SQ Blog - Salah satu kajian hermeneutik adalah bagaimana merumuskan relasi antara teks (text) atau nash, penulis atau pengarang (author) dan pembaca (reader) dalam dinamika pergumulan pemikiran Islam. Seharusnya kekuasaan (otoritas) adalah mutlak menjadi hak Tuhan. Hanya Tuhanlah (author) yang tahu apa yang sebenarnya Ia kehendaki. Manusia (reader) hanya mampu memposisikan dirinya sebagai penafsir atas maksud teks yang diungkapkan Tuhan. Dengan demikian yang paling relevan dan paling benar hanyalah keinginan pengarang. Namun pada praktiknya, seringkali terjadi dimana individu dan lembaga keagamaan (reader) mengambil alih otoritas Tuhan (author) dengan menempatkan dirinya atau lembaganya sebagai satu-satunya pemilik absolut sumber otoritas kebenaran dan menafikan pandangan yang dikemukan oleh penafsir lainnya.
Di sini terjadi proses perubahan secara instan yang sangat cepat dan mencolok, yaitu metamorfosis atau menyatunya reader dengan author, dalam artireader tanpa peduli dengan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri dan institusinya menjadi Tuhan (Author) yang tidak terbatas. Tidak berlebihan jika sikap otoritarianisme seperti ini dianggap sebagai tindakan despotisme dan penyelewengan yang nyata dari logika kebenaran Islam.
Walaupun kebenaran hanya menjadi hak Tuhan, tetapi manusia tetap berhak menjadi wakil Tuhan untuk menafsirkan kehendak Tuhan yang terkandung dalam nash sebagai acuan dalam menjalankan kehidupan. Hal ini sejalan dengan hakikat diciptakannya manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Dengan catatan, manusia tidak melampaui batas-batas yang ada seperti mengambil alih posisi Tuhan, bersikap arogan atas penafsirannya dengan menyalahkan penafsiran yang berbeda dan menutup makna yang sebenarnya terbuka atau sebaliknya membuka makna tanpa batas.
Jika seorang pembaca berusaha menutup rapat-rapat teks dalam pangkuan makna tertentu atau memaksakan penafsiran tunggal atas teks tertentu, maka tindakan tersebut berisiko tinggi untuk melanggar integritas pengarang dan bahkan integritas teks itu sendiri. Menutup rapat yang dimaksud otoritarianisme dalam penafsiran teks keagamaan dalam buku itu adalah tindakan seseorang, kelompok, atau lembaga tertentu yang ”menutup rapat-rapat” atau membatasi Kehendak Tuhan (the Will of the Divine), atau maksud terdalam dari teks tertentu dalam suatu batasan ketentuan atau penafsiran tertentu, dan kemudian menyajikan ketentuan-ketentuan atau penafsiran-penafsiran tersebut sebagai hukum atau keputusan yang tidak dapat dihindari, final, dan merupakan hasil akhir yang tidak dapat diganggu-gugat.
