Perkembangan Intelektualisme Islam di Indonesia

Bertambahnya jumlah jema’ah haji ke mekkah sejak sejak awal abad ke-19, Muslim Indonesia dapat bertemu dengan kaum muslim dari seluruh dunia. Mereka juga menjadi lebih baik dalam memahami ajaran-ajaran Islam yang didasarkan pada kitab suci al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. Mereka terpengaruh oleh gerakan-gerakan pembaharu Islam yang dilancarkan oleh kaum Wahabi, dan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Sekembalinya ke Indonesia, mereka merasa terpanggi untuk memperbaharui Islam di Indonesia dan membimbing umat Islam kearah pemahaman yang benar yang didasarkan pada al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw.[1] 

Sesudah Ibn Khaldun (1332-1406 M), dunia Islam masih menghasilkan beberapa tokoh intelektual seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan Agus Salim (1884-1954). Di antara tokoh ini, hanya Iqbal dan Abduh yang agak kaya meninggalkan karya tulis. Sedangkan tokoh lain seperti K.H.A. Dahlan yang bila dilihat dari segi amal yang ditinggalkannya dalam bentuk Muhammadiyah dengan ribuan sekolah dan pekerja-pekerja sosial kemanusiaan lainnya mungkin tidak kalah besar dari tokoh di atas. Tetapi sulit untuk mengikuti pandangan-pandangannya tentang Islam secara komprhensif karena sepanjang pengetahuan selama ini tidak satu pun karya tulis yang ditinggalkannya. Berbeda dengan Abduh yang punya murid-murid dan sahabat-sahabat yang cukup kreatif dalam memproduksi pemikiran-pemikirannya. Begitu juga untuk dapat mengikuti pandangan-pandanagn K.H. Hasyim Asy’ari dari NU.[2] 

Corak Intelektualisme di Indonesia

Setelah Indonesia merdekan pada tahun 1945, masyarakat Indonesia memiliki hasrat yang kuat untuk mengembangkan Indonesia Modern. Bahhkan sebelum itu, pada dasawarsa 1980 dan 1990-an ditandai dengan maraknya penerbitan buku-buku bertema keagamaan dan intelektual yang berbasis pemikiran. Ini tentu saja akan berakibat langsung pada perkembangan dunia dunia Intelektual Muslim Indonesia. Zaman baru kebangkitan sisi intelektual tepatnya dalam dunia pemikiran di kalangan Muslim ini, paling tidak ditandai dengan munculnya beberapa literature yang mencoba mencermati secara sistematis perkembangan dunia intelektual Muslim di Indonesia. Karya yang cukup lengkap untuk memotret peta baru pemikiran Islam di Indonesia pada 1980-an M, misalnya, ditulis Fachry Ali an Bahtiar Effendy dalam “Merambah Jalan Baru Islam”. Survey mereka menunjukkan munculnya empat corak pemikiran keislaman yang sedang dikembangkan para intelektual Islam, yaitu:[3]
  • Pertama; neo-modernisme, yaitu pemikiran keislaman yang menggabungkan dua faktor penting, modernisme dan tradisionalisme. Dalam aliran ini masuk dua sosok intelektual, Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
  • Kedua; sosialisme-demokrat, yaitu gerakan Islam yang melihat cita-cita keadilan sosial dan demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Para penganjurnya, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo.
  • Ketiga; Universalisme, yaitu gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai ajaran universal. Obsesi pokok ajaran ini ialah bahwa Islam dan seluruh perangkat nilainya bisa dijadikan alternative dari kemorosotan nilai-nilai Barat. Para pendukung ketiga ini adalah M. Amien rais, Jalaluddin Rakhmat, dan A.M. Saefuddin.
  • Keempat; modernism, yaitu gerakan pemikiran yang melibatkan Islam ke dalam persoalan-persolan sosial-politik yang lebih luas. Para tokoh penganjur aliran ini adalah Djohan Effendy dan Achmad Syafi’i Ma’arif. 
Keempat aliran pemikiran yang keislaman yang dikategorikan Fachry dan Bachtiar tersebut memang telah mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Sebagai contoh, Fachry dan Bachtiar menggolongkan Djohan Effendy sebagai penganjur aliran modernisme. Sementara itu, Greg Berton justru dalam tulisannya “neo-Modernisme; A Progressive Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia”, memasukkan Djohan Effendy bersama-sama Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib sebagai perintis gerakan neo-modernis.[4] 

