Dimensi Tartil, Qiraah, Tilawah dan Nagham dalam al-Quran

SQ Blog - Postingan ini akan membahas makna Tartil, Qira'ah, Tilawah dan Nagham dalam al-Quran. Inistiaf penulisan ini tidak terlepas dari perbincangan bacaan al-Quran beberapa hari lalu di Istana Negara dengan langgam Jawa ala Sinden. Sontak bentuk bacaan yang terbilang baru tersebut mendapat berbagai tanggapan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Admin berharap, semoga tulisan ini dapat memberikan informasi terkait hal tersebut. Disini, admin tidak hanya membahas bentuk Nagham al-Quran termasuk perdebatan melantunkan al-Quran dengan nagham/lagu selain Arab diantaranya langgam Jawa ala Sinden, tetapi juga admin mengutarakan istilah lainnya yg serupa dengan Nagham, yaitu, Tartil, Qira'ah dan Tilawah. Simak uraiannya di bawah ini.

Al-Quran adalah kitab suci umat Islam yang sarat dengan Kemukjizatan dan Keistimewaan yang tidak dimiliki kitab-kitab lainnya. Salah satu keistimewaan tersebut terletak pada gaya bahasanya yang penuh dengan irama dan lagu. Irama dan lagu tersebut sama sekali berbeda dengan jenis irama atau jenis lagu dengan yang lainnya.

Sayyid Qutub mengatakan bahwa gaya bahasa dan untaian kata al-Quran bebas sepenuhnya dari belenggu sajak dan segala bentuk kaidahnya harus diindahkan dalam penggubahan syair Arab. Dengan demikian, susunan kalimat dan gaya bahasa al-Quran bebas pula dari tujuan yang umum dikenal dalam sya’ir-sya’ir dan sajak-sajak. Demikian keterangan Subhi al-Shalih dalam bukunya.

Keterangan Sayyid Qutub di atas, mengingatkan bahwa karya sastra bangsa Arab sekalipun, berbeda dengan Irama dan Lagu al-Qur’an, apalagi irama dan lagu dari bangsa atau daerah lainnya. Melantunkan ayat-ayat al-Quran dengan irama dan lagu dituntut dengan baik, fasih, serta suara yang indah yang memang merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Menurut Muhsin Salim, Dosen Tajwid, Nagham dan Qira’at Istitut PTIQ Jakarta, arah tuntutan tersebut ialah pola bacaan tartil yang berlaku bersamaan dengan turunnya al-Quran. Hal ini ditegaskan dalam surah al-Furqan ayat 32:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا.

Artinya: Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa al-Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).” (Q.S. al-Furqan: 32)

Sekilas Tartil dan Hubungannya dengan Ilmu Tajwid

Para Sahabat dan ulama sejak dahulu telah mengajarkan tuntunan akan hal itu dalam satu bidang ilmu tersendiri, yaitu Ilmu Tajwid. Melalui ilmu inilah diberikan tuntunan dalam melantunkan ayat-ayat al-Quran agar dapat mencapai target bacaan yang Tartil. Perintah Allah dalam al-Quran yang mengisyaratkan akan hal ini ialah:

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا. ﴿المزمل﴾

Artinya: “Bacalah al-Quran dengan Tartil yang optimal.” (Q.S. al-Muzzammil: 4)

Penekanan ayat di atas untuk membaca al-Quran bukan hanya sekedar tartil, melainkan dengan tartil yang benar-benar berkualitas. Demikian pesan Ahmad Fathoni, salah satu dosen Tajwid dan Qira’at Institut PTIQ Jakarta dan IIQ Jakarta. Menurut Ali bin Abi Thalib, tartil di sini mempunyai arti, (تَجْوِيْدُ اْلحُرُوْفِ وَ مَعْرِفَةُ اْلوُقُوْفِ), yaitu membaguskan bacaan huruf-huruf al-Quran dan mengetahui hal-ihwal waqaf. Sehingga, maksud tartil di sini ialah melafazkan ayat-ayat al-Quran sebagus dan semaksimal mungkin.