Berawal dari pandangan ini, Khaled dalam memahami teks agama termasuk ayat-ayat al-Quran turut serta menggunakan perangkat Hermeneutika. Tetapi berbeda dengan tradisi hermeneutika di lingkungan Biblical Studies, hermeneutika dalam studi keislaman, khususnya yang terurai dalam karyanya “Atas Nama Tuhan”, dipicu oleh penafsiran bias gender dalam fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh CRLO.[1] Khaled menggunakan metode berpikir normatif-analitik dan menawarkan teori hermeneutika negosiasi. Hermeneutika negosiasi bertolak dari prinsip negosiasi kreatif antara teks-penggagas-pembaca, dengan menjadikan teks sebagai titik pusat yang bersifat terbuka.[2]
Secara umum, dalam studi hermeneutika di Barat berkutat dalam dua hal, yaitu problem pemahaman, seperti pada heremenutika teoritis, dan problem tindakan memahami itu sendiri, seperti pada hermeneutika filosofis. Sementara tradisi hermeneutika dalam studi al-Quran hanya berkutat pada problem pemahaman, yaitu pemahaman yang bercorak objektif, seperti hermeneutika objektif atau hermeneutika teoritis Fazlur Rahman; penafsiran yang bercorak subjektif seperti hermeneutika pembebasan Farid Esack; dan pemahaman yang bercorak inklusif (teoritis) seperti hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid. Belum ada penggunaan hermeneutika dalam studi al-Quran yang mencoba menemukan “kepentingan” di balik tindakan pemahaman itu sendiri. Ruang yang belum disentuh para pemikir inilah yang dapat ditemukan pada hermeneutika negosiatif yang digagas oleh Khaled.[3]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemahaman Khaled terhadap teks termasuk ayat al-Quran dengan menggunakan pendekatan Hermeneutika tidak hanya bertujuan “menemukan makna teks” sebagaimana hermeneutika pada umumnya. Tetapi juga bertujuan untuk “mengungkapkan kepentingan penggagas atau pembaca yang tersimpan di balik teks, dan menawarkan strategi pengendalian tindakan sewenang-wenang penggagas dan pembaca terhadap teks , pembaca lain, dan audiens melalui konsep otoritas dan otoritarianismenya.[4] Paling tidak ada empat hal yang menjadikan hermeneutika Abou Fadl begitu penting,[5] yaitu:
- Pertama, dalam gelombang globalisasi yang membawa perubahan mendasar bagi kemanusiaan, buku ini membangkitkan kesadaran perlunya pembaharuan pemikiran dan hukum Islam yang selama ini diakui keberadaanya sangat strategis dalam bangunan agama Islam. Hal ini dilakukan agar agama Islam tetap dapat bertahan dan menjadi semakin dibutuhkan bagi pengembangan kemanusiaan yang lebih beradab.
- Kedua, terkait dengan yang pertama, maka buku ini memberikan panduan yang sistematis untuk melakukan pembaharuan hukum Islam yang lebih universal, berbasis moralitas dan kemanusiaan.
- Ketiga, dalam tataran tertentu, buku ini telah berperan mengubah cara pandang kaum muslimin terhadap posisi ulama yang otoriter (sewenang-wenang memberi fatwa) dan yang otoritatif (yang berwenang memberi fatwa).
- Keempat, buku ini melakukan pembelaan serius bahwa Islam sebagai agama telah memberikan tanggung jawab dan penghargaan kemanusiaan yang besar. Kesalahan lebih sering datang dari penganutnya atau orang-orang yang merasa sebagai penjaga syariat, padahal malah menghancurkan syari’at.
Pada sisi lain, Khaled menawarkan konsep hermeneutika yang bersifat inter dan multidisipliner, lantaran melibatkan berbagai pendekatan. Di antaranya linguistik, interpretive social science, literary criticism, selain ilmu-ilmu keislaman yang baku mulai dari Mushthalah al-Hadis, Rijal al-Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir, Kalam, yang kemudian dipadukan dengan humaniora kontemporer. Pemikiran yang diusung oleh Khaled berupaya mengembalikan ilmu yurisprudensi Islam sebagai sebuah epistemologi dan sekaligus sebagai sebuah metode pilihan (a methodology of inquiry), bukan sebagai diskursus keilmuan Islam yang beraroma politis dan otoriter.[6]
ENDNOTE
[1] Sebuah
“Pengantar” M. Amin Abdullah dalam karya Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama
Tuhan; Dari Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi, 2004),
Cet. I, h. ix.
[2] Nasr Khamid
Abu Zaid, al-Quran; Hermeneutika dan Kekuasaan, h. 75-80, Dikutip Aksin
Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd (Yogyakarta: LKiS, 2009), Cet. I,
h. 41
[3] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis (Yogyakarta: LKiS,
2009), Cet. I, h. 37-38
[4] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi Ibnu Rusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis (Yogyakarta: LKiS,
2009), Cet. I, h. 38
[5]
http://abuthalib.wordpress.com/2009/12/25/tuhan-milik-laki-laki/, diunduh pada
tanggal 6 Februari 2010.
[6] Sebuah “Pengantar”
M. Amin Abdullah dalam karya Khaled Abou el-Fadl, Atas Nama Tuhan; Dari
Fiqih Otoriter ke Fiqih Otoritati (Jakarta: Serambi, 2004), Cet. I, h. xvii
Baca Juga:
>> Penafsiran Khaled Abou El-Fadhl
Posting Komentar