Selanjutnya, potret lain yang cukup penting dalam menyoroti perkembangan peta pemikiran umat Islam adalah tulisan dari William Liddle dalam monograf Politics and Culture in Indonesia. Melalui pendekatan politik, Liddle menemukan tiga corak pemikiran Islam di Indonesia,[5] yaitu:
  • Indigenist, yaitu kelompok pemikiran yang percaya bahwa Islam bersifat universal. Namun, dalam prakteknya Islam tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya setempat. Gagasan tentang pribumisasi Islam atau kontekstualisasi doktrin Islam adalah usaha para intelektual Islam untuk mempertemukan Islam dengan konteks budaya setempat. Kelompok ini juga berusaha mengakomodasikan kepentingan umat Islam dengan pemerintah. Para pendukung Indigenist ini tentu saja termasuk Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid;
  • Sosial Reformist, yaitu gerakan Islam yang lebih menitikberatkan pada pemikiran dan aksi guna mengatasi berbagai kemiskinan dan ketimpangan sosial yang melanda umat Islam sebagai akibat prose pembangunan yang bersifat top-down. Kelompok ini diwakili oleh M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Moeslim Abdurrachman;
  • Universalisme, yaitu kelompok pemikiran yang percaya bahwa Al-Quran dan Hadis yang dibawa Nabi Muhammad Saw sudah sangat sempura dan dapat langsung diterapkan dalam masyarakat apapun. Jejak pemikiran ini dapat dilacak sejak munculnya Muhammadiyah dan Masyumi. Kelompok ini sejak 1990-an cukup kuat mewarnai arus pemikiran keislaman di berbagai kampus utama di Jawa. Kelompok ketiga diwakili oleh Imaduddin Abdulrachim, M. Amien Rais, Jalaluddin Rachmat, Endang Saefuddin Anshary, dan A.M. saefuddin;
Serupa dengan pandangan Fachry Ali an Bahtiar Effendy sebelumnya, kategori William Liddle ini pun tidak luput dari beberapa kritikan. Oleh karenanya, juga baik untuk melihat kategori yang dilontarkan Moeslim mengenai latar belakang yang bisa mempengaruhi pemikiran seseorang. Moeslim merumuskannya menjadi tiga,[6] yaitu:
  • Modernisasi Islam, yaitu pemikiran yang bertolak dari usaha mengembangkan pesan Islam dalam konteks perubahan sosial. Untuk mengembangkan pesan Islam itu, lakukanlah usaha liberalisasi pemikiran yang bersifat adaftif terhadap kemajuan zaman. Tentu saja menurut Moeslim, tanpa harus meninggalkan kritis terhadap unsur negative dari proses modernisasi;
  • Islamisasi, yaitu gerakan pemikiran yang cenderung menggali teks dalam rangka perubahan sosial. Di situ para intelektual Muslim mencoba merumuskan ukuran-ukuran normaif di dalam berbagai kehidupan seperti ilmu, system eknomi, busana dan pendidikan sehingga ditemukan corak yang lebih khas Islam;
  • Transformatif, yaitu kelompok pemikiran yang menaruh perhatian besar terhadap persoalan keadilan dan ketimpangan sosial yang muncul dalam proses pembangunan bangsa saat ini. Bagi mereka, semua persoalan peradaban manusia sekarang ini berpangkal dari ketimpangan sosial ekonomi karena masyarakat masih didominasi oleh struktur yang tidak adil.
Tokoh dan Karya Para Intektualisme di Indonesia

Agus Salim (1884-1954) dapat disebut sebagai bapak kaum intelektual Muslim Modern Indonesia. Menurut Greg Barton ungkapan ini memang sudah pada tempatnya. Tokoh-tokoh intelektual Muslim seperti Natsir, Roem, Kasman, Prawoto, Jusuf Wibisino dan masih banyak yang lain adalah hasil bentukan Salimyang sangat gemilang, terutama lewat Jong Islamieten Bond yang didirikan pada 1925 M.[7] di antara tokoh lainnya ialah Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, dan Kuntowijoyo, M. Amien rais, Jalaluddin Rakhmat, A.M. Saefuddin, Djohan Effendy dan Achmad Syafi’i Ma’arif.

