SQ Blog - Asbab al-Nuzul, memahami kontekstualisasi Surat Al-Taubah ayat 28. Apakah orang-orang musyrik itu Najis? Najis dalam jenis apa? Simak di bawah ini.
A. SURAH AL-TAUBAH AYAT 28
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿سورة التوبة : ٢٨﴾
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al-Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. Al-Taubah: 28)
Masjid al-Haram dibangun mengelilingi Ka’bah yang menjadi arah kiblat bagi umat Islam dalam mengerjakan ibadah shalat. Masjid ini juga merupakan Masjid terbesar di dunia. Terkait ini, Allah SWT memberitahukan bahwa Baitullah (Ka’bah) yang terdapat dalam masjid al-Haram adalah rumah yang pertama kali dibangun untuk manusia bagi kepentingan ibadah yang terletak di bakkah yaitu Mekah. Hal ini sebagaimana dilukiskan dalam surah al-Imran ayat 96.
Imam Syaukhani dalam tafsirnya menyebutkan bahwa terdapat ikhtilaf mengenai siapa yang pertama kali membangun Ka’bah. Ia menyebutkan, ada yang mengatakan Malaikat, ada yang mengatakan Adam a.s serta pendapat lain menyebutkan Ibrahim a.s adalah orang yang pertama kali membangunnya. Imam Syaukhani menjama’ pendapat-pendapat ini dengan mengatakan bahwa Malaikatlah yang pertama kali membangunnya, kemudian diperbaharui oleh Adam dan selanjutnya Ibrahim.[1]
Namun seiring bergantinya zaman, Ka’bah beralih fungsi menjadi tempat penyembahan berhala. Di antara berhala yang berada di sekitar ka’bah adalah uzza dan latta. Hal ini berlangsung jauh sejak sebelum kelahiran nabi Muhammad Saw yang dikenal dengan zaman Jahiliyyah hingga setelah terjadinya Fathul Mekah pada tahun ke-8 H.
Setelah Fathul Mekah, diumumkan kepada seluruh penduduk Mekah bahwasannya bahwasanya setelah tahun ini (بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا), yaitu setelah tahun ke-9 hijriah orang kafir dilarang memasuki tanah suci termasuk masjid al-Haram.[2] Peristiwa pelarangan ini berdasarkan wahyu al-Quran yang diabadikan dalam surat al-Taubah ayat 28 yang telah dicantumkan di atas.
Terkait intisari ayat di atas, Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman yang memiliki kesucian lahir dan batin untuk mengusir orang-orang musyrik dari masjid al-Haram dan agar tidak mendekatinya. Jadi, Allah memberlakukan dan memutuskannya sebagai syariat.[3] Surah ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad Saw kembali dari peperangan Tabuk yang terjadi pada tahun 9 H.
Dengan ungkapan yang lebih rinci, Musthafa Maraghi mengungkapkan bahwa Rasulullah memerintahkan Abu Bakar sewaktu mengangkatnya sebagai amir dalam ibadah haji tahun ke-9 hijriah untuk menyampaikan pengumuman kepada orang banyak terkait perintah dalam ayat di atas, bahwa setelah tahun ini tidak ada seorang musyrik pun yang boleh mengerjakan ibadah haji. Kemudian, memerintahkan juga Ali bin Abi Thalib menyusul Abu Bakar untuk membacakan permulaan surah al-Bara’ah (al-Taubah) di hadapan manusia pada waktu pelaksanana Haji tahun tersebut dan mengembalikan perjanjian kepada mereka.[4] Kemudian dalam tafsir al-Azhar menyebutkan, pada tahun berikutnya barulah Rasulullah naik haji yang di kenal dengan haji Wada’.
B. ASBAB AL-NUZUL SURAH AL-TAUBAH AYAT 28
Adapun sekilas riwayat-riwayat terkait asbab al-nuzul dari surah al-Taubah ayat 28, sebagai berikut:
1) Pertama:
أخرج ابن أبي حاتم عن ابن عباس قال : كان المشركون يجيئون إلى البيت ويجيئون معم بالطعام يتجرون فيه فلما نهوا عن أن يأتوا البيت قال المسلمون : من أين لنا الطعام ؟ فأنزل الله (وإن خفتم عيلة فسوف يغنيكم الله من فضله).
Artinya: Dikemukakan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa, ia berkata: “Orang-orang Musyrik biasa datang ke Mekkah dengan membawa bahan makanan untuk di jual di sana. Maka ketika mereka dilarang mendatangi Baitullah, orang-orang Islam berkata: ‘Dari mana kita mendapatkan makanan?’. Maka Allah menurunkan ayat, (وإن خفتم عيلة فسوف يغنيكم الله من فضله). z - [5]
2) Kedua:
وأخرج ابن جرير و أبو الشيخ عن سعيد بن جبير قال : لما نزلت (إنما المشركون نجس فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا) شق ذلك على المسلمين وقالوا : من يأتنا بالطعام وبالمتاع ؟ فأنزل الله (وإن خفتم عيلة فسوف يغنيكم الله من فضله).
