SQ Blog - Tafsir al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil merupakan salah satu kitab tafsir yang sangat besar andilnya dalam pengembangan metode penafsiran al-Quran. Tafsirnya meliputi 17 juz yang pertama kali dipublikasikan oleh Darr Al-Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah, Kairo. Kitab ini diteliti oleh Muhammad Bahjat al-Baithar, salah seorang anggota Majma Al-Ilmi Al-Araby (Lembaga Ilmu Pengetahuan Arab). Jamaluddin Al-Qasimi menyusun tafsirnya setelah berulang kali istikhara dan memulainya pada tanggal 10 syawal 1316 H.[1]
Al-Qasimi memberikan pengantar dalam kitab tafsirnya secara khusus dalam satu juz awal yang berisikan kaidah-kaidah tafsir. Al-Qasimi berusaha memangun sebuah perspektif dan meluruskan kembali tradisi tafsir agar tetap berlandaskan pada kaidah-kaidah tafsir seperti yang ia cantumkan dalam juz pertama. Seperti ungkapan beliau dalam mukaddimahnya menyatakan:[2]
Setelah saya menghabiskan satu pengggalan usia saya untuk menyibak beberapa realitas tafsir, maka saya menghentikan sepenggal waktu dalam menganalisa kedalamannya. Saya ingin membuat sistematika dalam menelusuri para mufassir besar sebelum rahsi-rahasianya rusak dan unsur-unsurnya punah. Untuk membuatnya, saya harus membuat rambu-rambu. Dan untuk menganhkatnya, saya harus membuat sistematika. Sehingga saya harus membulatkan tekad yang lemah dan meminta pertolongan dan petunjuk kepada Allah SWT. Dalam merumuskan kaidah-kaidahnya serta penafsiran mengenai maksud-maksudnya dalam sebuah kitab yang dengan pertolongan Allah, saya beri nama Mahasin al-Ta’wil.
Saya mengisinya dengan sesuatu yang seharusnya tidak ada semisal beberapa hasil penelitian (tahqiq). Saya juga telah melengkapinya dengan studi yang urgen. Di dalamnya saya juga jelaskan kandungan-kandungan rahasia. Disini saya kritik beberapa pemikiran kemudian saya ketengahkan manfaat-manfaat yang saya temukan dari tafsir-tafsir salag klasik. Juga keunikan-keunikan yang secara kebetulan saya temukan dari lipatan-lipatan kertas. Termaksuk tambahan-tambahan yang saya gali dengan pemikiran saya yang dangkal.
Semua itu mengantarkan say untuk menemukan argumentasi dan memperkuat pijakan saya seputar masalh tersebut. Inilah, saya juga melengkapi awalnya denga sebuag pengantar penting mengenai khazanah tafsir. Mengenai kaidah-kaidah yang begitu berharga dan juga manfaat-manfaat yang begitu berbobot yang semuanya saya telah jadikan sebagai kunci untuk membukan pintunya. Juga saluran untuk memperlanncar airnya yng dipilih oleh seorang Mufassir untuk menyibak realitas-realitasnya serta menganalisa beberapa rahasia dan kedalamannya.
Uraian satu juz tersendiri yang memuat sitematika dan kaidah-kaidah tafsir dalam Mahasin al-Tawil merupakan salah satu keunikan tersendiri dari kitab tafsir ini. Dalam muqaddimahnya ini juga Nampak bahwa al-Qasimi banyak mengutip dari a-Syatibi, Ibnu Taimiyah, Izzuddin bin Addussalam, al-Dahlawi, Abi Amru al-Dani, Abi Ubaid al-Qasim bin Sallam serta Hazem. Al-Qasimi tampaknya terpenagruh dengan tendensi ilmiah dalam tafsirnya. Dia mengetengahkan sub pokok bahsan untuk menjelasakna secara detail maslah-maslah ilmu astronomi yang terdapat dalam al-Quran serta memberinya keterangan bahwa ia mengutipnya dari beberapa pakar astronomi.[3]
Kita juga menemukan bahwa al-Qasimi mengetengahkan beberapa pendapat ahli tafsir klasik dan mengutip dari tafsir-tafsir mereka. Dia mengutip dari tafsir Ibnu Jarir al-Thabari, al-Zamakhsyari, Raghib al-Ashfihani, Fakhru al-Rozi, Ibnu Katsir al-Damsyiqi, Ibnu Qayyim, Abi Hayyan al-Andalusi, Ibnu Athiya al-Andalusi, al-Qurthubi, al-Baidawi dan Abi Sa’ud. Juga beberapa Mufassir mazhab Zaidiyyah dan Burhanuddin al-Biqa’i dan Muhammad Abduh. Bahkan al-Qasimi hampir mengutip secara tekstual penafsiran yang dinyatakan di dalam tafsir Ibnu Katsir dan banyak pembahasan lainnya di dalam kitab tafsirnya.
