Perjalanan Partai Politik Islam di Indonesia Hingga Kini

SQ BLOG - Postingan ini merupakan sebuah resume admin dari karya Bahtiar Effendy; Islam dan Negara. Buku ini berupaya mengeksplorasi secara mendalam hubungan antara politik Islam dan Negara yang nampak kurang mesra, khususnya yang terjadi dalam sejarah Indonesia.

Penulis mengamati hal tersebut dan berupaya memahami gejala-gejala di dalamnya, kemudian memberikan jalan keluar sebagai solusi hubungan yang tidak harmonis tersebut. Bahtiar Effendi menyusun buku ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan. Satu bagian dengan bagian lainnya saling melengkapi serta dibagian akhir disajikan sebuah epilog mengenai gambaran politik Islam saat ini di Indonesia. Secara ringkas, uraian atau konten isi buku ini dapat digambarkan di bawah ini.

1. Politik Islam di Indonesia

Bahtiar Effendy mengakui bahwa pembahasan hubungan Islam dan politik sebenarnya adalah masalah yang sangat menarik, dan hal ini akan selalu menjadi subjek masalah yang tidak akan pernah kering dibahas dan tak akan pernah berhenti dibicarakan banyak kalangan sepanjang masa.[1] Pembahasan hubungan Islam dan politik di Indonesia memiliki tradisi yang amat panjang. Akar-akar genealogisnya dapat ditarik kebelakang hingga akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika Islam—seperti dikatakan banyak kalangan—pertamakali diperkenalkan dan disebarkan di kepulauan ini. Namun, patut disayangkan bahwa diskursus teoretis mengenainya berkembang baru sepanjang empat dekade belakangan ini saja.

Dalam kurun waktu tersebut, menurut Bahtiar Effendi setidaknya terdapat lima pendekatan teoretis yang berupaya memberikan gambaran hubungan politik Islam dan negara di Indonesia, yaitu:
  • Teori “dekonfessionalisasi” Islam yang dikembangkan oleh C.A.O. Van Nieuwenhuijze. Teori ini menawarkan penjelasan yang konstruktif mengenai hubungan politik yang antagonistik antara Islam dan negara. Istilah “dekonfessionalisasi” ini pada mulanya digunakan di Belanda untuk menunjukkan bahwa, untuk mencapai tingkat kebersamaan tertentu, wakil-wakil dari berbagai kelompok peribadatan harus bertemu untuk menemukan landasan bersama.[2]
  • Teori domestikasi Islam oleh Harry J. Benda. Teori itu dibangun di atas landasan analisis historis mengenai Islam di Jawa pada abad ke-16 hingga abad ke-18, terutama pada periode perebutan kekuasaan antara para penguasa kerajaan-kerajaan Muslim yang taat di wilayah pesisir Jawa, melawan kerajaan Mataram yang terkenal sinkretis di wilayah pedalaman.
  • Teori pengelompokan mazhab atau aliran, teori ini telah diidentifikasikan dengan tulisan-tulisan Robert R. Jay dan Clifford Geertz. Yang pertama menekankan corak skismatik hubungan Islam dan Jawaisme, yang kemudian berkembang melampaui wilayah konfrontasi keagamaan dan memasuki bidang politik, kebudayaan dan kehidupan sosial. Yang belakangan, Clifford Geertz, mengembangkan skisme sosial keagamaan ke dalam pengelompokan aliran sosio-kultural dan politik. Meskipun demikian, penting untuk dicatat, bahwa keduanya mencoba untuk melihat Indonesia dari mikrokosmos Mojokuto dalam sebuah periode di mana konflik-konflik antar partai amat menonjol.
  • Perspektif trikotomi, teori ini dirumuskan berlandaskan pertanyaan bagaimanakah para aktivis politik Muslim memberi respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapkan kepada mereka oleh kelompok elite penguasa. Posisi teoretis ini tampak menonjol dalam karya-karya Allan Samson dan beberapa pengamat lainnya yang melihat bahwa kekalahan partai-partai Islam disebabkan oleh perpecahan-perpecahan politis dan ideologis internal.
  • Teori Islam cultural, Teori terakhir adalah perspektif Islam kultural, yang dikembangkan dalam bentuknya yang paling lengkap oleh Donald K. Emmerson.[3]
Dari kelima pendekatan di atas, semuanya mengarah bahwa Islam dan politik dipandang sebagai dua hal yang secara formal berkaitan satu sama lain. Apa yang diyakini sebagai ketakterpisahan Islam dan politik ini tidak dipahami dalam pengertian etis atau moralnya, melainkan lebih banyak dalam pengertian skripturalnya.