Artinya: Dikemukakan oleh Ibnu Jarir dari Abu al-Syaikh yang bersumber dari Said bin Jubair, ia berkata: “Ketika turun ayat, (إنما المشركون نجس فلا يقربوا المسجد الحرام بعد عامهم هذا) orang-orang Islam merasa sesak dadanya dan mereka berkata: “Siapakah yang membawa makanan dan peralatan lainnya kepda kita?”. Maka Allah menurunkan ayat ini, (وإن خفتم عيلة فسوف يغنيكم الله من فضله). z - [6]
Jalaluddin al-Suyuti mengungkapkan bahwa (وأخرج مثله عن عكرمة وعطية العوفي والضحاك وقتادة وغيرهم), hadis seperti itu dikemukakan juga oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ikrimah, ‘Athiyah al-‘Ufi, al-Dhahak, Qatadah dan lain-lain.[7]
C. KONTEKS TURUNNYA SURAH AL-TAUBAH AYAT 28
Setelah ayat-ayat yang lalu menjelaskan secara gamblang keadaan kaum musyrikin sehingga mereka harus ditindak dengan tegas atau paling tidak dihindari atau diboikot serta dijauhkan dari daerah suci. Maka, di sini dijelaskan bahwa mereka sebenarnya najis sehingga tidak wajar berada di tempat-tempat suci. Pada titik ini, perlu pemahaman secara seksama akan periodisasi syariat dalam Islam. Sejarah hidup Rasulullah Saw memperlihatkan bahwa sebelum turunnya ayat di atas beliau sering menyambut para utusan kaum musyrikin di dalam masjid ketika masih di Madinah.
Demikian juga pada orang Yahudi dan Nasrani. Bahkan pernah seorang musyrikin yang bernama Tsumamah bin Atsaal tertawan, lalu diikatkan pada salah satu tonggak masjid di Madinah.[8] Berdasarkan informasi ini, maksud najis dalam ayat di atas bukanlah najis materil (hizzi) melainkan najis maknawi.
Menurut al-Raghib, najis berarti kotoran dan ia mempunyai dua macam, ada yang diketahui dengan indra dan satu macam lagi dengan hati. Jenis terahir inilah yang disifatkan Allah kepada kaum musyrikin dalam firman-Nya (إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ). Al-Quran turun jauh sebelum fiqih menjadi cabang ilmu tersendiri dan juga sebelum fuqaha’ membuat istilah najis. Dalam tradisi Arab, istilah najis tidak sebagaimana yang di pahami sekarang dalam ilmu fiqih. Orang Arab memandang orang yang busuk hatinya/rusak moralnya dengan seorang yang najis.
Demikian juga seorang laki-laki yang telah menzinai perempuan, lalu perempuan itu dinikahinya sebab perempuan itu telah dikotorinya.[9] Maka pernyataan ayat di atas benar-benar menggambarkan najisnya jiwa orang yang menyembah selain Allah. Pada sisi lain, ada sebagian ulama yang memahami kenajisan tersebut dalam arti material. Ada riwayat yang menyatakan bahwa sahabat nabi Saw, Ibnu Abbas menilai seorang musyrik najis badannya seperti anjing. Sedangkan Hasan memfatwakan bahwa siapa yang berjabat tangan dengan seorang musyrik maka ia hendaknya berwudhu. Pendapat ini bukanlah merupakan pendapat yang benar, tidak juga anutan mayoritas para ulama. [10]
Firman-Nya (فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ), menurut Sayyid Qutub, itulah puncak larangan dan haramnya dari segi hukum bagi kaum musyrik untuk berada di tanah Haram. Bahkan larangan itu berkembang hingga larangan mendekatinya karena mereka najis sedangkan tanah haram adalah suci.[11] Tanah haram atau masjid al-Haram adalah wilayah yang memiliki kehormatan lagi harus dihormati. Kata haram dalam ayat di atas tidak lagi diperhadapkan dengan kata halal. Tidak juga dipahami dalam arti haram dari segi tinjauan hukum walaupun kata yang mengandung makna hukum itu, terambil juga dari akar kata yang sama. Kita maklumi bahwa semakin terhormat sesuatu semakin banyak pula larangan yang berkaitan dengannya. Penghormatan melahirkan larangan dan tata cara tertentu.