Selain diatas, kita juga menemukan bahwa al-Qasimi banyak mengetengahkan pendapat ulama di dalam kitab tafsirnya semisal al-Syafi’i, Ibnu Sa’ad, al-Farra’ pemilik Ma’ni al-Quran al-Qadhi Abdul Jabbar, Ibnu Hazem, al-Syahrastani, al-Akbari, Ibnu Munayyar al-Askandari, Izzuddin Muhammad bin Abdussalam, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim, al-Suyuthi dan al-Haralli.[4]
B. METODOLOGI TAFSIR MAHASIN AL-TA’WIL
Tafsir al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil merupakan salah satu kitab tafsir yang sangat besar andilnya dalam pengembangan metode penafsiran al-Quran, terutama upaya pemaduan antara tafsir aliran tafsir bi al-Matsur dan tafsir bi al-Ra’yi. Syakib Arsalan berpesan kepada seluruh generasi mmuslim yang berminat memhami syariat islam untuk tidak mendahulukan bacaan-bacaan lain sebelum membaca kitab Mahasin al-Ta’wil.[5] Sebelum kami menguraikan lebih lanjut metodologi tafsir al-Qasimi, perlu sekilas wawasan akan metodologis tafsir dan realitasnya.
Jamaluddin al-Qasimi dalam menyusun tafsirnya mengarahkannya agar dapat dijadikan petunjuk dan untuk mengungkap ruh al-Quran. Dua hal inilah yang memotivasi al-Qasimi dalam menyusun tafsirnya agar al-Quran dapat menjadi pedoman hidup dan menjadikan hukum-hukum dan ajarannya senantiasa shalihun li kull zaman wa makan. Selain itu, al-Qasimi memiliki metodologi yang tidak seperti dengan metodologi para mufassir lalinnya. Metodologi tafsir al-Qasimi memberikan nuansa baru dengan perspektif untuk mengintegrasikan mazhab, metode dan corak penafsiran. Upaya ini dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa semua mazhab. Metode dan corak tafsir tidak bisa dilepaskan dari kelemahan-kelemahan. Upaya pengembangan model tafsir ini dilakukan oleh beberapa mufassir terutama mufassir periode mutaakhirin, diantaranya:[6]
- Muhammad Jamaluddin al-Qasimi (1283-1332 H/1866-1914 M), tafsir Mahasin al-Ta’wil;
- Muhammad bin Ali al-Syaukhani (w. 1250 H/1834 M), tafsir Fath al-Qadir;
- Abu al-Tsana’ Syihab al-Din al Sayyid Muahmud al-Alusi al-Baghdadi (1217-1270 H/1802-1853 M), tafsir Ruh al-Ma’ani;
- Ahmad Musthafa al-Maraghi (1298-1373 H/1881-1945 M), tafsir Maraghi
- Muhammad Ali al-Shabuni, tafsir Shafwah al-Tafasir
- Wahbah al-Zuhaeli, tafsir al-Munir
- Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan alThabrasi, Majma al-Bayan fi Tafsir al-Quran
- Muhammad Husyan Thabathabai, tafsir al-Mizan.
Integrasi aliran, metode dan corak penafsiran al-Quran merupakan perspektif baru dalam upaya menfasirkan al-Quran yang saling melengkapi dan menunjang. Jadi elastisitas al-Quran tidak hanya sebatas kandungannnya yang selalu sesuai dengan perkkembangan dan tuntutan keadaan (up to date), tetapi juga elastisitas dari sisi penggunaan metode penaafsirannya. Hal inilah yang diungkapkan Solly Lubis bahwa objeklah yang menentukan metodologi, bukan metodologi yang menentukan objek sasaran suatu kegiatan atau usaha ilmiah. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi ilmu sosial lainnya, tetapi juga berlaku di bidang ilmu sosial keislaman, termasuk tafsir.[7]
Perspektif penafsiran diatas Nampak dan diusahakan oleh Jamaluddin al-Qasimi dalam menyusun tafsirnya. Walaupun ia adalah ulama pentolan salaf, namun ia tidak menafikkan kajian-kajian ilmu sains dalam tafsirnya agar pandangan al-Quran senanatiasa shalihun li kull zaman wa makan sesuai harapannya dalam menulis tafsir. Uraian lanjut mengenai metodologi tafsir Mahasin al-Ta’wil seperti dijelaskan berikut.