2. Hubungan Tidak Serasi Politik Islam di Indonesia

Hubungan politik antara Islam dan negara di Indonesia pada sebagian besar babakan sejarahnya adalah kisah antagonisme dan kecurigaan satu sama lain. Hubungan yang tidak mesra ini terutama, tetapi tidak seluruhnya, disebabkan oleh perbedaan pandangan pada pendiri republik ini—yang sebagian besarnya Muslim—mengenai hendak dibawa ke manakah negara Indonesia yang baru merdeka. 

Kenyataan bahwa diskursus ideologis seperti itu memancing terjadinya konflik sebagian besarnya tidaklah disebabkan oleh tingkat ketaatan religius yang berbeda di kalangan kaum Muslim—sebuah pandangan yang melandasi konsep-konsep nasionalis mengenai santri-abangan dan Islam-sekular (atau netral) yang terkenal itu. Tetapi, itu terutama disebabkan oleh ketidakmampuan elite politik nasional dalam menegosiasikan dan mendamaikan perbedaan-perbedaan pandangan tersebut, seakan-akan Islam dan nasionalisme merupakan entitas-entitas yang saling menegasikan satu sama lain. Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas itu adalah apakah negara ini bercorak “Islam” atau “nasionalis”.

Asal-usulnya bisa ditelusuri ke masa-masa sebelumnya, sejak tahun-tahun pertama munculnya pergerakan nasional, di mana elite politik terlibat dalam perdebatan mengenai peran Islam dalam sebuah negara Indonesia yang merdeka. Upaya untuk menemukan hubungan politik yang pas antara Islam dan negara terus berlanjut pada periode kemerdekaan dan pascarevolusi. Lantaran tidak juga kunjung ditemukan, diskursus ideologis ini pada gilirannya menyebabkan berkembanganya kesalingcurigaan politik yang lebih besar antara Islam dan negara, terutama sepanjang duapuluh tahun pertama periode Orde Baru.

Sarekat Islam (SI) merupakan satu-satunya perwujudan politik Islam pada awal-awal pergerakan kemerdekaan Indonesia, walaupun beberapa tokohnya mengharapkan tidak adanya kaitan antara agama dan politik (negara). Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdoel Moeis merupakan tokoh Islam berpengaruh di dalamnya yang sangat mencita-citakan terjalinnya politik Islam. Namun sejak tahun 1920-an, SI mengalami banyak konflik dan perpecahan dari dalam. Situasi perpecahan dalam tubuh SI ini menjadikan organisasi tersebut kurang menarik bagi sejumlah intelektual yang lebih muda dan dididik di Barat. Seperti Soekarno, anak didik Tjokroaminoto sendiri, yang memutuskan untuk membentuk organisasi politik sendiri—Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1927.[4] Sejak 1930-an dan selanjutnya, kelompok ini—bersama sejumlah intelektual-aktivis didikan Barat lain yang baru kembali dari Belanda (terutama Sjahrir dan Mohammad Hatta) membentuk cikal-bakal gerakan nasionalis di Indonesia.

Pada perkembangan selanjutnya memperlihatkan pertentangan arah dan tujuan ideologi masing-masing, ideologi politik Islam diwakili oleh Sarekat Islam dan Persis dan ideologi nasionalis diwakili oleh PNI. Pada awal 1940-an, polemik-polemik di atas berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Polemik-polemik itu menyentuh masalah yang lebih penting, yakni: hubungan politik antara Islam dan negara. Dalam periode ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada tokoh yang begitu sering terlibat dalam berbagai perdebatan kecuali Soekarno (nasionalis) dan Natsir (non-nasionalis).[5]

Perseteruan ideologis antara kelompok Islam dan kelompok Nasionalis baru berlangsung secara penuh dalam pertemuan-pertemuan BPUPKI, yang dilaksanakan antara akhir Mei hingga pertengahan Agustus pada tahun 1945. Seraya menegaskan kembali alur penalaran teologis dan sosiologis sebelumnya, kelompok yang pertama menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi sebuah negara Islam, atau Islam harus menjadi dasar ideologis negara. Sedang kelompok yang kedua, sebagaimana tampak dalam pernyataan Hatta dan Supomo, mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional di mana masalah-masalah negara harus dipisahkan dari masalah-masalah agama. Terlepas dari kuatnya preferensi untuk membangun sebuah negara kesatuan nasional, kelompok nasionalis tetap menegaskan bahwa negara yang demikian itu tidak akan menjadi sebuah negara yang tidak religius.[6]

Perdebatan-perdebatan tersebut baru mereda ketika Soekarno menyerukan agar kedua belah pihak bersedia berkorban. BPUPKI “bersepakat” bahwa masa depan Indonesia merdeka akan didasarkan kepada sila “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Selain itu, mereka juga “menerima” Islam sebagai agama negara, dan bahwa presiden Republik Indonesia harus seorang Muslim.[7]

Periode Pasca revolusi, politik Islam berada dalam zona nyaman dan relative sedikit hambatan. Dengan Masyumi, yang dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar. Untuk alasan itu, pada tahun 1946, Sjahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia) memperkirakan bahwa “jika pemilihan umum diselenggarakan [di sekitar tahun itu], maka Masyumi—yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan Muslim modernis seperti Muhammadiyah dengan jumlah anggota yang besar di wilayah perkotaan, dan ortodoks seperti NU dengan jumlah anggotanya yang bahkan lebih besar lagi di wilayah-wilayah pedesaan akan memperoleh 80% suara.