Makna Tartil, Qira'ah dan Tilawah

Demikianlah sekilas gambaran makna tartil dalam perspektif untuk membaca al-Quran. Dalam ayat-ayat al-Quran, terdapat kata lain yang sinonim (mutaradif) dengan kata Tartil tetapi memiliki makna yang berbeda, yaitu Qira’ah dan Tilawah. Untuk melihat sisi perbedaan ketiga kata ini yang sama-sama diartikan “membaca” dalam bahasa Indonesia, perhatikan definisinya masing-masing di bawah ini:
  • Tartil, yaitu membaca dengan ittisaq (terpadu) dan intizham (tersistem) secara konsisten (istiqamah). Tartil menekankan pelepasan kata-kata dari mulut secara baik, teratur, dan konsisten. Kata inilah yang dipadankan dalam teknis penerapan ilmu Tajwid sebagaimana dijelaskan di atas.
  • Qira’ah, yaitu membaca untuk mengungkap makna suatu bacaan. Sehingga, kata Qira’ah dapat diartikan menganalisa, meneliti, menguji, eksplorasi, investigasi, dan sejenisnya.
  • Tilawah, yaitu membaca yang diikuti kehendak untuk mengikuti apa yang dibacanya. Dari sini dengan jelas dapat melihat bahwa kata tilawah ini mengungkapkan aspek praktis dari membaca, yakni mengamalkan isi dari apa yang dibacanya. 
Nagham al-Quran; Membaca al-Quran dengan Lagu

Selain ketiga kata di atas, terdapat satu kata lagi yang sangat berkaitan dengan al-Quran dalam aspek membaca, yaitu Nagham. Sekilas kata inilah yang menjadi topik utama dalam pembahasan ini. Kata Nagham (النَغْمُ/النَغْمَةُ) merupakan mufrad dari jamak Angham/al-Naghamaatu (أَنْغَامُ/النَّغَمَاتُ) yang berarti lagu.

Konteks Nagham al-Quran (lagu al-Quran) dengan ketiga kata sebelumnya memiliki sasaran yang sama, yaitu membaca al-Quran. Akan tetapi, sisi prakteknya-lah yang membedakannya. Ketiga kata sebelumnya telah diuaraikan secara singkat di atas, adapun Nagham dalam prakteknya memiliki aturan tersendiri berupa Maqom, al-Wan (variasi maqom), dan Taqsim (improvisasi maqom).

Perintah Nabi Memperindah Bacaan al-Quran

Sebelum menyelami maqom-maqom nagham al-Quran serta memberikan tanggapan terkait ketentuan dalam melantunkan nagham al-Quran, perlu ditekankan terlebih dahulu bahwa terdapat sejumlah hadis nabi yang memerintahkan dalam memperindah bacaan al-Quran dan keterangan mengenai kekaguman nabi terhadap bacaan beberapa Sahabat, diantara hadis tersebut ialah: 

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَيْءٍ مَا أَذِنَ لِلنَّبِيِّ أَنْ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ. ﴿رواه البخاري﴾

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Al-Zuhri, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Allah tidak mengizinkan pada sesuatu pun, sebagaimana Allah mengizinkan kepada Nabi untuk melagukan al-Qur’an.” (H.R. Al-Bukhari, hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim)

Abu Sufyan Wakie’ bin al Jarrah berkata terkait hadis di atas, “Tafsirnya ialah (يَسْتَغْنِي بِهِ) menyenandungkannya. Sebagian Sahabat mengartikannya (لَهُ يُرِيدُ أَنْ يَجْهَرَ بِهِ), yaitu melagukannya dengan suara yang keras. Dalam hadis lain, nabi menyatakan:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ ، حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ ، أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ ، أَخْبَرَنَا ابْنُ شِهَابٍ ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ. ﴿رواه البخاري﴾