a) Analisa Penulisan Mahasin al-Ta’wil
Penulisan Mahasin al-Ta’wil tidak terlepas dari 4 hal berikut:[8]
- Memuat hadis-hadis Nabi dan ia sangat mewaspasai hadis yang dha’if dan maudhu;
- Memuat pendapat para sahabat;
- Mengambil dari segi bahasa secara mutlak; dan
- Memuat makna firman dalam ayat-ayat al-Quran dan makna syariatnya.
Al-Qasimi adalah seorang ulama hadis. Dia mempunyai kitab Qawa’id al-Tahdis min Fununi Musthalah al-Hadis. Oleh karena itu, halaman demi halaman mahasin al-Ta’wil hampir tidak ada yang tidak berisikan dengan hadis yang digunakan untuk memperkuat penafsirannya. Sebagai contoh ketika mengatakan “ibadah itu ada bebera amcam dan klasifikasi. Dimana keimanan tidak akan menjadi sempurna kecuali mempurufikasikan seluruh ibadah sematan kepada Allah SWT”. Al-Qasimi memperkuat argumennya diatas dengan dalil naqli seperti penjelasan berikut, Al-Sunnah telah menjelaskan bahwa doa adalah ibadah. Artinya rukun ibdah itulah yang yang terpenting dan lebih utama. Asalnya dari al-Quran (ÙˆَÙ‚َالَ رَبُّÙƒُÙ…ُ ادْعُونِÙŠ Ø£َسْتَجِبْ Ù„َÙƒُÙ…ْ Ø¥ِÙ†َّ الَّØ°ِينَ ÙŠَسْتَÙƒْبِرُونَ عَÙ†ْ عِبَادَتِÙŠ سَÙŠَدْØ®ُÙ„ُونَ جَÙ‡َÙ†َّÙ…َ دَاخِرِينَ) jadi, Al-Qasimi menyebut do’a sebagai ibadah.[9]
Gambaran lainnya mengenai tafsir Mahasin al-Ta’wil memuat banyak sumber tafsir, pendapat para ulama, wawasan keilmuan selain tafsir yang sangat mewarnai tafsirnya. Oleh karena itu, analisa penulisan tafsir mahasin al-Ta’wil kami arahkan pada kesimpulan sumber tafsirnya, bi al-Matsur atau bi al-Ra’yi. Melihat uraian diatas dan khususnya pengakuan penulisnya sendiri dalam muqaddimah tafsirnya maka tafsirnya dikelompokkan tafsir bi al-Matsur. Walupun demikian, memuat juga sumber-sumber aql termasuk pendapatnya sendiri khususnya dalam memahami ayat-ayat kauniyah. Namun hal ini adalah suatu kewajaran karena metodologis tafsirnya seperti disebutkan sebelumnya memiliki perspektif integrasi mazhab, corak dan metode. Ini artinya, objek ayat-ayat al-Quranlah yang akan menentukan
Arah metodologisnya. Jika berbicara ayat hukum, maka arah pembahasannya mencakup ilmu fiqh dan ruang lingkup lainnya yang bersangkutan.
b) Analisa Penafsiran Mahasin al-Ta’wil
Imam al-Qasimi dengan kesempurnaan penelitiannya, kejelian pemahamannya, dan jiwa amanahnya dalam mentransfer, ia menyeleksi dan mengambil pendapat yang paling baik yang berkaitan dengan tema pembahasannya kemudian mengutipnya. Metode inilah yang jalan dalam tafsirnya sehingga tafsirnya seperti kebun yang rimbun, tiada terlihat darinya kecuali tanaman yang hijau dan bunga-bunga yang hijau dan semerbak mewangi, didalamnnya tidak ditemukan apa yang menyakiti dan menggores perasaan. Tafsir ini punya keistimewaan dalam kehati-hatiannya dan pemindahan referensi serta penerimaan yang selektif sehingga jauh dari hadis maudhu dan dha’if.
