Gender dalam Islam

SQ Blog - Jender menjadi salah satu isu kontemporer dalam sorotan Agama, khususnya terkait hukum fiqih. Menguraikan persoalan jender dengan merujuk sumber ajaran,dapat menimbulkan beda pendapat, apalagi memahami teks-teks keagamaan.

Uraian ini akan memberikan informasi terkait diskusi jender dalam Islam, meliputi pengertian jender, perdebatannya, serta ruang lingkup kajiannya. 

Apa itu Jender?

Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu “gender” yang berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.

Meskipun kata jender belum masuk dalam perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Jender diartikannya sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. (Nasaruddin Umar, 2010: 30-31) 

Dari sekilas definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Dengan demikian, jender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. (Nasaruddin Umar, 2010: 31)

Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu, jender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya dimana mereka berada. (Jurnal Kordinat, 2002: 29-30)

Kedudukan Perempuan dalam Islam

Kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan.

Muhammad al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan Mesir, menulis:
Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan bahan perbandingan”. (Membumikan al-Quran)
Persoalan-persoalan yang menyangkut perempuan benar-benar mendapatkan perhatian yang serius dalam sumber-sumber syari’ah Islam. Al-Quran mapun hadis menyebutkan tema perempuan ini dalam banyak tempat. Bahkan sejumlah nama surah dalam al-Quran diambil dari nama perempuan atau masalah perempuan.

Ada yang dalam bentuk jender, seperti surah al-Nisa’ atau nama person, seperti surah Maryam, mapun yang menjadi persolan perempuan, seperti surah al-Thalaq, al-Mumtahanah, al-Mujadilah, dan sebagainya.

Dalam realitas sosial-budaya, al-Quran hadir untuk berbicara pada kenyataan ketika diturunkannya. Akan tetapi, al-Quran tidak begitu saja mengakui dan menerima tradisi-tradisi tersebut sebagaimana adanya. Sepanjang tradisi tersebut  telah  menyimpang  dari  prinsip  kemanusiaan, maka al-Quran melakukan kritik dan koreksi serta mengajukan gagasan baru kearah kondisi yang lebih baik dan sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan.  (Husein Muhammad, 2004, 79-80)

Syariat Islam menanggapi ketidaksetaraan jender yang lebih mencolok pada masa pra-Islam. Contohnya, peraturan Islam melarang melakukan pembunuhan terhadap bayi perempuan, menghilangkan status perempuan sebagai barang, menekankan sifat kesepakatan, dapat menerima mahar secara langsung dan berbagai perubahan hukum lainnya. (John L. Esposito, 2002: 310)

Jender dalam Perdebatan

Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak cukup hanya dikaji secara biologis tetpi memerlukan pengkajian secara non-bilogis. Kajian yang terakhir inilah disebut studi jender, yaitu suatu upaya untuk memahami interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin. 

Peran jender tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Terlepas dari hal ini, wacana jender sebagai isu kontemporer perlu dianalisa lebih jauh lagi dan dilihat dari beberapa perspektif yang relevan.

Kajian ini memunculkan fenomena menarik ketika fiqih oleh kalangan pemikir baru dicoba untuk dilakukan rekonstruksi berdasarkan analisis konteks kontemporer.

Isu Jender dan Fiqih

Proses-proses fiqih dalam perspektif jender diharapkan dapat menghasilakan produk hukum dimana manusia sebagai subjek hukum ditempatkan pada posisi yang tidak saling mensubordnasi, mendeskriminasi atau memarjinalkan satu atas yang lain atas dasar apapun. Upaya ke arah perubahan ini dirasakan sebagai kebutuhan yang sangat mendesak dan strategis bagi perwujudan hubungan-hubungan kemanusiaan yang lebih adil.

Pendekatan fiqih dalam konteks jender sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari pertanggungjawaban ketauhidan Islam. Afirmasi prinsip ini tidak hanya dapat dipahami sebagai hubungan personal manusia dengan Tuhan yang Maha Absolut, melainkan juga diwujudkan dalan relasi interaktif kehidupan manusia.

Pada saat kita menyakini bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemegang otoritas mutlak atas alam semesta, maka pada saat yang sama seharusnya menjadi kenyakinan kita pula untuk memandang ciptaan Tuhan dengan setara, terlepas dari simbol-simbol budaya yang menyertainya. Perbedaan-perbedaan yang diciptakan Tuhan tidak seharusnya menjadi dasar pembedaan-pembedaan pada wilayah-wilayah sosial, ekonomi, budaya dan seterusnya.

Sebuah Tawaran dalam Perdebatan Jender

Pandangan-pandangan terkait jender terus dikembangakan oleh sebagian intelektual Islam. Mereka merumuskan kembali wacana keagamaan menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak dan niscaya.

Mereka menyakini agama akan teraliensi dari kehidupan sosial yang terus berkembang dan mengalami perubahan yang tidak mungkin dapat dipertahankan. Upaya ke arah reinterpretasi dan redefinisi di atas mensyaratkan sejumlah langkah metodologis agar teks-teks keagamaan tersebut menjadi hidup dan memiliki relevansi dengan ruang kontemporer saat ini.

Beberapa hal yang perlu menjadi dasar bagi langka reinterpretasi tersebut, (Husein Muhammad, 2004, 185-186) yaitu:
  • Menjadikan tujuan-tujuan syari’ah sebagai basis utama penafsiran/takwil,
  • Melakukan analisis terhadap aspek sosio-historis,
  • Malakukan analisis bahasa dan konteksnya,
  • Melakukan aspek kausalitas dalam teks, dan
  • Melakukan analisis kritis terhadap sumber-sumber transmisi hadis.
Diskusi Jender dalam Perspektif Fiqih

Menutup uraian ini, kami ketemgahkan sebuah karya ilmiah yang mengkaji pandangan-pandangan intelektual Islam terkait jender dalam relevansinya dengan fiqih dalam Islam.

Sebagai catatan, uraian ini sama sekali tidak bermaksud menyalahkan atau menghukumi akan keabsahan hukum fiqih, namun semata-mata kami sajikan untuk menjadi perenungan dalam meretas kebekuan ijtihad dalam dunia Islam khususnya dalam merespon wacana kontemporer.

Selamat menyimak!

DOWNLOAD

Sekian
Oleh: Hasrul

Jender dalam Islam, apa itu jender, perdebatan jender, jender, gender, jender dan fiqih

Labels: ,

Posting Komentar

[blogger][facebook]

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.