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim, telah mengabarkan kepada kami Ibn Juraij, telah mengabarkan kepada kami Ibn Syihab, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah Saw bersabda: Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan al-Qur'an”. (H.R. Al-Bukhari) 

Adapun keterangan mengenai keindahan beberapa bacaan Sahabat ialah:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ ، حَدَّثَنَا أَبِي ، عَنِ الأَعْمَشِ ، قَالَ : حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ عَنْ عَبِيدَةَ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ لِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ قُلْتُ آقْرَأُ عَلَيْكَ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ قَالَ إِنِّي أُحِبُّ أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي. ﴿رواه البخاري و مسلم﴾

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh bin Ghiyats, telah menceritakan kepada kami bapakku, dari Al-A’masy, ia berkata; telah menceritakan kepadaku Ibrahim, dari Abidah, dari Abdullah r.a, ia berkata; Nabi Saw pernah bersabda padaku: “Bacakanlah Al Qur`an untukku.” Aku pun berkata, “Apakah aku akan membacakan untuk Anda, padahal ia diturunkan kepada Anda?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya aku suka untuk mendengarnya dari orang lain.” (H.R. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadis lain menerangkan kekaguman nabi terhadap terhadap suara Abu Musa al-Asy’ari:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بَكْرٍ ، حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى الْحِمَّانِيُّ ، حَدَّثَنَا بُرَيْدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ جَدِّهِ أَبِي بُرْدَةَ ، عَنْ أَبِي مُوسَى ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لَهُ يَا أَبَا مُوسَى لَقَدْ أُوتِيتَ مِزْمَارًا مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ. ﴿رواه البخاري﴾

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muhammd bin Khalaf Abu Bakr, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Al-Himmani, telah menceritakan kepada kami Buraid bin Abdullah bin Abu Burdah, dari kakeknya (Abu Burdah), dari Abu Musa r.a, dari Nabi Saw, beliau bersabda kepadanya: “Wahai Abu Musa, sesungguhnya engkau telah diberikan suara clarionet dari suara-suara clarionet keluarga Nabi Daud”. (H.R. Al-Bukhari)

Hadis lainnya terkait bahasan ini ialah:

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ طَلْحَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْسَجَةَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ ». ﴿رواه أبو دؤد، النسائي، إبن ماجه﴾

Artinya: “Telah menceritakan kepada Kami Utsman bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada Kami Jarir, dari Al-Amasy, dari Thalhah, dari Abdurrahman bin ‘Ausajah, dari Al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata; Rasulullah Saw bersabda: “Perindahlah al-Qur’an dengan suara kalian”. (H.R. Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Majah)

Setelah mengamati hadis-hadis Nabi di atas dapat disimpulkan bahwa memperindah bacaan dalam melantunkan ayat al-Quran adalah anjuran. Jika di amati lebih lanjut dalam hubungannya dengan istilah Tartil, Qira’ah, Tilawah dan Nagham, perintah dalam hadis di atas mencakup prakteknya dalam kegiatan Tartil dan Nagham. Adapun Qira’ah dan Tilawah berada di sisi lain karena orientasinya lebih pada tindakan nyata dari kegiatan membaca seperti disebutkan di atas.

Jadi, perintah memperindah bacaan dalam hadis-hadis di atas mencakup bacaan dengan Nagham/lagu, maupun bacaan dengan Tartil. Perbedaan keduanya bahwa Nagham mengikuti kaidah beberapa Maqom, adapun Tartil tidak. Sungguhpun demikian, praktek keduanya harus berdasarkan ilmu tajwid dan ilmu qira’at. Bahkan dapat dikatakan, Nagham sesungguhnya berkembang dari variasi bacaan tartil, hanya saja dilengkapi dengan beberapa aturan maqom bacaan.