Kerangka umum metode penafsiran Mahasin al-Ta’wil seperti berikut:[10]
- Dibantu dengan makna-makna lughawi dan kosa kata. Hal ini iala lakukan dengan singkat tampa memilah dan panjang ulasan;
- Berpedoman pada al-Quran, Sunnah, Qaul para sahabat yang shahih dan pendapat para Salaf al-Shaleh;
- Kepeduliannya terhadap ayat-ayat yang membutuhkan uraian lebih lanjut karena dipahami berdasarkan mazhab sehingga menjadi wahana perdebatan. Al-Qasimi mencurahkan perhatiannya terhadap ayat-ayat semacam ini dengan menganalisa dari semua perspektif yang ada;
- Perhatiannya dalam menyebut segi-segi Qira’at serta menyeleksinya.
Melihat kerangka diatas, dapat menguatkan bahwa tafsir mahasin al-Ta’wil lebih dominan dalam sumber-sumbernya yang matsur. Namun uraian ini kami lebih arahkan untuk melihat langkah penfsiran Jamaluddin al-Qasimi. Menganalisa keterangan diatas, Nampak bahwa al-Qasimi berusaha menerapakan integrasi mazhab, metode dan corak yang ia lakukan dengan urutan mushaf dalam al-Quran.
c) Analisa Intensitas dan Corak Mahasin al-Ta’wil
Mengenai intensitas tafsir Mahasin al-Ta’wil, dapat di analisa dengan penjelasan di atas. Secara umum, al-Qasimi dalam tafsirnya tidak berupaya menjelaskan seluruh hal yang bersangkutan dengan ayat yang sedang ia bicarakan. Tafsirnya hanya di arahkan untuk dapat memetik petunjuk dari ayat-ayat al-Quran dan agar ajarannya senantiasa shalih li kull zaman wa al-makan. Adapun penjabaran panjang yang ia cantumkan hanya sekilas ayat-ayat yang banyak perdebatan di dalamnya.
Oleh karena itu, metode tafsir Mahasin al-Ta’wil secara umum memakai metode Ijmali. Adapun ketika ia menjelaskan ayat-ayat yang kontroversi, ia menafsirkannya dengan metode Tahlili untuk dapat memberikan pemahaman yang jelas kepada masyarakat serta mengeluarkan hukumnya jika diperlukan.
Berdasarkan pemahaman ini juga, dapat disimpulkan bahwa tafsir Mahasin al-Tawil memuat banyak ayat tentang hukum karena penulisnya ketika membicarakan ayat-ayat yang kontroversi secara tidak langsung berakhir dengan kesimpulan hukum yang dikandung oleh ayat. Walaupun demikian orientasi utama tafsir ini ialah memenuhi tuntutan problematika dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, kami berkesimpulan bahwa tafsir ini bercorak al-Adab wa al-Ijtima’i, yaitu corak tafsir yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk memberikan solusinya.[11] Pada sisi lain, corak lain yang menonjol dari tafsir ini ialah nilai-nilai ilmiah ketika membahas ayat-ayat kauniyah serta dikaitkan dengan kehidupan masyarkat.
Memahami kerangkan penulis tafsir ini sendiri yang penulisnya berusaha megintegrasikan mazhab, metode dan corak dalam tafsirnya, maka konteks ayatlah yang menentukan arah pembahasannya seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya. Adapun kesimpulan kami mengenai corak tafsirnya yang bersifat al-Adab wa al-Ijtima’i, ini hanya menunjukkan dominan dan karena kebutuhan tafsirnya dalam memenuhi kebutuhan umat yang lebih dekat dengan nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Baca Juga:
ENDNOTE
[2] Muhammad Jamaluddin Al-Qasimy, Tafsir Mahasin al-Ta’wil (Beirut: Darr al-Fikr, 1398 H / 1978 M) Cet II, Muddimah Juz 1, hal 5-6
[3] Abdul Majid Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran Kontemporer, judul asli “Ittijaahaat al-Tafsir al-Ashri al-Rahim” (Surabaya: Pustaka Insan Madani, 1997 M), Cet. I, hal. 37
[4] Abdul Majid Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran Kontemporer, Cet. I, hal. 37-38
[5] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), Cet. II, hal. 231-232
[7] Ahmad Izzan, Metodologi ILmu Tafsir, hal. 235-236
[8] Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir terjemahan Faisal Shaleh dan Syahdianor dari judul asli “Manhaj al-Mufassirin” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 M), Cet. I, hal. 236
[9] Abdul Majid Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran Kontemporer, judul asli “Ittijaahaat al-Tafsir al-Ashri al-Rahim” (Surabaya: Pustaka Insan Madani, 1997 M), Cet. I, hal. 39-40
[10] Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir terjemahan Faisal Shaleh dan Syahdianor dari judul asli “Manhaj al-Mufassirin” (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 M), Cet. I, hal. 236-237
Posting Komentar