Terdapat kesepakatan di kalangan sejarawan dan peneliti, orientalis dan cendekiawan Indonesia bahwa Tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara. Akan tetapi, setelah itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat, apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian.[1] Oleh karena itu, bahasan berikut lebih mengarah pada ideologi sufistik yang terjadi di Indonesia pada awal-awal perkembangannya. Diskusi ini tidak bisa dipisahkan dari kajian ideologi Islam di Indonesia karena unsur-unsurnya sangat kental dalam masyarakat Nusantara. Bahkan unsur sufistik inilah yang menjadi salah satu daya tarik masyarakat Indonesia untuk masuk Islam seperti diungkapkan di atas.
Berdasarkan penyebaran Islam di Indonesia yang telah dikemukakan di atas, ideologi Islam awal di Nusantara dimulai dari Aceh yang kental dengan karakter sufisme dan ajaran-ajaran Sunni-Syafi’i yang berkembang cukup pesat. Tentang sufisme yang kemudian berkembang lagi menjadi tarekat, seperti yang dikembangkan oleh Hamzah Fanzuri, Syamsuddin Sumatrani, dan Sfaifurrizal di satu sisi, dan Al-Raniri (w. 1068 H/1658 M) dan Sinkili (1024-1105 H/1615-1693 M) di Sisi lain. Sementara itu, di daerah Jawa ditemukan pola-pola ideologi Islam yang sama dengan pola di Aceh pada periode-periode awal. Tradisi Siti Jenar yang berkembang di daerah Pengging yang menghebohkan beberapa Sunan lain, adalah pengajar Wujudiyyah sebagaimana Sumatrani dan Fansuri di Aceh.[2]
Dalam silsilah, wali songo atau yang sering juga disebut wali sanga dalam bidang sufisme memiliki garis keturunan yang langsung bersambung dengan keluarga ‘Alawiyyah di Hadramaut. Adapun Al-Raniri yang memiliki nama lengkap Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasani al-Humaidi al-Syafi’i al-Asy’ari al-Aidarusi al-Raniri lahir di Ranir, salah satu kota di India. Ia memiliki tipologi yang memiliki tingkat kesamaaan dengan ideologi Wali Songo. Hal ini dimaklumi karena Al-Raniri memiliki guru yang termasuk keluarga al-Aidrusi yang dihubungkan dengan tarekat al-Aidrusiyah, sebuah cabang dari tarekat Alawiyah di Hadramaut.[3] Perbedaan pandangan Al-Raniri dengan sufisme lainnya ialah bahwa Al-Raniri dapat dilihat lebih keras ketika berhadapan dengan tasawuf Ibnu Araby yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, termasuk pandangan Siti Jenar yang berada di Jawa.
Pertumbuhan dan perkembangan tarekat di Indonesia berjalan seiring dengan perkembangannya di Negara-negara Islam. Setiap putra Indonesia yang kembali dari menuntut ilmu di Makkah dapat dipastikan membawa ijazah dari syaikhnya untuk mengajarkan tarekat tertentu di Indonesia. Fansuri misalnya adalah syaikh tarekat Qadiriyah, Al-Raniri syaikh tarekat Rifa’iyah, Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili syaikh tarekat Syattariyah, dan Al-Palembani syaikh tarekat Smmaniyah.[4] Secara umum, tarekat-tarekat yang umumnya memperoleh simpati dan banyak pendukungnya di Indonesia ialah sebagai berikut:[5]
- Tarekat Qadiriyah, banyak tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan syaikh Fansuri adalah dikenal sebagai orang yang pertama kali menganutnya di Indonesia;
- Tarekat Alawiyah, tersebar di Indonesia melalui keturunan Alawiyyin dan murid-muridnya, syaikh Al-Raniri adalah salah seorang yang membawanya ke Indonesia;
- Tarekat Syatariyah, Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili adalah orang pertama yang menyebarkan tarekat ini. Kebanyakan murid dan pengikutnya di Sumatra Selatan, kemudian dilanjutkan ke Jawa oleh murid-muridnya.
- Tarekat Khalwatiyah, syaikh Yusuf Al-Makassari adalah yang pertama kali memperkenalkannya di Sulawesi Selatan, kemudian syaokh Abd Al-Shamad Al-Palembani yang membawa tarekat Sammaniyah yang merupakan cabang Al-Khalwatiyah untuk pertama kali di Sumatra.
Disamping itu, terdapat pula tarekat Syadziliyah, Rifa’iyah, Idrisiyah, Sanusiyah, Tijaniyyah, Naqsyabandiyah, dan Aidrusiyah. Naqsyabandiyah berikut tiga cabangnya juga merupakan terbesar di Indonesia, yaitu Naqsyabandiyah Madzhariyah, Naqsyabandiyah, dan Qadiriyah Naqsyabandiyah.
Qadiriyah Naqsyabandiyah adalah gabungan dua tarekat sekaligus yang dilakukan oleh syaikh Ahmad Khatib Sambas di Makkah pada 1875 M. Dia kemudian berjasa memperkenalkan tarekat ini di Indonesia dan Melayu hingga wafat. Di Makkah, dia menjadi guru sebagian besar ulama Indonesia Modern dan mendapatkan ijazah. Sekembalinya ke Indonesia mereka memimpin tarekat dan mengajarkannya sehingga ini tersebar di seluruh Indonesia, di antara mereka ialah syaikh Nawawi Al-Bantani (w. 1923 M), syaikh Khalil (w. 1918 M), syaikh Mahfuzh Termez (w. 1923), dan syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri NU di Indonesia berguru pada syaikh ini.[6]
ENDNOTE
[1] Alwi Shihab, Islam
Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia terj.
Muhammad Nursamad dari judul asli, “Al-Thasawwuf al-Islam wa Atsaruhu fi
Al-Thasawwuf al-Indunisi al-Muashir” (Bandung: Mizan, 2011), Cet. I, h. 36
[2] Nur Khalik
Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar; Kontruksi Baru Masyarakat Islam Indonesia,
h. 75
[3]
Nur Khalik
Ridwan, Islam Borjuis dan Islam Proletar; Kontruksi Baru Masyarakat Islam
Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2011), h. 75
[4]
Alwi Shihab, Islam
Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia terj.
Muhammad Nursamad dari judul asli, “Al-Thasawwuf al-Islam wa Atsaruhu fi
Al-Thasawwuf al-Indunisi al-Muashir” (Bandung: Mizan, 2011), Cet. I, h. 36
[5] Alwi Shihab, Islam
Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di Indonesia, h. 36
Baca Juga:
pdf Download:
Posting Komentar