Refleksi Peradaban Islam di Indonesia

Salah satu hasil peradaban atau tamaddun Islam di Indonesia adalah khasanah naskah-naskah klasik yang dituangkan dalam berbagai bentuk. Naskah-naskah tersebut berisi baik ilmu-ilmu keagamaan, ilmu pengetahuan sosial dan pengetahuan umum.[8] Pada ranah yang lebih rumit dan sedikit kompleks, Islam di Indonesia telah tampil sebagai gerakan pembebas.[9] Baik pembebasan dari animism, dinamisme, tradisi kasta, dan juga peran politiknya dalam mengantarakan kemerdekaan Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Sarekat Islam (SI) merupakan satu-satunya perwujudan politik Islam pada awal-awal pergerakan kemerdekaan Indonesia. Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdoel Moeis merupakan tokoh Islam berpengaruh di dalamnya yang sangat mencita-citakan terjalinnya politik Islam.[10]

Periode Pasca revolusi, politik Islam berada dalam zona nyaman dan relative sedikit hambatan. Dengan Masyumi, yang dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar. Untuk alasan itu, pada tahun 1946, Sjahrir (pemimpin Partai Sosialis Indonesia) memperkirakan bahwa “jika pemilihan umum diselenggarakan [di sekitar tahun itu], maka Masyumi yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan Muslim modernis seperti Muhammadiyah dengan jumlah anggota yang besar di wilayah perkotaan, dan ortodoks seperti NU dengan jumlah anggotanya yang bahkan lebih besar lagi di wilayah-wilayah pedesaan akan memperoleh 80% suara. Dengan hasil pemilihan umum 1971, kekuatan Islam politik makin merosot.

Inilah kemudian yang memicu intelektualisme Islam untuk terus melakukan pembaharuan dan pemikiran khususnya dalam relevansi Islam dan Negara. Walaupun demikian, peran Islam di Indonesia telah memberikan dampak yang sangat besar dalam membentuk peradaban Indonesia. Walaupun juga dimaklumi, masih banyak hal yang harus dibenahi agar Islam dapat akomodatif terhadap segala perubahan dan lapangan inilah yang menjadi tugas bagi para intelektualisme Islam masa kini dan pada masa yang akan datang.

Baca Juga:

pdf Download:
 
ENDNOTE

[1] Baroroh Baried, “Islam dan Modernisasi Wanita Indonesia” dalam “Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara”, Taufik Abdullah dan Sharon Siddique (eds.), terj. Rochman Achwan dari judul asli “Islam and Society in Southeast Asia” (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 153
[2] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia terj. Nanang Tahqiq dari judul asli “Ther Emeegency of neo-Modernisme; A Progressive Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia” (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. I, h. 107
[3] Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. I, h. 54-55
[4] Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. I, h. 55
[5] Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia (Bandung: Zaman Wacana Mulia), Cet. I, h. 56
[6] Dedy Djamaluddin Malik dan Idy Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), Cet. I, h. 57
[7] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia terj. Nanang Tahqiq dari judul asli “Ther Emeegency of neo-Modernisme; A Progressive Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia” (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. I, h. 103
[8] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban; Jejak Arkeologis dan HIstoris Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1419 H/1998 M), Cet. I, h. 217
[9] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia terj. Nanang Tahqiq dari judul asli “Ther Emeegency of neo-Modernisme; A Progressive Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia” (Jakarta: Paramadina, 1999), Cet. I, h. 108
[10] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Democracy Project, 2011), Edisi Digital, h. 78.

intelektalisme, sq blog, tranformatif, neo-modernisme, modernism, Universalisme, ndigenist, Sosial Reformist, Islamisasi

Labels: ,

Posting Komentar

[blogger][facebook]

SQ Blog

{picture#https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimSap9ccYY8FQp44yNvjVK6lRtOVpD-gpVKKWSk__oyc8ChkbooHIuh52uDXiZGchcOoPlIazgMEjOjQ5r0b-DftM48h8gDub2yWyKzDdH1VSYDrsmbf1qfYgl5hKaEuiAW8WAQeTmErDqcHjIm3C4GJKWRJv52o5uHAW10S2gOWj4o8nMsdahVxSo/s500/sq%20vlog%20official%20logo%20png%20full.png} SQ Blog - Wahana Ilmu dan Amal {facebook#https://web.facebook.com/quranhadisblog} {youtube#https://www.youtube.com/user/Zulhas1}

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.