Ad-Dakhil, Upaya Filterisasi Penafsiran yang Shohih

SQ BLOG - Selama ini, dalam kajian penafsiran al-Quran kita mengenal beberapa istilah yang sudah familiar. Sebut saja kata Tafsir yang berarti mengungkap atau menjelaskan, dan kata Ta'wil yang berarti memalingkan atau memperkirakan. Kedua kata ini sangat familiar dibandingkan dengan beberapa istilah lainnya.

Melalui postingan ini, admin akan membahas satu istilah lagi dalam dalam kajian penafsiran yang sobat patut ketahui. Istilah itu ialah al-dakhîl (الدخيل). Berikut bahasannya sobat!

Definisi Ad-Dakhil

Kata al-dakhîl (الدخيل) merupakan sifat musyabbahah yang berasal dari kata:

(دَخُلَ – يَدْخُلُ – دُخُولاً – مَدْخَلًا – دَخَلٌ - دَاخِلٌ)

Kata ini merupakan lawan dari kata (الخروج). Beberapa arti dari kata al-dakhîl (الدخيل) menurut bahasa ialah makar, rekayasa, aib, kerusakan, tamu, yang datang dari luar dan orang asing.[1] Ibnu Mandzur mengartikan kata al-dakhîl dengan setiap kalimat atau bahasa yang dimasukkan ke dalam bahasa Arab dan bukan berasal dari bahasa Arab.[2] Fairuzzabaadi dalam al-Muhit mendefinisikan kata al-dakhîl sebagai sesuatu yang masuk ke dalam tubuh manusia ataupun akalnya berupa penyakit atau sesuatu yang jelek.[3] Selain itu, Ragīb Al-Asfīhānī dalam kitabnya “Al-Mufradat fī Gāri’ib Al-Qur’an”, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan (اَلدَّخَلُ) secara etimologis adalah burung yang masuk didalam pepohonan yang rimbun, yang dililitkan, dan dikumpulkan jadi satu.”[4]

Tinjauan lain dikemukakan oleh Ibrahim Abdurrahman Khalifah, beliau mengartikan al-dakhîl sebagai sesuatu yang masuk ke dalam tubuh ataupun akal manusia, berupa penyakit atau sesuatu yang jelek.[5] Adapun Ali Mukhaimir mengartikannya sebagai setiap unsur asing yang masuk dan tidak sesuai dengan koridor-koridor lingkungan setempat, baik dari tutur kata dan lain semacamnya.[6] Semua pengertian tersebut menggambarkan kerusakan pada materi yang dimasukinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sekilas makna al-dakhîl yang telah dikemukakan, semuanya mengarah pada satu titik temu bahwa kata al-dakhîl tidak keluar dari sesuatu yang masuk dari luar yang tidak memiliki asal sedikitpun dalam objek yang dimasukinya.

Berangkat dari pengertian diatas, al-Dakhīl juga diartikan sebagai bagian luar yang menyimpang, tidak ada keterkaitan dengan yang ada di dalam, dan yang di dalam juga tidak mencakup yang diluar itu, seperti seseorang yang berada diluar pintu, dia tidak berkaitan dengan apa yang ada di dalamnya, karena dia mempunyai bid’ah tertentu yang menyebabkannya terhalangi dari sifat keterkaitan.[7] Akibat kerahasiaan (kesamaran) yang masuk tersebut, maka usaha untuk mengungkapkannya membutuhkan suatu pemikiran yang serius.