Penting dicatat bahwa sebagai entitas politik yang bersatu, Indonesia saat itu sangat lemah. Dilihat dari perspektif teori negara, Indonesia saat itu jelas telah jatuh ke “titik terendah dalam hal kemampuannya memperoleh kontrol sosial dan efektivitasnya dalam mendistribusikan sumber-sumber.” Hal ini terlihat dari munculnya beberapa pemberontakan ketika itu seperti pemberontakan Darul Islam (DI), Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan Perjuangan Semesta Alam (Permesta) yang menyebabkan elite politik Islam di kemudian hari kalah bersaing dengan kelompok nasionalis dalam memegang kendali Negara. Namun, ini bukanlah masalah yang serius, sebab politik Islam ketika itu tetap dominan jika dilakukan pemilu. Situasi revolusioner negara (1945-1949) tidak memungkinkan dilaksanakannya pemilihan umum. Ketika kedaulatan negara diserahan Belanda ke Republik Indonesia, “setiap kabinet menjadikan pemilihan umum untuk menyusun Majelis Konstituante sebagai bagian penting dari program-programnya.”[8]

Sesungguhnya, faktor utama yang menyebabkan tertundanya penyelenggaraan pemilihan umum ketika itu yang paling penting adalah ketakutan para elite negara dan partai, khususnya mereka yang berasal dari kelompok nasionalis, bahwa pemilihan umum dapat digunakan oleh kalangan Islam untuk menyusun dukungan rakyat guna merealisasikan gagasan negara Islam.

Setelah melalui perdebatan yang panjang, akhirnya Presiden Soekarno, dengan dukungan tentara, yang rupanya telah dicanangkannya sejak lama, memberinya kekuatan eksekutif yang kuat untuk mengontrol negara. Secara simbolik elite politik Islam berhasil dikalahkan. Dan di balik kekalahan simbolik tersebut, selama masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi legalistik/formalistik gagasan dan praktik politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai menunjukkan implikasi-implikasi bawaannya yang lebih negatif. Kecuali NU, yang segera menata kembali orientasi politiknya.

Dengan naiknya rezim Orde Baru menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965, kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan mulai berharap besar kembalinya dominasi politik Islam. Tetapi rezim Orde Baru tidak menghendaki merehabilitasi Masyumi. Dilaporkan bahwa, dalam upaya memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Pada desember 1966 kelompok militer menyatakan bahwa mereka akan mengambil langkah-langkah tegas menentang siapa saja, dari kelompok mana saja, dan dari aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan sebelumnya terhadap sejumlah pemberontak dan upaya untuk mendirikan negara Islam.[9] Melihat kenyataan ini, representasi politik para pemimpin Masyumi di masa Orde Baru hanya dapat terjamin jika mereka bersedia mendefinisikan kembali agenda politik mereka dalam kerangka kerangka yang lebih dapat diterima pemerintah.

Dengan hasil pemilihan umum 1971, kekuatan Islam politik makin merosot. Ini sebagian disebabkan karena, lewat langkah-langkah yang benar-benar sudah ditata, rezim Orde Baru berhasil menciptakan “kondisi-kondisi yang sangat tidak mengenakkan bagi partai-partai politik. Akhirnya Golkar sebagai partai memihak pemerintah berhasil memperoleh kemenangan mutlak dalam pemilihan umum 1971 dengan mengantongi 62, 80% suara. Karena relatif tidak terkena intervensi luar, NU berhasil mengantongi 18,67% suara, sedikit lebih baik dari perolehan suara mereka dalam pemilihan umum 1955 (18,4%). Namun Parmusi, yang seringkali dipandang sebagai penerus Masyumi, benar-benar terpuruk dengan hanya mengantongi 5,36% suara (pada 1955, Masyumi memperoleh 20,9% suara). Dua partai Islam lain yang lebih kecil (PSII dan Perti) juga kehilangan dukungan. Pada pemilihan umum 1955, keduanya memperoleh 2,9% dan 1,3% suara, sedang pada 1971 hanya memperoleh 2,39% dan 0,70%. Langkah-langkah tersebut di antaranya:
  • Orde Baru melakukan restrukturisasi sistem kepartaian pada Januari 1973. Dengan pengecualian Golkar, pemerintah mendesak agar kesembilan partai yang ada bergabung ke dalam dua partai politik baru. Dalam kerangka ini, keempat partai Islam bergabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lima yang lainnya, yang pada dasarnya terdiri dari partai-partai nasionalis dan Kristen, digabung ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
  • Orde Baru menekan semua organisasi kemahasiswaan dan organisasi sosial-kegamaan untuk mengambil langkah serupa. Ketika undang-undang keormasan dikeluarkan pada 1985, organisasi-organisasi kemahasiswaan dan sosial-kegamaan Islam seperti—hanya untuk menyebut beberapa nama—NU, Muhammadiyah, MUI, HMI, PMII, harus menerima Pancasila sebagai asas organisasi mereka.[10]
3. Tiga Intelektualisme Baru Politik Islam di Indonesia