Hadis di atas menginformasikan juga bahwa selain kata Nagham, kata al-Ghina’ (الغناء) juga sering digunakan untuk menyebut lagu al-Quran. Hal ini sesuai dengan keterangan Muhsin Salim dalam bukunya. Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa Nagham juga sinonim dengan kata al-Lahn (اللحن). Terdapat satu hadis yang menggunakan kata “اللحن” sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausat-nya. Tetapi status hadis ini dha’if karena terdapat rawi yang majhul (tidak diketahui). Hadis tersebut ialah: 

حدثنا محمد بن جابان ثنا محمد بن مهران الجمال نا بقية بن الوليد عن حصين بن مالك الفزاري قال سمعت شيخا وكان قديما يكنى بأبي محمد يحدث عن حذيفة بن اليمان قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: اقْرَءُوا الْقُرْآنَ بِلُحُونِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا. ﴿رواه الطبراني﴾

Artinya: “Dari Huzaifah bin al-Yaman berkata, Rasulullah Saw bersabda; “Bacalah al-Quran itu dengan lagu orang-orang Arab.” (H.R. Al-Thabrani)

Definis Nagham dan Maqom-maqomnya

Setelah melalui bebera uraian di atas, kini saatnya kita melihat definisi dari Nagham al-Quran. Menurut Muhsin Salim, Nagham al-Quran ialah alunanan intonasi atau lagu yang disuarakan dalam ragam nada, variasi, dan improvisasi yang selaras dengan pesan-pesan yang diugkapkan oleh ayat yang dibaca. Tandasnya lebih lanjut, lagu tersebut tentu saja bermuara dari lagu-lagu yang dilantunkan dalam nyayian atau seni suara orang Arab.

Ketentuan lainnya bahwa Nagham/lagu yang dilantunkan dalam bacaan kitab suci al-Quran harus tunduk dan mengikuti kaidah tartil yang tertuang dalam ilmu tajwid. Sehingga lagu-lagu bersangkutan layak untuk dinyatakan sebagai lagu-lagu kitab suci al-Quran. Orang yang pertama kali membaca al-Quran dengan warna-warna lagu ialah salah seorang di antara sejumlah Qurra’ (ahli baca) yang di bawah Ziyad al-Numairi ketika berkunjung ke rumah Anas bin Malik.

Pendapat lain menyebutkan bahwa orang yang pertama-tama membaca al-Quran dengan lagu adalah Ubaidillah bin Abi Barkah dan dikembangkan oleh generasi berikutnya, yaitu Ubaidillah bin Umar dan Sa’id al-Allaf al-Ibadli. Diantara maqom-maqom Nagham al-Quran yang populer ialah maqom Bayyati, Hijaz, Shaba, Rast, Jiharka, Sika dan Nahawand. Sobat SQ yang ingin download tausyih maqom tersebut, di sini.

Melagukan al-Quran selain dengan Nagham/lagu Arab?

Pertanyaan kemudian, bagaimana melantunakan ayat al-Quran dengan lagu selain lagu Arab? Hal inilah yang menjadi penutup tulisan ini sekaligus memberi tanggapan terkait bacaan al-Quran dengan irama sinden di yang dibacakan oleh oleh dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Muhammad Yasser Arafat. Bacaan dalam rangka peringatan Isra dan Mi’raj tersebut dilangsukan di Istana Negara pada hari Jum’at, 15 mei 2015 membuat banyak perdebatan di masyarakat. Berikut rekamannya:

Bacaan tersebut yang merupakan ide dari Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin terbilang baru dan banyak mendapat tanggapan, tidak hanya dalam negeri bahkan dari luar negeri juga. Di media pun disebutkan, ada yang meresponnya dengan baik, namun tidak sedikit juga yang merespon sebaliknya.