Sedangkan secara istilah, al-dakhîl (الدخيل) menurut ulama tafsir sebagaimana yang telah didefinisikan Ibrahim Abdurrahman Khalifah adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memiliki sumber yang jelas dalam Islam, baik itu tafsir yang menggunakan riwayat-riwayat dari hadis dho’if (lemah) dan palsu, ataupun menafsirkannya dengan tafsiran yang sesat dari sang penafsir itu sendiri karena lalai atau ada unsur kesengajaan.[8] Abdul Wahab Fayad memaknai al-dakhîl (الدخيل) dengan menafsirkan al-Qur’an dengan metode dan atau dengan cara yang bukan dari Islam.[9] Sedangkan Jum’ah Ali Abdul Qadir mendefinisikan al-dakhîl (الدخيل) dengan penafsiran yang tidak memiliki orisinalitas agama dari sisi pemaknaan karena ada unsur kecacatan dalam penafsiran al-Qur’an yang ditafsiri secara tiba-tiba (kesengajaan), lalai atau kontemporisasi penafsiran yang disesuaikan dengan situasi kondisi kejadian setelah wafatnya nabi Muhammad Saw.[10]

Berdasarkan pengertian di atas, maka al-dakhîl (الدخيل) dalam tafsir adalah suatu aib atau cacat yang bersumber dari pemikiran rusak atau unsur asing yang sengaja disisipkan ke dalam beberapa bentuk tafsir al-Qur’an. Dalam ruang lingkup tafsir, kata al-dakhîl (الدخيل) berlawanan dengan kata al-Ashil (الأصيل). Menurut bahasa, al-Ashil (الأصيل) adalah sesuatu yang memiliki asal yang kuat dalam objek yang dimasukinya. Sedangkan menurut istilah, al-Ashil adalah Tafsir yang berlandaskan kepada al-Quran dan al-Sunnah atau pendapat sahabat dan tabi’in, atau berdasarkan ijtihad dan ra’yu yang sesuai dengan kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah dalam penafsiran.[11]

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa:
  • Al-dakhîl (الدخيل), ialah suatu aib atau cacat yang bersumber dari pemikiran yang keliru atau unsur-unsur lainnya yang sengaja disisipkan ke dalam tafsir al-Qur’an. Contoh Al-dakhîl yang terdapat dalam tafsir ialah kisah-kisah Israiliyyat, hadis-hadis palsu, penggunaan kaidah bahasa yang keliru, dan lain sebagainya.
  • Al-Ashil (الأصيل), ialah tafsir yang berlandaskan kepada al-Quran dan al-Sunnah atau pendapat sahabat dan tabi’in, atau berdasarkan ijtihad dan ra’yu yang sesuai dengan kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah dalam penafsiran.
Kedua cabang ilmu ini memiliki peranan yang penting untuk membendung tindakan penafsiran yang semena-semena. Melalui ilmu ini, sebuah bentuk penafsiran dapat ditelusuri kebenaran atau letak kesalahannya. Apalagi dalam era sekarang, beragam corak dan metode penafsiran mulai berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Tanpa ada rambu atau batasan yang jelas, setiap orang akan dengan mudahnya melakukan penafsiran dan mengklaim hasil tafsirnya sebagai sesuatu yang memiliki landasan dalam al-Quran. Di satu sisi, perkembangan penafsiran adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari karena menjadi sebuah kebutuhan untuk memecahkan berbagai persoalan kontemporer saat ini. Tetapi tentu diarahkan tetap berlandaskan dengan kaidah-kaidah penafsiran yang diakui oleh para ulama.

Disinilah letak peran Ilmu Al-Dakhil dan Ilmu Al-Ashil untuk memberikan kontrol dan jaminan terhadap sebuah penafsiran agar tetap murni yang berlandaskan kepada al-Quran dan al-Sunnah, sehingga bebas dari pemikiran yang keliru atau unsur-unsur lainnya yang sengaja disisipkan ke dalam tafsir al-Qur’an.