Kemunculan intelektualisme Islam baru dapat dipandang mewakili suatu upaya yang memberi harapan dalam rangka memperbaiki keretakan hubungan antara Islam dan negara. Kiprah intelektual tersebut dipelopori oleh sebuah generasi baru para pemikir dan aktivis Islam yang, sejak awal dekade 1970-an, berusaha mengembangkan sebuah format baru politik Islam di mana substansi, bukan bentuk, menjadi orientasi utama. Ketika itu, prinsip-prinsip pokok idealisme dan aktivisme baru ini dapat dikategorikan berkisar pada tiga wilayah penting berikut: (1) pembaruan teologis/religius; (2) reformasi politik/birokrasi; dan (3) transformasi sosial.[11]
  • Pembaruan Teologis/Keagamaan: Seruan Desakralisasi, Reaktualisasi dan Pribumisasi. Dawam Rahardjo, salah seorang tokoh penting dalam gerakan intelektual Islam baru, “ia dalam dirinya sendiri bukanlah sebuah ideologi.” Dengan demikian, “[sebuah] ‘Ideologi Islam’ tidak pernah ada.” Djohan Effendi, tokoh lain yang juga menonjol perannya dalam intelektualisme Islam baru, menyatakan bahwa Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mempromosikan sebuah negara Islam.
  • Reformasi Politik/Birokrasi: Menjembatani Jurang Ideologis antara Islam Politik dan Negara. Para intelektual Muslim yang mendukung posisi ini berkeyakinan bahwa masalah tidak mesranya hubungan antara Islam politik dan negara, juga implikasi-implikasinya yang dirasakan para politisi Muslim, dapat perlahan-lahan diatasi dengan secara langsung melibatkan diri dan berpartisipasi dalam arus utama proses-proses politik dan birokrasi negara.
  • Transformasi Sosial: Memperagam Makna Politik Islam aliran intelektual ini pada intinya menyerukan; dicamkannya makna yang lebih luas dari politik, mencakup program-program, strategi-strategi dan lapangan-lapangan bermain yang lebih beragam, mensintesiskan dimensi keislaman dan keindonesiaan, dan dipupuknya hubungan-hubungan yang lebih bermanfaat dengan negara. 
4. Implikasi Intelektualisme Islam Baru; Gagasan dan Praktik

Tujuan-tujuan sosial-politik Islam yang baru didefinisikan kembali itu, terutama gagasan tentang keharusan mengembangkan tatanan politik yang lebih egalitarian, dimaksudkan untuk mengatasi kemunduran politik di atas. Sebagaimana tercermin dalam diskursus intelektual generasi baru para pemikir dan aktivis Muslim itu, seluruh usaha mereka diarahkan untuk memasuki kembali panggung politik nasional. Sedikitnya ada dua unsur strategis yang terkandung dalam tujuan-tujuan politik yang baru didefinisikan kembali itu.

Pertama, dari perspektif yang berorientasi nilai, gagasan tentang tatanan politik yang egalitarian atau demokratis mencerminkan prinsipprinsip dasar politik Islam yang harus diterapkan (yaitu al-‘adl, almusâwâh, syûrâ). Terlepas dari kenyataan bahwa prinsip-prinsip itu mewakili idealisme politik Islam, namun tujuan politik yang ingin dicapai itu sendiri tidak dipandang sebagai ancaman atau gangguan terhadap konstruk “kesatuan nasional” negara-bangsa Indonesia—berbeda dari aspirasi-aspirasi politik Islam sebelumnya, di mana paham negara Islam atau ideologi Islam merupakan butir utamanya.