Bacaan ini menjadi isu internasional setelah Qari’ internasional, asal Saudi Arabia, Syeikh Abdullah Ali Bashfar turut mengeluarkan fatwa. Beliau melarang bacaan tersebut dengan 4 argumen, yaitu:
  1. Terdapat kesalahan lahjah (aspek dialek fonologis). Menurutnya, seharusnya lahjah yang dipakai adalah lahjah Arab.
  2. Terjadi takalluf (pemaksaan), pembacanya dianggap terlalu memaksakan untuk meniru lagu yang tidak lazim dalam membaca al-Quran.
  3. Adanya ashabiyah (fanatisme kesukuan). Syeikh Ali mencurigai adanya kesan terlalu menonjolkan kejawaan atau keindonesiaan. Hal ini dianggap membangun sikap ashabiyyah dalam ber-Islam. Padahal, ashabiyah itu hukumnya haram.
  4. Dikhawatirkan mempermainkan al-Quran. Yang paling fatal adalah jika ada maksud memperolok-olokkan ayat-ayat Allah yang mereka samakan dengan lagu-lagu wayang dalam suku Jawa.
Hal berbeda disampaikan KH. Prof. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, mantan rektor dan guru besar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta dan tim pentashih terjemahan al-Quran di Departemen Agama RI. Menurut beliau, bacaan dengan langgam tradisional dianggap sebagai perpaduan yang baik antara seperti langit kallamullah yang menyatu dengan bumi, yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan. Hanya saja, bacaan pada langgam budaya harus telap berpacu seperti yang diajarkan Rasul dan para sahabatnya, yakni sesuai dengan kaedah fonologi bahasa Arab al-Quran (tajwid).

Lebih lanjut, Ahsin Sakho berpendapat bawha membaca al-Quran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dalil shahih yang melarang hal demikian. Dia menganggapnya sebagai kreativitas budaya.

Tanggapan Admin Laggam Jawa ala Sinden dalam Melagukan al-Quran

Terlepas dari perbedaan di atas, setidaknya kita perlu mengetahui bahwa dalam melantunkan ayat al-Quran harus berlandaskan dengan ilmu tajwid dan juga ilmu qira’at pada tataran bacaan-bacaan tertentu. Hal ini telah disebutkan sebelumnya bahwa tartil yang merupakan target utama dalam ilmu tajwid, perintahnya bersamaan dengan turunnya al-Quran sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Furqan ayat 32, kemudian ditekankan lagi dalam surah al-Muzzammil ayat 4.

Oleh karenanya, penilaan utama dalam menilai bacaan al-Quran ialah sisi Tartilnya yang berlandaskan dengan ilmu tajwid. Adapun dalam persoalan ini, yaitu laggam jawa dengan irama sinden dalam al-Quran menurut penulis agak memuat tadallus (pemaksaan) sehingga kurang tepat. Sehingga, penulis sepakat dengat pendapat Abdullah Ali Bashfar dalam persoalan ini. Namun, penulis juga menyadari bahwa variasi bacaan al-Quran tidak terlepas dari unsur budaya dengan syarat tetap berlandaskan disiplin ilmu tajwid. Seperti maqom sika yang berasal dari Turki kemudian di adopsi oleh Qurra’ Arab, akhirnya menjadi warna lagu Arabi. Pada sisi ini, penulis sepakat dengan Akhsin Sakho.