Sebelum mengakhiri bahasan ini, admin menyajikan beberapa kitab karya ulama yang membahas tentang Al-Dakhil dan menjadikan rujukan utama dalam studi ini. Berikut karya-karya tersebut:[12]
  1. Al-Dakhīl fī at-Tafsīr karya Ibrāhim Khalīfah;
  2. Ushūl Ad-Dakhīl fīTafsīr Aī at-Tanzīl karya Abdul Wahhāb An-Najjār
  3. Al-Dakhīl fi Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Abdul Wahhāb Faiḍ
  4. Al-Dakhīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Abdul Fatāh Khaḍar;
  5. Al-Kasyfu wa al-Bayānu ‘an ad-Dakhīl fi Tafsīr Aī Al-Qur’ān karya Abdurrahman;
  6. Al-Dakhīl fī at-Tafsīr karya Mukhtār Marzūq;
  7. Al-Dakhīl fī At-Tafsīr karya Husain Sayyid Ridwān;
  8. Al-Dakhīl fi at-Tafsīr karya Abdul Muhaimin; dan
  9. Asbāb al-Khaṭā’ fī at-Tafsīr karya Mahmūd Muhammad Ya’qūb.
Selain kitab-kitab di atas, terdapat beberapa karya referensional lainnya dalam bidang al-dakhīl fi al-tafsir, yaitu Al-Ittijāhāt al-Munḥarifah fi Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Muhammad Husain Aż-Żahābī, munculnya karya ini setelah terbitnya Al-Itiijahāt karya Ramzī Na’nānah. Na’nānah menulis karyanya tersebut setelah Husein Aż-Żahābī menulis artikel Bida’ At-Tafāsir fī al-Maḍi wa al-Hāḍir, sebagai referensi dalam menulis kitabnya.[13] Masih terdapat beberapa kitab yang sekilas membahas kajian al-Dahkil fi al-Tafsir, namun belum spesifik seperti yang disebutkan di atas dan juga masih menyatu dengan pembahasan kaidah-kaidah tafsir atau ulumul Quran pada umumnya.

ENDNOTE

[1] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 392-393.
[2] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Darr al-Sadr, tt), Cet. I, Juz XI, h. 239-242, Lihat Juga Ibrahim Musthafa, Al-Mu’jam Al-Wasith (T.tp: Darr al-Nasr, t.t), Juz I, h. 275-276.
[3] Fairuzzabaadi, Al-Kamus Al-Muhit (T.tp: tp, tt), Juz I, h. 1290-1291.
[4] Raghib Al-Asfihani, Al-Mufradat fi’ Gari’ib al-Quran (Beirut: Darr al-Ilm, 1412 H), Juz I, h. 309.
[5] Ibrahim Abdurrahman Khalifah, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, (Jami’a al-Azhar, ttp, tt.), Juz I, h. 20.
[6] Ali Mukhaimir, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, (Jami’a al-Azhar, ttp, tt.), h. 15.
[7] Abdul Wahhab Fayad, Al-Dakhīl fī TafsīrAl-Qur’ān Al-Karīm (Mesir: Maṭba’ah Hasan, 1978), h. 13.
[8] Ibrahim Abdurrahman Khalifah, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, Juz I, h. 20-22.
[9] Abdul Wahhab Fayad, Al-Dakhīl fī Tafsīr al-Qur’ān Al-Karīm (Mesir: Maṭba’ah Hasan, 1978), h. 14.
[10] Jum’ah Ali Abdul Qadir, Al-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah (Kairo: Al Azhar Press, 2006), h. 15.
[11] Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah Aram, Al-Sabil ila Ma’rifat al-Ashil wa al-Dakhil fi al-Tafsir (Zaqaziq:  Misr, 1998 M/1419 H), Jilid I, h. 45.
[12] Mohamad Sobirin, Makalah Tradisi Kritik Tafsir; Studi al-Dakhil (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013), h. 6-7.
[13] Mohamad Sobirin, Makalah Tradisi Kritik Tafsir; Studi al-Dakhil, h. 7.

Al-Dakhil, Al-Ashil, penafsiran yang benar, upaya memelihara tafsir

Labels:

Posting Komentar

[blogger][facebook]

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.