Kedua, dari perspektif yang berorientasi tujuan, dengan mengedepankan tujuan sosial-politik serta menolak gagasan negara Islam atau ideologi Islam, tokoh-tokoh generasi baru intelektualisme Islam di atas telah mempermudah jalan bagi berlangsungnya integrasi di kalangan arus utama politik nasional, dan karena itu, setidaknya secara teoretis, memperbesar peluang dan kesempatan bagi para partisipannya untuk terlibat sepenuhnya dalam diskursus politik di Indonesia. Dan itu pada akhirnya akan membuat mereka terwakili secara proporsional, baik pada tingkat parlemen maupun eksekutif (birokrasi). Kata Amien Rais, tujuan sosial politik itu akan memperlebar kemungkinan bagi para pemimpin aktivis Islam politik dewasa ini untuk punya suara dalam menentukan masa depan Indonesia.[12]

5. Tinjauan Kembali Pendekatan Politik Islam

Pendekatan politik Islam dewasa ini, seperti yang belakangan dikembangkan oleh generasi baru kaum intelektual dan aktivis Muslim, cenderung semakin inklusif atau integratif. Watak inklusif atau integratif pendekatan tersebut khususnya tampak dalam (1) cara para pemikir dan aktivis Islam politik sekarang mengekspresikan gagasan sosial-politik mereka; dan (2) bagai-mana mereka berupaya merealisasikan tujuan-tujuan sosial-politik Islam.

Sejalan dengan usaha-usaha yang tak kenal lelah dari generasi intelektual Muslim saat itu untuk mendefinisikan kembali tujuan-tujuan sosial-politik Islam, dengan agenda yang lebih inklusif dan pragmatis. Sehubungan dengan itu, aspirasi-aspirasi politik Islam dirancang sedemikian rupa sehingga mereka tidak harus berbenturan dengan masyarakat Indonesia en masse. Pada gilirannya, ini diharapkan dapat menjamin hubungan yang relatif mudah antara keislaman dan keindonesiaan.

Oleh karenanya, generasi baru para intelektual Muslim seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Adi Sasono, Ahmad Syafii Maarif, Kuntowijoyo dan M. Amin Rais untuk menyebut hanya sebagian dari mereka tidak menyepakati dikumandangkannya tujuan-tujuan sosial-politik Islam dalam cara yang formalistik dan legalistik. Sebaliknya, mereka lebih tertarik kepada masalah-masalah yang memiliki dampak yang lebih nyata bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Di sisi lain, generasi aktivis Muslim yang lebih muda menyadari bahwa, agar pendekatan politik kepartaian itu bisa berjalan efektif, diperlukan transformasi mendasar khususnya dalam hal rumusan agenda serta model afiliasi kepartaian Dalam hal ini, ada orang-orang yang memilih bekerja di bawah bendera partai politik Islam seperti PPP. Di sisi lain, ada orang-orang yang memutuskan untuk berafiliasi secara politik dengan partai yang berkuasa, yaitu Golkar. bahkan ada yang mulai bergabung dengan PDI.[13]

6. Dukungan dan Hambatan Intelektualisme Baru Politik Islam di Indonesia

Tujuan utama intelektualisme Islam baru adalah mengembangkan sintesis yang pas antara Islam dan negara. Sementara dapat dikatakan bahwa seluruh pendukung intelektualisme Islam baru sama-sama menyepakati tujuan utama di atas, strategi dan taktik yang dikembangkan mereka dalam mencapai tujuan tersebut amat beragam. Pada satu sisi, para pendukung aliran pembaruan teologis/religius dan reformasi politik/birokrasi memberi penekanan perhatian kepada negara, menyuarakan sejenis kerjasama dalam tingkat tertentu dengan negara. Pada sisi lainnya, para pembela aliran transformasi sosial memfokuskan perhatian mereka kepada penguatan posisi masyarakat, baik secara sosialekonomi maupun politik.

Terutama karena perbedaan-perbedaan di atas, maka masingmasing aliran intelektualisme Islam baru tersebut harus berhadapan dengan sumber-sumber dan hambatan-hambatan yang berbeda. Mau tidak mau, kenyataan ini menimbulkan dinamisme internal dalam gerakan ini, yang pada gilirannya memunculkan pertanyaan sekitar keuntungan komparatif masing-masing kecenderungan intelektual; dan kecocokannya satu sama lain dalam mencapai tujuan pokok bersama.

Adapaun hambatannnya nampak dalam gerakan pembaruan teologis/religius yang dinilai sumber kontroversi keagamaan dan juga bukti yang menunjukkan sudah demikian merosotnya tingkat keberagamaan sejumlah kaum Muslim di Indonesia. Selain itu, ketidakmudahan ini tambah diperburuk oleh berbagai istilah yang digunakan oleh tokoh-tokoh gerakan pembaruan dalam memperkenalkan agenda mereka (misalnya sekularisasi, desakralisasi, pribumisasi, kontekstualisasi, dan reaktualisasi). Terutama karena alasan di atas, maka para kritikus secara umum menilai gerakan pembaruan teologis/religious ini tengah mempropagandakan sekularisasi, dan menghancurkan watak holistik Islam.[14]

7. Akomodasi Negara; Sebuah Harapan atau Hanya Politik?

Idealisme dan aktivisme para politisi Muslim generasi awal dicirikan oleh formalisme dan legalisme. Perwujudan terpenting gagasan dan aksi tersebut adalah aspirasi para aktivisnya untuk mendirikan sebuah negara Islam, atau sebuah negara yang berlandaskan ideologi Islam. Kegagalan mencapai tujuan itu, yang sebagiannya disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak semua kaum Muslim mendukungnya, mengakibatkan berlangsungnya hubungan politik yang tidak mudah antara Islam dan negara di Indonesia. Hubungan politik yang tidak mudah itu berdampak luas. Puncaknya, akses para politisi Muslim ke koridor kekuasaan menyusut drastis dan posisi politik mereka pun anjlok terutama sepanjang 25 tahun pertama berkuasanya rezim Orde Baru.