Renungan Membaca dan Melagukan al-Quran

Demikianlah ulasan penulis terkait Dimensi Tartil, Qira’ah, Tilawah, dan Nagham dalam al-Quran. Semoga dapat memberikan wawasan baru dalam ranah kajian ini. Sebagai penutup, penulis mengutip keterangan Manna Khalil Khattan dalam bukunya yang bersumber dari al-Suyuti bahwa; Diantara perbuatan bid’ah dalam qira’at dan ada’ adalah talhin. Diantara macam talhin ialah:
  1. Tar’id, yaitu menggelatarkan suara, laksana suara yang menggelatar karena kedinginan atau kesakitan;
  2. Tarqis, yaitu sengaja berhenti pada huruf mati namun kemudian dihentakannya secara tiba-tiba disertai gerakan tubuh,
  3. Tatrib, yaitu menendangkan dan melagukan al-Quran sehingga membaca mad bukan pada tempatnya atau menambahnya;
  4. Tahzin, yaitu membaca al-Quran dengan nada memelas seperti orang yang bersedih sampai hampir menangis disertai suara lembut;
  5. Tardad, yaitu bila sekelompok orang menirukan seorang qari’ pada akhir bacaannya dengan satu gaya dari cara-cara di atas.
Adapun teknik membaca yang sebenarnya menurut Manna Khalil al-Qattan ada 3, yaitu
  1. Tahqiq; yaitu memberikan haq-haq setiap huruf sesuai dengan ketentuan para ulama dan disertai tartil,
  2. Hadar; yaitu membaca cepat dengan tetap memperhatikan syart-syarat pengucapan yang benar; dan
  3. Tadwir; yaitu pertengahan antara Tahqiq dan Hadar.
Hukum Tartil dan Nagham

Demikianlah bahasan admin kali, semoga bermanfaat dan menambah wawasan baru mengenai perbedaan makna Tartil, Qira'ah, Tilawah dan Nagham. Disamping, dapat mengetahui ketentuan membaca al-Quran, baik dengan Tartil maupun dengan Nagham/lagu harus tetap berdasarkan disiplin ilmu Tajwid. Membaca al-Quran dengan Tartil yang berdasarkan ilmu tajwid adalah wajib menurut ulama. Adapun melagukan al-Quran dengan Nagham, menurut Mazhab Maliki dan Mazhab Hambali adalah makruh (boleh), sedangkan menurut mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanafi adalah mustahab/sunnah.

DAFTAR PUSTAKA
  • Abu Da'wud, Sunan Abu Dawud, Beirut, Daar al-Kitab al-Araby, tt
  • Al-Bukhari', Shahih Bukhari', Beirut: Da'r Ibn Kasir, 1407 H/1987 M
  • Al-Nasa'’i, Sunan al-Nasa'’i, Cet. I, Beirut: Da'r al-Kitab al-Ilmiyah, 1991
  • Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Quran, Cet. XIV, Bogor: Pustaka LiteraAntarNusa, 2011
  • Fathoni, Ahmad. Petunjuk Praktis Tahsin Tartil al-Quran, Jakarta: Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ, 2010
  • Ibnu Maja'h, Sunan Ibnu Maja'h, Cet. III, Beirut: Da'r al-Fikr, tt
  • Majelis Ulama Indonesia, http://mui.or.id/mui/
  • Muhsin Salim, Ilmu Nagham al-Quran: Metode Membaca al-Quran dengan Lagu, cet. III, Jakarta : YATAQI, 2008
  • Muslim Media News (MMM), http://www.muslimedianews.com/
  • Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Da'r al-Ji’il, 1955
  • Qira’ah, Tartil, dan Tilawah, https://web.facebook.com/notes/al-falihin/qiraah-tartil-dan-tilawah-membaca/10153320506205136
  • Rima News; Bersuara denga Hari, http:// rimanews.com/
  • Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu al-Quran, Cet. XI, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011
  • Shihab, Quraish. Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persolan Umat, Cet. XVIII, Bandung: Mizan, 2007
SEKIAN
pdf DOWNLOAD : Di Sini

Tartil, Tilawah, Qira'ah, Nagham, Nagam al-Quran, Qira'at, Tartil al-Quran, Lagu al-Quran selain lagu Arab, Melagukan al-Quran dengan lagu Jawa, melagukan al-Quran dengan Langgam Jawa, melagukan al-Quran dengan Sinden, Sinde, Langgam Jawa,

Posting Komentar

[blogger][facebook]

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.