Marwan, Walid ibn Uqbah, dan bahkan diantara mereka lebih mementingkan perdagangan dan permainan dari melakukan salat. Menurutnya juga diantara para sahabat itu ada yang masuk Islam karena takut pedang seperti al-Talqaiy, Abu Sufyan, Mu`awiyah dan lain-lain.[12] Terkait hal tersebut, dapat diutarakan bahwa secara ilmiyah sulit menerima kebenaran tuduhan Tahan Husein tersebut. Sebab, tidak ada satu pun sumber yang otentik yang menuturkan bahwa para sahabat itu saling mengkafirkan, saling menuduh bohong saja tidak. Adapun bentuk kritikan lain sebagaimana dilontarkan Abu Rayyah yang disebutkan di atas, maka telah disebutkan juga sebelumnya bahwa di antara para sahabat ada yang telah diterima taubatnya, selebihnya yang tidak seberapa jumlahnya tidak dianggap lagi sebagai sahabat karena wafat dalam keadaan tidak beriman.

Memang ada sebuah sumber riwayat yang menuturkan bahwa Aisyah pernah menuduh bohong kepada Abu al-Darda. Suatu ketika Abu al-Darda berkhotbah ia berkata, “apabila sudah masuk waktu shalat Shubuh, maka tidak boleh shalat Witir.” Mendengar ungkapan ini, Aisyah berkomentar, “bohong Abu al-Darda, karena nabi Saw pernah shalat Witir sementara waktu Shubuh sudah masuk”. Namun, komentar Aisyah ini tentulah tidak dimaksudkan untuk menuduh Abu al-Darda sebagai orang berbohong, melainkan ia hanya keliru saja dalam memahami masalah waktu shalat Witir. Jadi, kata bohong dalam dialog tersebut tidak dapat diartikan secara haqiqi (sebenarnya), melainkan harus diartikan secara majazi (kiasan), yaitu keliru.[13]

Konsep ‘Adalah Al-Shohabah’ Bertentangan dengan Karakteristik Manusia

Jawabannya:

Ahmad Husein Ya’qûb menyatakan bahwa sudah menjadi ruh ajaran Islam bahwa Allah Swt menciptakan kematian dan kehidupan, dan tidak menciptakan bumi kecuali untuk mengetahui siapa di antara makhluknya yang paling baik amalnya. Jika memang seluruh sahabat adalah adil dan tidak boleh menghukumi mereka sebagai pembohong, dan mereka adalah ahli surga, maka sesungguhnya mereka tidak termasuk objek dari proses ujian, dan tidak perlu pula mereka diuji dalam kehidupan ini. Jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan tujuan hidup mereka, karena mereka berarti menghentikan proses ujian yang telah menjadi ketentuan Allah terhadap para makhluknya.

Tanggapan terhadap ungkapan Ahamd Husein Ya’qub di atas bahwa sesungguhnya konsep keadilan sahabat tidak dimaksudkan untuk menempatkan status terpelihara dari dosa dan kemustahilan mereka untuk berbuat maksiat. Akan tetapi, maksudnya adalah bahwa periwayatan mereka dapat diterima tanpa harus meneliti sebab-sebab keadilannya.[14] Sebab, itu berdasarkah tazkiyah (rekomendasi) langsung dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat al-Quran dan Hadis di atas. Lebih lanjut, Al-Khatib al-Bagdadiy mengatakan seandainya tidak ada keterangan tentang mereka dari Allah dan Rasul-Nya, maka sifat dan kondisi yang mereka alami, seperti hijrah, jihad, pertolongan Allah, berkorban jiwa, harta, anak, saudara dan orang tua, kesetiaan pada agama, iman serta keyakinan, dapat dijadikan sebagai suatu indikasi atas keadilan, dan kebersihan dari sifat tercela. Bahkan, keutamaan mereka jauh melebihi para kritikus keadilan periwayat yang datang kemudian.[15] Mengakhiri bahasan dalam topik ini, perlu kiranya mengutip pernyataan Abu Zur’ah al-Razy sebagai berikut:

“Jika kamu melihat seseorang yang mencari salah seorang sahabat, maka ketahuilah bahwa orang itu Zindiq. Hal ini karena Rasulullah Saw benar dan al-Quran benar. Semua itu di bawah kepada kita oleh sahabat. Dan orang-orang Zindiq itu hendak menjarh para sahabat agar mereka bisa menggoyahkan al-Quran dan Hadis. Akan tetapi, orang-orang Zindiq itulah yang terjarh”.[16]

ENDNOTE

[1] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 109-111.
[2] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, h. 109-116-117.
[3] Mahmud Abu Rayyah, Adlwa al Sunnah al-Muhammadiyyah au difa’ an al-Hadis (Mesir: Darr al-Ma’arif, t.t), h. 353; Dikutip Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, h. 109-112.
[4] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 109-117.
[5] M.M. Azami, Manhaj al-Naqd ‘inda al-Muhadditsin (Riyadh: Syirkah al-Tiba’ah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah, 1402 H/1982 M), h. 105; Dikutip Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, h. 117.
[6] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, h. 119.
[7] Rasyid Ridho, Tafsir AL-Manar (Mesir: Al-Hai’ah al-Misri’ah al-‘Amah, 1990), Juz 10, h. 483
[8] Al-Syaukhani, Fath al-Kadir (t.t.: Darr al-Fikr, 1973), h. 412-414
[9] Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari (Kairo: Darr al-Sya’ab, 1407 H/1987 M), Cet. I, Juz VIII, h. 149.
[10] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 114.
[11] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis, h. 109-119.
[12] Mahmud Abu Rayyah, Adlwa al Sunnah al-Muhammadiyyah au difa’ an al-Hadis (Mesir: Darr al-Ma’arif, t.t), h. 349.
[13] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 120.
[14] Muh. Alwi al-Malikiy, Al-Manhal al-Lathif fi Ushul al-Hadis al-Syarif (Jeddah, Maktabah Sahr, 1990), h. 185.
[15] Al-Khatib al-Bagdadiy, al-Kifayat fi al-Ilmi al-Riwayah (t.tp.: Maktabah al-Ilmiyah, t.th), h. 49.
[16] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), Cet. IV, h. 391.

Baca Juga:
> Pengertian sahabat 
> Stratifikasi dan cara mengetahui sahabat 
> Konsep keadilan sahabat; Dalam pandangan Sunni dan Syi’ah 
> Jumlah sahabat yang meriwayatkan hadis

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.