Situasi politik yang suram semacam itulah yang ingin diatasi oleh generasi baru pemikir dan aktivis Muslim yang muncul pada awal 1970-an. Yang menjadi penekanan mereka adalah upaya mentransformasikan idealisme dan aktivisme para politisi Muslim awal yang bercorak legalistik-formalistik dan eksklusif menjadi suatu pendekatan politik yang lebih substantif dan integratif. Harapan-harapan semacam itu kini tampaknya mulai menjadi kenyataan. Salah satu bukti yang menunjukkan perkembangan baru tersebut adalah melunaknya politik negara terhadap Islam selama beberapa tahun terakhir, yang ditandai oleh diterapkannya sejumlah kebijakan negara yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik Islam. Bahtiar Effendy dalam penelitian ini menilai bahwa berubahnya sikap negara terhadap Islam politik disebabkan oleh transformasi intelektual gagasan dan praktik politik Islam itu sendiri. Tanpa transformasi intelektual tersebut, yakni jika para politisi Muslim masih tetap menyuarakan gagasan negara atau ideology Islam, sulit dibayangkan bahwa tanggapantanggapan akomodatif itu akan muncul sekarang.[15]

Bukti-bukti yang menunjukkan tumbuhnya sikap akomodatif negara terhadap Islam mencakup diterapkannya kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik kaum Muslim. Jika dikategorikan secara luas, bukti-bukti akomodasi itu bisa digolongkan ke dalam empat jenis yang berbeda: (1) akomodasi struktural; (2) akomodasi legislatif; (3) akomodasi infrastrukural; dan (4) akomodasi kultural.[16]

8. Tinjauan Integratif Politik Islam di Indonesia 

Islam politik yang berlangsung dewasa ini telah menemukan sebuah format baru. Ciricirinya yang utama, yang mencakup (1) landasan teologis, (2) tujuan, dan (3) pendekatan Islam politik, dipandang sama dan sebangun dengan konstruk negara kesatuan nasional Indonesia. Dalam hal landasan teologisnya, format baru Islam politik ini tidak membutuhkan kaitan legalistik atau formalistik antara Islam dan negara (atau politik pada umumnya). Sejauh negara, baik secara ideologis maupun politis, berjalan di atas sebuah sistem nilai yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, maka cukup bagi para politisi Muslim untuk menyatakan loyalitas dan dukungan mereka terhadapnya. Ini menjadikan mereka dapat menerima Pancasila yang, dalam pernyataan mereka sendiri, sejalan dengan ajaran-ajaran Islam.

Dalam hal tujuannya, juga sangat jelas bahwa Islam politik tidak lagi mengaspirasikan pembentukan sebuah negara Islam. Melainkan, berdasarkan pemahaman mereka terhadap baik ajaranajaran Islam maupun corak sosiologis masyarakat Indonesia yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam rangka pembangunan sebuah sistem sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan dengan, prinsip-prinsip umum nilai-nilai politik Islam, termasuk keadilan, musyawarah, egalitarianisme dan partisipasi. Akhirnya, sebagai pendekatan untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, Islam politik tidak lagi menekankan upaya-upayanya. Dalam politik partisan dengan parlemen sebagai arena perjuangan yang utama. Melainkan, Islam politik dalam format baru itu memperluas dan meragamkan mekanisme politiknya yang mencakup berbagai organisasi non-pemerintah seperti NU, Muhammadiyah, dan banyak lagi organisasi swasta lainnya. Lebih dari itu, mereka juga ikut bermain dalam partai Golkar yang berkuasa dan partai-partai politik lainnya. Bukti yang memperlihatkan perkembangan baru ini adalah sikap negara yang mulai tampak ramah terhadap Islam, yang ditandai oleh diterapkannya kebijakan-kebijakan tertentu yang dipandang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi, cultural dan politik kaum Muslim.[17]

9. Politik Islam di Indonesia setelah Soeharto

Satu bahasan terakhir dari Buku Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia ialah sebuah epilog yang menyajikan bahasan politik Islam setelah era kepemimpinan Presiden Soeharto. Kajiannya memuat gambaran hubungan politik Islam dan Negara hingga kini serta beberapa fenomena menariknya di dalamnya berupa eksistensi politik Islam dalam pemilu dan munculnya berbagai partai, baik yang bernuansa Islam maupun yang nasionalis.

Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto melepaskan kekuasaan yang telah digenggamnya selama 32 tahun. Mundurnya Soeharto sebagai presiden ke-2 Indonesia melahirkan dampak yang amat besar dan luas. Euforia publik muncul di mana-mana, dan dengan demikian telah meruntuhkan kesakralan dan keberjarakan wilayah politik. Dengan demikian, secara cukup tiba-tiba, politik menjadi sebuah ruang publik di mana setiap orang merasa bahwa mereka memiliki hak untuk terlibat di dalamnya. Salah satu indikasi yang paling mencolok dari relaksasi atau liberalisasi politik ini adalah munculnya partai-partai politik dalam jumlah yang luar biasa banyak. Ketika itu, muncul 181 partai politik di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 42 di antaranya dapat dikategorikan sebagai partai-partai Islam karena menggunakan Islam sebagai simbol atau asas ideologi mereka. Perkembangan semacam itu menimbulkan keprihatinan dan kekhawatiran bukan hanya dari kelompok non-Muslim, tetapi juga dari banyak kalangan Muslim. Seperti pada masa lalu (era 1950-an), demokrasi memberi banyak peluang bagi kaum Muslim untuk menghimpun dan mengartikulasikan kepentingan mereka.

Dari segi pemilu yang diselenggarakan secara demokratis, negeri ini baru mengalami dua kali pemilu, yaitu pada Juni 1999 ketika masa kepresidenan Habibie dan pada 1955 pada masa pemerintahan di bawah Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Namun demikian, sejak 1971 hingga 1997, rezim Orde Baru telah melaksanakan enam kali pemilu secara berkala—setiap lima tahun sekali. Perbedaan utama antara rangkaian pemilu tersebut dan dua pemilu yang disebut terdahulu ialah pemilu selama masa Orde Baru dilaksanakan dalam suasana yang tidak kompetitif di mana intimidasi, tekanan, penipuan dan kecurangan menjadi bagian integral dari pesta politik tersebut. Dalam situasi seperti ini, partai Golkar yang berkuasa selalu tampil sebagai pemenang, dan menjadi satusatunya kekuatan politik yang dominan.[18]

Persepsi bahwa demokrasi akan secara otomatis membuahkan realisasi kepentingan politik Islam terbukti keliru dalam sejarah politik Indonesia modern. Ketika pemilu pertama diadakan pada 1955, imajinasi politik kaum Muslim dipenuhi dengan sikap politik-keagamaan semacam itu. Menyadari kenyataan bahwa 90 persen penduduk Indonesia adalah Muslim, mereka percaya bahwa suara terbanyak akan mengalir ke partai-partai politik berbasiskan Islam seperti Masyumi, Nahdlatul Ulama, PSII dan Perti. Kenyataanya keempat partai hanya memperoleh 43,5% suara. Analisis menunjukkan bahwa kalangan sekularis, nasionalis dan politisi abangan juga menganut sudut pandang politik keagamaan seperti itu.

Kenyataan di atas yang menunjukkan politik Islam sebagai mayoritas tetapi menunjukkan ketidaksesuaian dalam pemilu disebut dengan politik aliran yang dikembangkan oleh Clifford Geertz dan Robert Jay.[19] Politik aliran masih sangat hidup selama tiga pemilu pertama (1971, 1977, dan 1982) yang diselenggarakan pada masa pemerintahan Orde Baru. Partai-partai Islam berhasil meraih 27,11% (1971), 29.29% (1977), dan 27.78% (1982) suara. Menyusul penerapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi-organisasi sosial-keagamaan dan politik pada 1984, semangat aliran pelan-pelan terkikis setidaknya dalam pengertian legal dan formal. Hal ini Nampak pada banyak tokoh Muslim yang mengafiliasikan diri mereka dengan partai penguasa, Golkar, terutama sejak 1980-an. Hasilnya, selama tiga pemilu berikutnya, partai Islam PPP yang telah dipaksa untuk mengubah asas dan simbol keislamannya—menderita kekalahan yang signifikan. Dalam tiga pemilu berikutnya, PPP hanya dapat meraih 15,97% (1987), 17,0% (1992), dan 22,43% (1997) suara.