Untuk makna inilah sehingga tanah di sekitar mekah dan masjid yang di dalamnya terdapat Ka’bah dinamai harâm. Imam Syafi’i berpendapat bahwa ayat ini hanya melarang kaum musyrikin memasuki masjid al-Haram, bukan semua masjid. Adapun Imam Malik, beliau menganalogikannya dengan masjid-masjid lain. Imam Abu Hanifah memaknai ayat ini bukan tertuju sebagai larangan memasuki masjid al-Haram, tetapi larangan dalam arti melaksanakan haji, umrah dan melakukan thawaf. Dalam wilayah kekuasaan Islam, ulama sepakat menyatakan bahwa siapapun selain muslim tidak diperkenankan berada di wilayah Mekah dan Madinah.[12]
Setelah turunnya larangan terhadap kaum musyrik yang terdapat dalam ayat di atas, sebagian kaum muslimin berkata: “Sesungguhnya kehadiran kaum musyrikin itu di mekah menyemarakkan jual beli dan arus perdaganagn, kami khawatir mengalami kerugian jika mereka dilarang berkunjung ke mekah”. Mengetahui ucapan itu, Allah menenangkan mereka bahwa Dia akan mengganti buat mereka rezeki dari sumber yang lain. Hal ini nampak pada potongan ayat selanjutnya (وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ), “dan jika kamu khawatir menjadi miskin akibat memenuhi tuntunan ini, maka Allah akan memberikan kekayaan kepada kamu dari karunia-Nya”.[13]
D. KONTEKSTUALISASI SURAH AL-TAUBAH AYAT 28
Setelah mengetahui asbab al-nuzul dan memahami konteks ketika turunnya ayat di atas, uraian berikut berupaya menjelaskan upaya kontekstualisasinya dalam kondisi kekinian. Seperti telah dikemukan pada uraian diatas, setidaknya terdapat dua term dari ayat di atas yang harus di pahami, yaitu:
Term pertama: Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al-Haram sesudah tahun ini (إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا), Menurut analisa penulis, inilah orientasi perintah dalam ayat ini yang di arahkan untuk merubah salah satu stabilitas sosial dalam masyarakat Arab, yaitu kebiasaan non-muslim Arab dan lainnya yang melakukan berbagai ritual di ka’bah yang tidak sebagaimana mestinya. Arah perubahan ini tentunya untuk penyempurnaan dan pemurnian syariat Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Atas dasar ini, turunlah wahyu yang memuat larangan kaum musyrik untuk mendekati tanah haram.
Term kedua: Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki (وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ). Setelah pelarangan kaum musyrik mendekati tanah haram, tentu konsekuensinya sangat besar dalam perekonomian umat Islam. Inilah dampak stabilitas sosial bagi masyarakat muslim dari tuntunan tersebut. Namun, Allah memberikan jaminan dalam potongan ayat selanjutnya, (وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ).
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jika terdapat benturan dalam urusan keimanan atau aqidah dan duniawi, maka urusan aqidah harus di dahulukan. Apalagi jika stabilitas sosial tersebut tidak mengacu pada tata nilai dan ketentuan nash. Sejalan dengan ungkapan Nasaruddin Umar: “Dalam dinamika saat ini, kita dihadapkan kepada pilihan rumit, yaitu haruskah kita menerapkan ketentuan nash sekalipun harus mengorbankan stabilitas dan integrasi nilai yang sudah mapan atau haruskah mentolerir stabilitas dan integrasi nilai yang tidak mengacu dan tidak sejalan dengan nash”.[14]
Menurut kami, inilah salah satu pesan dari ayat di atas dalam relasinya dengan kondisi kontemporer sekarang. Dengan demikian, pada satu sisi kontekstualisasi ayat di atas menekankan bahwa Islam tidak memberikan batasan dalam melakukan perniagaan, perekonomian, dan hubungan bisnis dengan non-muslim selama tetap dapat menjaga aqidahnya. Hal ini tentu meluas dalam hubungan kerja sama antar Negara yang notabenenya berbeda agama.
ENDNOTE
[2] Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain (Surabaya : Darr al-Ilmi, ____), hal. 159
[3] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir terj. M. Abdul Ghoffar (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, 2007). cet. IV, jilid IV, hal. 114
[4] Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi terj. Hery Nur Aly, dkk. (Semarang: Toha Putra, 1992), Juz X, cet. II, hal. 152
[5] Jalaluddin al-Suyuti, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Beirut : Darr al-Kitab al-Araby, 2011), hal. 124-125
[6] Ibid, hal. 125
[7] Ibid, hal. 125
[8] Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985), cet. I, juz X, hal. 154-155
[9] Ibid. hal. 155
[10] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Cet. I, Volume 5, hal. 539
[11] Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Quran terj. As’ad Yasin, dkk. (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), cet. III, Jilid X, hal.200
REFERENSI
Al-Mahalli,
Jalaluddin. dan Al-Suyuti, Jalaluddin. Tafsir
Jalalain, Surabaya: Darr al-Ilmi, tt
Al-Suyuti,
Jalaluddin. Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, Beirut: Darr al-Kitab
al-Araby, 2011
Hamka, Tafsir
al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, cet. I, 1985
Ibnu Katsir. Tafsir
Ibnu Katsir terj. M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, cet.
IV, 2007
Maraghi,
Mustahfa. Tafsir Maraghi terj.
Hery Nur Aly, dkk., Semarang: Toha Putra, Cet. II, 1992
Sayyid Qutub, Fi
Zhilal al-Quran terj. As’ad Yasin, dkk., Jakarta: Gema Insani Press, cet.
III, 2003
Shihab,
Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2002
Syaukhani, Muhammad. Fathul Qadir, Kairo: Darr al-Hadis, 2003
Umar,
Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran, Jakarta: Dian
Rakyat, Cet. II, 2010
PDF DOWNLOAD Link One
Posting Komentar