Selanjutnya, pada tahun 1999, terdapat 20 partai politik Islam berpartisipasi dalam pemilu demokratis kedua. Dari jumlah tersebut, hanya 10 partai Islam yang berhasil memperoleh satu atau lebih dari satu kursi di DPR, yaitu PPP (58 kursi), PKB (51 kursi), PAN (34 kursi), PBB (13 kursi), PK (7 kursi), PNU (5 kursi), PP (1 kursi), PSII (1 kursi), PPII Masyumi (1 kursi), dan PKU (1 kursi). Sekali lagi, hasil pemilu tahun 1999 mengindikasikan bahwa terlepas dari kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, namun partai-partai Islam tidak mampu untuk meraih dukungan mayoritas. Jika dijumlahkan, dalam pemilu demokratis kedua ini, mereka hanya berhasil memperoleh 37,5% suara (172 kursi), termasuk PKB dan PAN, yang enggan diidentifikasi sebagai partai Islam. Tanpa dua partai ini (PKB dan PAN), partai-partai Islam hanya meraih 17,8% suara (87 kursi).20]

Buruknya kinerja partai-partai Islam dan fakta bahwa partai-partai non-Islam memperoleh 62,5% suara (290 kursi) telah digunakan sebagai alasan bagi sebagian kalangan untuk berpandangan bahwa politik aliran telah kehilangan arti pentingnya dalam perpolitikan Indonesia pasca-Soeharto. Menurut Bahtiar Effendy, ada dua faktor penting yang dapat membantu kita memahami hasil yang mengecewakan pada pemilu 1999 bagi kelompok-kelompok politik Islam.

Pertama, argumen bahwa orientasi keagamaan akan secara otomatis terwujud dalam afiliasi politik mengandung kelemahan mendasar. Sudut pandang ini tidak pernah terwujud sepanjang sejarah politik Indonesia. Hal ini memerlukan pemahaman yang memadai tentang karakter demografis dan orientasi sosial-budaya dan politik pemilih. Demikian pula diperlukan pemahaman terhadap psikologi publik mengingat bangsa ini mengalami perubahan sosial-ekonomi dan politik yang tidak menentu. Mengandalkan agama sebagai sumber daya politik untuk memobilisasi pendukung mungkin tidak mesti berguna.

Kedua, kendati keliru jika partai-partai Islam dilihat dari perspektif masa lalu, namun tetap menjadi kenyataan bahwa stigma sejarah masih menghantui pemilu tahun 1999. Ketidakmampuan partai-partai Islam untuk mengartikulasikan diri mereka dengan cara yang berbeda dari partai-partai non-Islam lainnya hanya memperkuat stigma tersebut. Karena itu, keberadaan partaipartai politik Islam itu semata akan selalu disamakan dengan ide tentang negara Islam atau dimasukkannya syariah Islam ke dalam sistem hukum di negeri ini.[21] Sejauh mereka beraneka-ragam dan tidak mampu mengekspresikan dan mengartikulasikan ide tentang Islam politik dari sudut kepentingan publik, maka partai-partai politik Islam akan sangat sulit untuk menjadi kekuatan dominan dalam panggung politik Indonesia.

by: Hasrul (Mahasiswa UIN Jakarta)

ENDNOTE


[1] Idris Thaha, Hubungan  Islam  dan Politik yang  Mungkin  di Indonesia, Studia  Islamika; Indonesian Jurnal for Islamic Studies,  Vol. 13, No.  2, 2006, h. 332.
[2] C.A.O. Van Nieuwenhuijze, “Islam and National Self-Realization in Indonesia,”  h. 152.
[3] Donald K. Emmerson, Islam in Modern Indonesia: Political Impasse, Cultural Opportunity dalam Change and the Muslim World (Syracuse: Syracuse University Press, 1981), h. 159-168.
[4] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), Edisi Digital, h. 78.
[5] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), Edisi Digital, h. 85.
[6] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia , h. 101.
[7] B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, h. 33
[8] Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, h. 273
[9] Allan Samson, “Islam in Indonesian Politics (Asian Survey, No. 12, Vol. VII, Desember 1968), h. 1005.
[10] Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986; Saleh Harun dan Abdul Munir Mulkhan, Latar Belakang Ummat Islam Menerima Pancasila Sebagai Asas Tunggal, Yogyakarta: Aquarius, 1987; Bahtiar Effendy, “The ‘Nine Stars’ and Politics,”  hh. 58-128
[11] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), Edisi Digital, h. 150.
[12] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 233-234.
[13] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 267.
[14] Nurcholish Madjid et al., Pembaharuan Pemikiran lslam (Jakarta: Islamic Research Center, 1970, hh. 13-72.
[15] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 318-319.
[16] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 319-320.
[17] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 390-391.
[18] Bahtiar EffendyIslam dan NegaraTransformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), h. 422, Lihat juga Oey Hong Lee, Indonesia After the 1971 Elections.
[19] Clifford Geertz, The Social History of an Indonesian Town, Cambridge: MIT, 1965.
[20] Leo  Suryadinata, Elections  and  Politics  in  Indonesia,  h.  106.
[21] Hamid Basyaib dan Hamid Abidin (eds.), Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra Pemilu sampai Pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, 1999.

ISLAM DAN AGAMA, BAHTIAR EFEFNDY

Posting Komentar

[blogger][facebook]

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.